Laman

Selasa, 22 Desember 2009

MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI I

MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI BUDAYA DARI FILEM THE LAST SAMURAI
Oleh Kamajaya Al Katuuk


I. PENDAHULUAN
Filem The Last Samurai (TLS) adalah filem yang mengungkapkan kekayaan pergulatan budaya Jepang yang muwakil (representative). Dengan mengolah kekayaan budaya samurai, TLS menuturkan bagaimana Jepang berubah dan berkembang, sebagai salah satu negara terkecil geografisnya tetapi masuk di dalam negara-negara besar dunia bersejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Inggris, Perancis, dan Cina. Kunci dari keberhasilan Jepang ternyata ada di dalam budaya samurai.
Samurai adalah sebuah kata yang penuh makna di dalam sejarah dan budaya bangsa Jepang. Samurai sebagai sebuah etos karakter khas, dapat ditempatkan dalam perkembangan bangsa Jepang sebagai bangsa yang kecil tanah airnya tetapi pernah menjadi kekuatan imperialisme besar dunia bersejajar dengan Inggris, Belanda, Portugis, dan Prancis. Terma “samurai” berdampingan dengan “bushido” menjadi semacam “landmark” atau “brand-image” budaya Jepang dengan konotasi positif, seperti juga yang diterakan terhadap India (yang diteladankan Gandhi) yakni: “satyagraha”.
Di dalam sejarah dunia kekuatan kelas dunia Jepang juga tidak sekadar penting bagi supremasi Jepang, melainkan juga memengaruhi semangat persamaan kualitas eksistensial bangsa-bangsa kulit berwarna terhadap kulit putih. Hal tersebut terjadi saat Jepang mampu menaklukan pasukan sekutu.
Akar sejarah yang menyebabkan Jepang tampil seperti yang diketahui sekarang, umum semua peneliti merujuk pada sejarah agung Restorasi Meiji (yang juga dikenal orang Jepang dengan sebutan Meiji Ishin. Sejarah agung tersebut dimulai pada tahun 1868 dan dekade sesudahnya, bangsa Jepang telah membuktikan diri kepada dunia sebagai bangsa yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi maju yang dapat disejajarkan dengan Amerika dan negara maju lainnya. Hal yang terpenting dari restorasi ini adalah restorasi di bidang pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tradisional menjadi modern (saat itu dimulai dengan mengadopsi sistem Jerman), program wajib belajar, mengirim mahasiswa Jepang untuk belajar ke luar negeri (ke Prancis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor pendidikan secara drastis.
Semenjak Restorasi Meiji dikibarkan pemerintah Jepang terus menjalankan kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat.
Sebuah doktrin penting yang mengilhami restorasi Meiji dan menjadi pandangan hidup orang Jepang tentang pentingnya pendidikan, dirumuskan pertama kali oleh Fukuzawa Yukichi, bapak pendidikan Jepang yang hidup pada zaman Meiji. Menurut Fukuzawa dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi), kedudukan manusia dalam suatu negara harus ditentukan oleh status pendidikannya, bukan oleh nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai warisan. Walaupun ada catatan yang harus kita sadari bahwa strategi Fukuzawa juga harus dilihat tetap sebagai konsep yang ada di dalam konteks kejepangan; yang memiliki keluhuran etos yang sudah turun temurun dijadikan pegangan hidup nyata. Sehingga ketergantungan terhadap unsur luar, semata beraras pada dimensi kognitif belaka, di dalam hal ini modernism ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dimensi afektif dan prilaku tetap memanfaatkan kekayaan budaya yang telah ada. Pemikiran dan upaya yang luar biasa dari Fukuzawa dalam merestorasi pendidikan Jepang mendapatkan penghargan yang monumental, pemerintah Jepang hingga saat ini memberikan kehormatan tertinggi dengan menampilkan gambar Fukuzawa dalam nilai tertinggi dari mata uang Jepang, yakni sepuluh ribu yen.
Kemajuan bangsa Jepang terus bertambah sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan.
Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Tujuannya untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, bertujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.
Ketiga, setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.
Saat ini wajib belajar masih dijalankan dengan ketat dijepang dari SD sampai SMA, sehingga tidak heran hampir 100 persen penduduk Jepang tamat SMA dan hampir tidak ada yang buta huruf, artinya hampir 100 persen penduduk Jepang dapat membaca kanji yang jumlahnya sekitar 3000 kanji beserta kombinasi berikut cara bacanya.
Sebagian besar lulusan SMA di Jepang melanjutkan ke universitas atau sekolah kejuruan. Ada juga universitas terbuka istilahnya “Hosyo daigaku” yang perkuliahannya dilakukan melalui TV swasta khusus selama 18 jam nonstop setiap hari, dan materinya diberikan oleh profesor-profesor yang cukup terkenal diseluruh Jepang. Prosentase lulusan S-1 yang melanjutkan S-2 sangat besar, contohnya apa yang dilakukan oleh Osaka University, hampir 70 persen mahasiswa S-1 diuniversitas ini melanjutkan S-2, dan 10 persen ke S-3. Karena wajib belajar, uang sekolah dan fasilitas lainnya dari SD sampai SMP terutama untuk keluarga menengah ke bawah menjadi kewajiban negara .
Investasi yang ditanamkan Jepang untuk pendidikan sangat besar namun hasil yang diperolah dari investasi tersebut sangat signifikan, sebagaimana yang kita lihat tentang Jepang sekarang ini dengan GNP melebihi 34.000 USD (Indonesia 700 USD). Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Amerika, Inggris maupun Prancis.( http://mandaazzahra.wordpress.com/about/). Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001 (Republika, 03/05/02) menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan hasil penelitian UNDP tahun 2007-2008, dari 117 negara di dunia, jepang masuk ke urutan delapan besar dunia. Urutannya: 1.Iceland, 2.Norway, 3.Australia, 4.Canada, 5.Ireland, 6.Sweden, 7. Switzerland, 8.Japan. Sekadar tambahan pembanding Indonesia berada diurutan ke 107, di bawah Palestina, yang menempati urutan ke 106.
Melalui filem “The Last Samurai” (TLS) penonton disegarkan kembali ikhwal dasar etos dan filosofi yang khas dan unik tersebut, dengan mengandalkan cerita, sejarah serta kekuatan media audio-visual serta laga (acting) para pemerannya. Pembahasan di dalam buku ini, kita akan urut berdasarkan sistematika berikut: (i) unsur struktur: sinopsis, pemeran, sutradara serta produser; dan (ii) interpretasi semiotika (pemaparan makna dan fungsi kontekstualnya, termasuk pemahaman terhadap Jepang dan perbandingannya dengan Indonesia).
READ MORE - MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI I

Jumat, 21 Agustus 2009

Kemiskinan dan Kecacatan sebagai Oknum

Catatan dari pendampingan masyarakat kusta dan keluarga miskin di Manado
Kemiskinan berasal dari pertama turunan, karena orang tua miskin maka mereka jadi miskin. Kedua sikap hidup. Yang terakhir tersebut itulah yang parah. Delapan puluh persen klien menganggap atau menjadikan mereka miskin sebagai cara untuk hidup. Konstitusi mengatur fakir miskin sebagai tanggungjawab negara. Tetapi naasnya, oknum negara menjadikan kemiskinan sebagai proyek. Di satu sisi menacari keuntungan dari proyek kemiskinan, di sisi lain dan ini yang paling merusak, menjadikan komunitas sasaran proyek bukannya terberdayakan tetapi terjerat di dalam budaya miskin. Bagi yg berbudaya miskin, status miskin tidak lagi berkaitan dengan etika, moral dan terlebih masa depan. Bila mereka cacat maka mereka akan mengeksploitasi kecatatan. Bahkan ketika mereka mengutarakan banyaknya diskriminasi publik terhadap kondisi mereka, pada saat yang sama mereka juga mendiskriminasi diri sendiri dengan cara meminta perhatian khusus karena mereka cacat. Bila mereka membut suatu produk minta dibeli walau mutunya buruk.
Isu lain yang menonjol adalah modal usaha. Sembilan puluh lima persen klien menganggap bahwa kesulitan yg membuat mereka sukar untuk mandiri adalah modal. Tetapi setelah dilakukan konseling terbukti bahwa klien mengelola usahanya bukan sebagai usaha. Modal dan hasil usaha juga adalah modal biaya hidup. Setiap hari nombok.
Jalan keluarnya jelas harus berawal dari komitmen petugas pemerintah yg teguh thd komitmen klien sbg sasran pemberdayaan yang mandiri. Pihak perbankan, sdh saatnya mengadopsi metode Muhammad Yunus dalam memberantas kemiskinan di Negaranya Bangladesh. Aksi ekonomi paling revolusioner yang dilakukannya mendapat pengakuan dunia, dengan menyingkirkan Presiden SBY dalam meraih Nobel Perdamaian 2006 atas kesuksesannya dalam memberantas kemiskinan di Bangladesh lewat program kredit mikro.

Pada tahun 1976 Muhammad Yunus mentransformasikan lembaga kreditnya menjadi Bank Formal dengan aturan khusus bernama Grameen Bank (Bank Desa). Program ekonomi ini telah mendorong 42 persen peminjam ke atas garis kemiskinan. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2005 menyatakan, Bagladesh telah membuat kemajuan yang mengesankan dalam pengembangan manusia dengan berfokus pada tingkat melek huruf yang bertambah, memperoleh kesetaraan gender dalam sekolah dan mengurangi pertumbuhan penduduk.

Tentu untuk menghadapi masalah kemiskinan di daerah atau di indonesia terfokus pada kebutuhan perubahan paradigma baik pelaksana negara maupun subjek yang termiskinkan atau memiskinkan diri. Memang tidak perlu malu menyandang status miskin selama berniat untuk mengubah diri menjadi tidak miskin. Hanya jelas cerlang cemerlang strategi negara terutama politisi sudah saatnya tidak menjadikan kemiskinan sebagai kendaraan kepentingan sesaat. Dan pihak yang berkomitmen dan konsisten seperti Muhammad Yunus jelas Indonesia sangat perlu.

Kemiskinan dan kecacatan adalah oknum. Sesuatu yang bukan sejati pribadi melainkan benalu yang menghancurkan diri sendiri.**
READ MORE - Kemiskinan dan Kecacatan sebagai Oknum

Kamis, 30 Juli 2009

Fosilisasi di Perguruan Tinggi

Catatan Dari Forum Fakultas Bahasa Sastra Seni dan Budaya X Seindonesia
MENGHINDARI FOSILISASI POTENSI SDM PERGURUAN TINGGI
Oleh Kamajaya Al Katuuk
Istilah fosilisasi, penulis ambil dari ungkapan Prof. Dr. Mansur Akil, dekan fakultas bahasa dan Budaya Universitas Makassar. Kata fosilisasi bukan istilah baru. Hanya, jelas menerenyuhkan tatkala diungkapkan di dalam forum nasional sekelas Forum Fakultas Pendidikan Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya yng dihelat dari tanggal 22 sampai 25 Juli 2009 oleh Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Unima. Bila perguruan tinggi adalah lembaga yang memiliki mandat inovasi keilmuan, maka ungkapan adanya proses fosilisasi adalah ungkapan yang mewakili pertanda adanya kegamangan di tubuh lembaga perguruan tinggi. Terutama di dalam menghadapi tantangan aktual. Sebutlah pencanangan 2012 sebagai tahun berbagai universitas harus mencapai levelitas World Class University, serta memenuhi standar ISO. Pada waktu yang sama juga model Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah ditetapkan sebagai acuan manajerial. Sebuah acuan yang tetap mudah disalahtafsirkan, karena lembaga pendidikan dituntut untuk professional sambil tetap nirlaba.
Konteks istilah fosilisasi yang dikemukakan di atas, di dalam forum di Manado tersebut, dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana mandegnya pengembangan diri dan fungsionlisasi potensi para pengajar senior, terutama para professor di perguruan tinggi. Indikasi yang diketengahkan adalah kecenderungan para guru besar untuk menyerahkan tugas utama kepada yuniornya. Di dalam pmbingan skripsi, misal, posisinya sebagai pembimbing I, hanya tinggal menerima hasil bimbingan dari pembimbing II. Di dalam pemaparan Prof. Dr. Suparno, rektor Universitas Malang, pada awal persidangan telah menyindir para profesor sekarang yang menerima tunjangan besar, tetapi malah banyak berdalih “sibuk” saat harus mengajar. Padahal tugas pokoknya adalah mengajar. Terang benderang sudah, bahwa fosilisasi adalah kata awas yang pantas dijadikan alat evaluasi diri pada sektor SDM perguruan tinggi. Sebab, bila tidak maka lembaga pendidikan tinggi akan kehilangan fungsi dasarnya sebagai lembaga pencerahan. Sederhananya, adalah ironis kalau lembaga pencerah malah barongo, melempem. Bahkan barongonya lembaga pendidikan tinggi dapat dilihat dari maraknya ijazah palsu, atau ijazah tanpa proses kuliah benar. Sekarang ini banyak orang bergelar tinggi, dengan kontribusi keilmuan yang rendah. Berkait dengan hal tersebut adalah seperti sudah sebegitu lama disindir bahwa perguruan tinggi kita tersedikit karya penelitian ilmiah di Asean. Padahal berpenduduk terbesar ke-4 sedunia.
Jadi peran proporsional para dosen dalam arti yang sejati, seperti yang dimandatkan undang-undang sisdiknas, yakni pelaksanaan tridarma: pendidikan, penelitian dan pngabdian kepada masyarakat yang belum memadai jelas menyungsrukan dirinya di dalam masalah bangsa. Pendidikan, terutama pendidikan tinggi masih saja menjadi bagian dari masalah bangsa, karena belum menjadi solusi bangsa. Sehingga patut digugatkan bahwa target-target yang direncanakan berbagai perguruan tinggi, selayaknya tidak sekadar wacana, melainkan sebuah proses yang jelas arahnya.
Di dalam pertemuan forum para pendidik di fakultas yang menghasilkan para akhli humaniora yang berlangsung di Manado tersebut, telah jadi ajang evaluasi diri sekaligus pengagendaan rencana aksi yang patut diapresiasi, seraya menunggu hasil nyata kiprahnya. Terutama karena para ilmu dilingkup forum tersebut juga tegas mengklaim bahwa pendidikan adalah tanggung jawab mereka. Untuk menjadi pengajar setiap orang harus menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Untuk menjadi guru haruslah melalui LPTK. Masalahnya, terkait dengn foslisasi; mandegnya proses keilmuan di dalam banyak lembaga pendidikan sekarang ini adalah langkah pertama kea rah perubahan yang benar. Tanpa itu, teruslah akan terjadi kenyinyiran intelektual bangsa ini. Beriazah tetapi tidak berilmu, tetapi kalau berilmu, malah berhenti belajar. Kondisi buruk itulah yang hendak disingkirkan oleh para ilmuan di selinkup fakultas ilmu pendidikan bahasa sastra seni dan budaya, yang setelah di Manado, yang dilaksanakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Unima, forum serupa dua tahun mendatang akan dilaksanakan di Universitas Ilmu Pendidikan Bandung. FBS Unima yang kali ini didekani oleh Dr (Cd). Ferdy Dj. Rorong, M.Hum, yang selama persidangan ditongkrongi terus oleh Prof. Dr. Ph. E.A. Tuerah, MSi, DEA selaku rektor, galib kalau menerima banyak energi dan inspirasi yang dari pelaksanaan forum yang mengesankan para peserta tersebut, untuk memajukan lembaga dan semakin teguh memberi sumbangsih terhadap daerah. Sederhana, sebenarnya, yaitu berketeladanan di dalam inovasi dan academic standing, serta sehatnya pengelolaan manajemen. Itulah fungsi hulu, yang pada gilirannya berpengaruh pada sektor hilir, yakni puasnya para mahasiswa sebagai pelanggan, dan terlayaninya dunia kerja. Sementara itu kepuasan staf dan pegawai juga terselenggara. Maka fosilisasi, dalam arti yang praktis wajib tidak ada di kampus. Kalau juga ada? Itu adalah musuh bersama baik warga kampus maupun masyarakat. Kampus sebagai pencerah bukan pambarongo***
READ MORE - Fosilisasi di Perguruan Tinggi

Senin, 13 Juli 2009

Akhiri Transisi

Catatan:
Jelang Terpilihnya Walikota Manado ke-20
Saatnya Muncul Figur Generasi Baru Sebenarnya

Kamajaya Al Katuuk

Ulang tahun Kota Manado yang ke 386 kali ini dirayakan secara khusus. Khusus karena, secara sosiopolitik, saat perayaan walikota terpilih sedang berada di dalam proses tengah diadili dalam tuduhan tindak pidana korupsi. Sehingga secara operasional kepemimpinan di daerah dijalankan di bawah taktis oleh pelaksana tugas Abdi Buchari, yang sejatinya adalah wakil walikota.
Kepemimpinan daerah kota Manado dipimpin oleh Abdi Buchari sudah dimulai sejak bulan april lalu. Jadi kalau merujuk kepada pemilihan walikota yang lampau maka, masa bakti kewalikotaan kali ini masih tersedia waktu sepanjang setahun; Pilkada walikota jatuh pada bulan juli, selang sebulan setelah Pilkada gubernur yang dilaksanakan bulan juni. Bila Abdi Buchari terhitung sebagai walikota Manado yang ke-19, maka pada bulan juli tahun depan warga Manado akan memilih jabatan walikota yang ke-20.
Posisi walikota yang ke-20 tersebut akan penting bukan hanya bagi sebuah proses politik, melainkan juga demi sebuah dinamika generasi yang berorientasi pada sistem penyelenggaraan daerah yang seharusnya segera terwujud. Kata kedua tersebut, nampaknya akan menjadi agenda yang lebih penting untuk diperhitungkan dibanding sekadar proses politik, sebab di dalamnya terdapat sebuah proses kunci. Dinamika generasi, kali ini terjadi karena secara alami generasi Indonesia lama, sebutan saya untuk menyebut Orde Lama dan Orde Baru akan mengalami alih generasi. Dari sisi kepenting politik reformasi dan reformasi politik, membutuhkan bukan sekadar berganti aktor, melainkan berganti visi.
Ekpektasi ke arah tersebut beralasan. Munculnya partai-partai baru yang menandingi partai Indonesia lama, seperti Golkar dan PDIP, terutama Partai Demokrat, PKS dan PAN dan bahkan PDS, jelas megindikasikan bahwa manajemen organisasi politik juga sudah berubah. Substansi berubah di atas, dapat dijadikan titiktolak model fatsun politik.
Kecenderungan tersebut jelas akan menjadi bagian dari irama politik ke depan. Dan di Kota Manado, tahun 2010 saat terjadinya Pilgub dan Pilwako serta Pilbup, adalah saat yang strategis untuk mengucapkan selamat tinggal Indonesia Lama, serta selamat datang Indonesia Baru. Formula ucapan ini tentunya akan jatuh menjadi sekadar wacana apabila metode dan taktis berpolitik yang sekarang dimainkan masih menganut faham lama. Arti konkretnya adalah harus disadari oleh semua pemain dan konstituen politik di daerah ini bahwa para penerus partai Indonesia Lama, bisa saja mewarisi organisasi politiknya, tetapi visi dan praktik berpolitik harus berubah. Hal yang setali tiga uang berlaku untuk partai-partai baru, tentunya. Belajar terhadap masa lalu justru bukan berarti untuk diterapkan pada konteks kekinian yang sudah tidk lagi layakterap. Di sinilah pentingnya kemampuan manajemen antisipasi bagi setiap pelaku politik untuk memahami tuntutan sosiologi politik mutakhir.
Berdasarkan peta sosiologi politik seperti demikian, maka menarik untuk diperhatikan bagaimana dinamika proses Personal Branding politik dari berberapa orang yang diduga menyasar kedudukan politik sebagai pimpinan politik di daerah ini. Untuk para bakal calon, di luar jalur independen, “kendaraan” politik jelas akan punya andil yang penting. Bahkan di dalam kasus atau analog terhadap Partai Demokrat dan SBY, sifatnya mutualis. Saling menguntungkan. Partai dan personal punya relasi saling berpegaruh secara signifikan.
Untuk itulah maka peringatan Hari Jadi Manado yang ke 386 kali ini juga seyogyanya dilihat sebagai sebuah tanda “star” bagi perubahan manajemen politik yang jelas. Perhatikan, misalkan data tingkat partisipasi pendukung yang kali ini cukup banyak dan besar dari kalangan entrepreneur. Baik jasa maupun niaga barang. Perhatikan halaman iklan dan “berita iklan” Manado Post jelang dan saat peringatan. Terang benderang kota ini tengah mengarah ke mana. Sampai di sini tulisan singkat ini tegas hendak memastikan bahwa pimpinan daerah ke depan tidak mungkin terpilih tanpa dukungan dua pilar utama konstituen, yakni masyarakat dan pengusaha. Sampai di sini, jelas partai yang antisipatif terhadap kebutuhan “pasar” politik menjadi jaminan untuk mengantarkan para kandidatnya untuk memenangkan sebuah proses politik. Dengan demikian, maka dapat dihipotesiskan bahwa pemimpin yang dipilih adalah seorang politisi murni tidak lagi akan jadi prasyarat. Bakal calon pemimpin daerah yang hendak dikompetisikan tidaklah lagi harus pengurus partai. Mekanisme, yang selama ini jadi acuan partai, yakni menomorsatukan pengurus atau terutama pemimpin partai untuk menjadi bakal calon atau calon di dalam sebuah pemilihan, patut diubah. Sudah saatnya partai terbuka dalam arti yang sejati. Bukan, terbuka untuk memolitikan partai sebagai ajang mencari dana bagi orang partai, melainkan terbuka untuk menegaskan eksistensi partai yang profesional adalah terbuka bagi segenap kandidat yang memiliki platform dan berkomitmen sama. Partai dan para pengurus, karenanya bukan lagi sebagai kata benda, melainkan kata kerja. Berproses menyiapkan administrsi politik yang prokebutuhan actual, zaman baru. Kini saatnya partai profesional menjadi fasilitator memunculkan figur politik yang sebenarnya, yakni negarawan. Analog ke Amerika Serikat, partai bukanlah tujuan melainkan sarana mewadahi para tokoh bangsa terbaik berkiprah.***
READ MORE - Akhiri Transisi

Senin, 15 Juni 2009

Dukung Hari Tanpa TV

HARI TANPA TV adalah hari di mana keluarga-keluarga di Indonesia tidak mengkonsumsi siaran televisi selama sehari penuh agar mereka dapat merasakan bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika lebih banyak kegiatan lain dapat dilakukan secara bersama ketimbang menonton televisi. Pengalaman seperti ini sangat penting dimiliki oleh semua anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa mereka tetap dapat menjalani kehidupan dengan menyenangkan meski tanpa TV.

Secara umum adapat dikatakan bahwa ketergantungan anak pada tayangan TV sudah sangat tinggi dan mencapai titik yang mengkhawatirkan. Ada beberapa fakta yang dapat menggambarkan betapa mengkhawatirkannya ketergantungan itu:

1. Pertama,
belum terbentuk pola kebiasaan menonton TV yang sehat. TV masih menjadi hiburan utama keluarga yang dikonsumsi setiap hari dalam waktu yang panjang tanpa seleksi yang ketat.

2. Kedua,
kebanyakan isi acara TV kita tidak aman dan tidak sehat untuk anak. Banyak acara TV dengan kandungan materi untuk orang dewasa yang ditayangkan pada jam-jam anak biasa menonton dan kemudian disukai dan ditiru oleh anak-anak. Contoh yang ekstrim, peniruan adegan laga dalam tayangan TV oleh anak telah menimbulkan beberapa korban jiwa.

3.Ketiga,
lemahnya peraturan bidang penyiaran dan penegakannya. Sejak indutri televisi berkembang pesat, permasalahan yang terkait dengan isi tayangan makin membesar dan hingga kini belum terlihat upaya penanganan secara serius.

========================================

Ayo GABUNG KE GRUP "HARI TANPA TV ----> Minggu, 26 Juli 2009 <---- click this", dan Undang yang anda sayangi ke Group ini, Kepedulian Kita bersama atas isi acara televisi yang berpengaruh terhadap perkembangan anak

Link Grup HARI TANPA TV ----> Minggu, 26 Juli 2009 <---- click this (klik / copy dan paste link dibawah ini ke email anda untuk mengundang teman2 anda)
http://www.facebook.com/group.php?gid=118078368760
READ MORE - Dukung Hari Tanpa TV

Rabu, 10 Juni 2009

SAJAK

MENCARI LANGIT TERAKHIR(Surat untuk Kama)

HAMRI MANOPPO

Di padang sastra aku sembunyi meninggalkanmu
pedang dulu aku altarkan di laci pejabat
mimpi mimpi kita dulu selalu jadi hantu

Kita lalu berburu ke dua bukit yang beda
padahal genggam jemari kita
pada kalam yang sama

Robeklah sampul suratku
simak denyut nadi saudaramu
deretan kata yang kita pernah asah bersama
mungkin tak tajam sempurna

Bung Kama...ingatkah bukit Kleak senja
saat kita masih bocah...belajar pakai celana
lalu menemukan butiran jerawat di wajah kita...?

Sedera apa pun kata rindu masih ampuh
untuk kau dan aku

Dari ribuan padang berburu selalu rindu bertemu
saat di padang cakrawala aku coba mencari langit terakhir

Bung Kama...aku rindu menggapainya
adakah relamu berdampingan di lengkung indah
selalu seperti dulu.

kotamobagu,10 juni 2009.
READ MORE - SAJAK

KEMBALI, MEMBACA ITU PENTING

Taufiq Ismail Minta Tumbuhkan Minat Baca "Sejam" Sehari

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Bocah-bocah membaca buku di ruang anak-anak Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, Kamis (6/11). Meskipun sempit, tempat ini diminati anak-anak untuk membaca aneka buku yang bermutu.
/Kamis, 11 Juni 2009 | 00:04 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com--Tokoh sastra terkenal Indonesia, Taufiq Ismail, mengatakan untuk menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda harus melalui program "sejam" dalam sehari.

"Program `sejam` sehari itu perlu disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat agar mereka bisa meluangkan waktunya untuk membaca," katanya disela-sela peluncuran buku seri Sastra Klasik bertema "Indonesian Cultural Heritage" di Jakarta, Rabu malam.

Balai pustaka melalui tim UBS media kreatif, memilih delapan judul karya sastra monumental yang dianggap dapat mewakili karya sastra klasik Indonesia dan mewakili nilai-nilai moral manusia.

Taufiq Ismail, menjelaskan, minat baca masyarakat selama ini bukan saja persoalan di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. "Karenanya tinggalkan semua aktivitas satu jam sehari untuk membaca dan belajar," ujarnya menambahkan.

Salah satu faktor menurunnya minat baca di kalangan masyarakat, menurut Taufiq Ismail, karena pengaruh media televisi.

"Orang begitu gampang dan lalai dengan siaran televisi, sehingga tidak memiliki lagi kesempatan untuk membaca dan belajar khususnya di kalangan generasi muda," kata dia menambahkan.

Oleh karena itu, ia menyatakan beberapa budayawan sempat bertemu muka dengan tiga pasangan calon presiden/calon wakil presiden (capres/cawapres) yang akan maju dalam Pemilihan presiden (Pilpres) 8 Juli 2009.

"Dalam pertemuan terpisah dengan tiga pasangan capres/cawapres itu kami mengemukakan bahwa minat baca dan belajar masyarakat menurun sekali. Kami menanyakan juga apa yang akan dilakukan jika terpilih," ujar dia menjelaskan.

Taufiq Ismail menjelaskan, ketiga pasangan capres/cawapres itu telah berjanji akan melakukan sesuatu untuk membangkitkan kembali minat membaca dan belajar di masyarakat.

"Ya janji mereka kepada kami itu tetap ditunggu. Jadi siapapun yang terpilih sangat diharapkan adanya program untuk membangkitkan minat baca masyarakat," kata dia menambahkan.



Sumber : Ant
READ MORE - KEMBALI, MEMBACA ITU PENTING

Rabu, 20 Mei 2009

FUKUZAWA

READ MORE - FUKUZAWA

MEMAHAMI KEBUDAYAAN SAMURAI JEPANG

MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI BUDAYA DARI FILEM THE LAST SAMURAI
Oleh Kamajaya Al Katuuk

I. PENDAHULUAN

Filem The Last Samurai (TLS) adalah filem yang mengungkapkan kekayaan pergulatan budaya Jepang yang muwakil (representative). Dengan mengolah kekayaan budaya samurai, TLS menuturkan bagaimana Jepang berubah dan berkembang, sebagai salah satu negara terkecil geografisnya tetapi masuk di dalam negara-negara besar dunia bersejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Inggris, Perancis, dan Cina. Kunci dari keberhasilan Jepang ternyata ada di dalam budaya samurai.
Samurai adalah sebuah kata yang penuh makna di dalam sejarah dan budaya bangsa Jepang. Samurai sebagai sebuah etos karakter khas, dapat ditempatkan dalam perkembangan bangsa Jepang sebagai bangsa yang kecil tanah airnya tetapi pernah menjadi kekuatan imperialisme besar dunia bersejajar dengan Inggris, Belanda, Portugis, dan Prancis. Terma “samurai” berdampingan dengan “bushido” menjadi semacam “landmark” atau “brand-image” budaya Jepang dengan konotasi positif, seperti juga yang diterakan terhadap India (yang diteladankan Gandhi) yakni: “satyagraha”.
Di dalam sejarah dunia kekuatan kelas dunia Jepang juga tidak sekadar penting bagi supremasi Jepang, melainkan juga memengaruhi semangat persamaan kualitas eksistensial bangsa-bangsa kulit berwarna terhadap kulit putih. Hal tersebut terjadi saat Jepang mampu menaklukan pasukan sekutu.
Akar sejarah yang menyebabkan Jepang tampil seperti yang diketahui sekarang, umum semua peneliti merujuk pada sejarah agung Restorasi Meiji (yang juga dikenal orang Jepang dengan sebutan Meiji Ishin. Sejarah agung tersebut dimulai pada tahun 1868 dan dekade sesudahnya, bangsa Jepang telah membuktikan diri kepada dunia sebagai bangsa yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi maju yang dapat disejajarkan dengan Amerika dan negara maju lainnya. Hal yang terpenting dari restorasi ini adalah restorasi di bidang pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tradisional menjadi modern (saat itu dimulai dengan mengadopsi sistem Jerman), program wajib belajar, mengirim mahasiswa Jepang untuk belajar ke luar negeri (ke Prancis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor pendidikan secara drastis.
Semenjak Restorasi Meiji dikibarkan pemerintah Jepang terus menjalankan kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat.
Sebuah doktrin penting yang mengilhami restorasi Meiji dan menjadi pandangan hidup orang Jepang tentang pentingnya pendidikan, dirumuskan pertama kali oleh Fukuzawa Yukichi, bapak pendidikan Jepang yang hidup pada zaman Meiji. Menurut Fukuzawa dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi), kedudukan manusia dalam suatu negara harus ditentukan oleh status pendidikannya, bukan oleh nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai warisan. Walaupun ada catatan yang harus kita sadari bahwa strategi Fukuzawa juga harus dilihat tetap sebagai konsep yang ada di dalam konteks kejepangan; yang memiliki keluhuran etos yang sudah turun temurun dijadikan pegangan hidup nyata. Sehingga ketergantungan terhadap unsur luar, semata beraras pada dimensi kognitif belaka, di dalam hal ini modernism ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dimensi afektif dan prilaku tetap memanfaatkan kekayaan budaya yang telah ada. Pemikiran dan upaya yang luar biasa dari Fukuzawa dalam merestorasi pendidikan Jepang mendapatkan penghargan yang monumental, pemerintah Jepang hingga saat ini memberikan kehormatan tertinggi dengan menampilkan gambar Fukuzawa dalam nilai tertinggi dari mata uang Jepang, yakni sepuluh ribu yen.
Kemajuan bangsa Jepang terus bertambah sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan.
Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Tujuannya untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, bertujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.
Ketiga, setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.
Saat ini wajib belajar masih dijalankan dengan ketat dijepang dari SD sampai SMA, sehingga tidak heran hampir 100 persen penduduk Jepang tamat SMA dan hampir tidak ada yang buta huruf, artinya hampir 100 persen penduduk Jepang dapat membaca kanji yang jumlahnya sekitar 3000 kanji beserta kombinasi berikut cara bacanya.
Sebagian besar lulusan SMA di Jepang melanjutkan ke universitas atau sekolah kejuruan. Ada juga universitas terbuka istilahnya “Hosyo daigaku” yang perkuliahannya dilakukan melalui TV swasta khusus selama 18 jam nonstop setiap hari, dan materinya diberikan oleh profesor-profesor yang cukup terkenal diseluruh Jepang. Prosentase lulusan S-1 yang melanjutkan S-2 sangat besar, contohnya apa yang dilakukan oleh Osaka University, hampir 70 persen mahasiswa S-1 diuniversitas ini melanjutkan S-2, dan 10 persen ke S-3. Karena wajib belajar, uang sekolah dan fasilitas lainnya dari SD sampai SMP terutama untuk keluarga menengah ke bawah menjadi kewajiban negara .
Investasi yang ditanamkan Jepang untuk pendidikan sangat besar namun hasil yang diperolah dari investasi tersebut sangat signifikan, sebagaimana yang kita lihat tentang Jepang sekarang ini dengan GNP melebihi 34.000 USD (Indonesia 700 USD). Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Amerika, Inggris maupun Prancis.( http://mandaazzahra.wordpress.com/about/). Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001 (Republika, 03/05/02) menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan hasil penelitian UNDP tahun 2007-2008, dari 117 negara di dunia, jepang masuk ke urutan delapan besar dunia. Urutannya: 1.Iceland, 2.Norway, 3.Australia, 4.Canada, 5.Ireland, 6.Sweden, 7. Switzerland, 8.Japan. Sekadar tambahan pembanding Indonesia berada diurutan ke 107, di bawah Palestina, yang menempati urutan ke 106.
Melalui filem “The Last Samurai” (TLS) penonton disegarkan kembali ikhwal dasar etos dan filosofi yang khas dan unik tersebut, dengan mengandalkan cerita, sejarah serta kekuatan media audio-visual serta laga (acting) para pemerannya. Pembahasan di dalam buku ini, kita akan urut berdasarkan sistematika berikut: (i) unsur struktur: sinopsis, pemeran, sutradara serta produser; dan (ii) interpretasi semiotika (pemaparan makna dan fungsi kontekstualnya, termasuk pemahaman terhadap Jepang dan perbandingannya dengan Indonesia).
READ MORE - MEMAHAMI KEBUDAYAAN SAMURAI JEPANG

SAJAK KEHILANGAN

Matinya Pancuran (Catatan Minawerot)

Gumuk tanah yang lembab
dan ilalang yang basah
masih menyimpan peradaban kampung di masa silam

Masa kecil jejaknya masih tergurat cadas-cadas yang berlubang
dulu kami menjebak kepitang dan udang sambil menunggu ayah selesai meladang.
Tegalan bukit kecil di ujung jalan berkeiok masih juga menyimpan suara nakal
masa kanak yang mengintip pancuran perempuan di sebelah
Tetapi di gigir kampung tak lagi ada lodong bambu
atau talang seng yang memancurkan air dari hulu.
Pancuran tinggal kata dalam kamus tua
Kau mungkin menemukannya dalam lukisan di sebuah hotel
Atau barangkali kau rindu masa silam
hanya anak-anak menganggapnya dongeng belaka.
READ MORE - SAJAK KEHILANGAN

BIOLOGI POHON KETELA

Biologi Pohon Ketela (Oposisi Biner)

Sebatang pohon ketela dipotong-potong
Terpotong batang
batang terpotong tapi selnya tidak mati hanya hidup tertunda
Sampai bumi memeluknya
Langit menangisinya
Lalu tumbuhlah sirung
Umbi kehidupan baru

Berbatang batang berpohon-pohon berumbi-umbi
Sebatang pohon kehidupan dipotong-potong
Terpotong harapan
cinta tak sesanding kuasa
tapi sel-sel nabi tak pernah mati kecuali berganti nama
sampai bumi memeluknya
Langit menangisinya

Lalu tumbuhlah sirung
Umbi kehidupan baru
Berorang-orang bertanah-tanah
berlaut laut cinta demi cinta atas nama cinta
dendam pada angkara
Memotong pohon kuasa

Orang menyangka telah menguburnya
Tapi sel angkara tak pernah mati hanya berganti masa
Sampai bumi hamil karenanya
Langit menangisinya
Lalu tumbuhlah sirung
Umbi kehidupan baru
Angkara demi angkara atas nama dendam cinta pada cinta

Pohon tumbuh dari
Lalu ke lalu
Dari sel ke sel
Dari mati ke umbi
Lalu ke lalu
Dari tak ke ada
dari kubur ke bangkit
Lalu ke lantas
Dan sel ke seI
Dari angkara demi cinta
Dari cinta demi angkara
Dari lalu ke selalu

Kau sambil mengintip mungkin merasa memilihnya
tumbuh bersama salah satunya
atau memelihara keduanya.

Lihatlah ke tanah, selalu ada yang baru.
READ MORE - BIOLOGI POHON KETELA

Selasa, 05 Mei 2009

Hasil Pemilu Legislatif 2009 Sulawesi Utara

45 Anggota DPR Sulut, Anggota DPR dan DPD
Pemilu 9 April 2009. telah menghasilkan 45 Anggota Dewan Sulawesi Utara.
Inilah nama-nama mereka yang dipilih rakyat.

Sulut 1 Manado
1. Victor Mailangkay SH MH (Golkar) 13.557
2. Diana Lady Rogi S.Th (Golkar) 10.271
3. Joudie A. Watung SH (Demokrat) 11.031
4. Andre Angow (PDIP) 7889
5. Drs. Arthur Kotambunan Bsc. (PDS) 8.366
6. Ir. Hi. Djafar Alkatiri ( PPP) 6.173
7. Teddy Kumaat SE (Gerindra) 6.32
8. Hi. Ayub Ali SE (PKS) 3.441
9. Hj. Rosmawati Nasaru SE (Hanura) 6.420

Sulut 2 Minahasa, Tomohon, Minahasa Utara

10. Eddyson Michael Masengi (Golkar) 16.488
11. Sherpa Manembu (Golkar) 13.577
12. Pdt. Tony Daud Kaunang (Golkar) 12.169
13. Sus Sualang Pangemanan S.Pd (PDIP) 22.790
14. Djenry Alting Keintjem, SH, MH (PDIP) 12.861
15. Drs. Steven Kandouw (PDIP) 10.809
16. Johny P. Mantiri S.Pd (Demokrat) 11.313
17. Netty Agnes Pantow SE (Demokrat) 11.300
18. Drs. Paul Tirayoh MBA (PDS) 11.700
19. Herry Tombeng SH (Gerindra) 3.478
20. Berty K. Senduk (PKPI) 2.851

Sulut 3 Bitung

21. Mikson Meidy Tilaar ST (PDIP) 4.607
22. Priscilla Cindy Wurangian MBA ( Golkar) 8.178
23. Jhon Dumais (Demokrat) 5.334

Sulut 4 Minsel-Mitra

24. James Sumendap SH (PDIP) 12.555
25. Prof. Dr. Ir. Joppy Paruntu MS (Golkar) 15.607
26. Djonnie Alex Sumual (Demokrat) 5.399
27. Felly E. Runtuwene SE (PDS) 9.534
28. Ir. Lexi B. N. Solang (Gerindra) 3.142
29. Juddy Frengky Moniaga SE (PPI) 6.416

Sulut 5 Bolmong Raya

30. Rasky A. Mokodompit (Golkar) 19.351
31. Soenardy Soemanta SIP (Golkar) 9.976
32. Sudirman Hasan (Golkar) 8.626\
33. Hi. Akbar Datunsolang SH (PAN) 12.990
34. Hi. Farid Lauma (PAN) 6.170
35. Benny Rhamdani (PDIP) 15.097
36. Drs. Idrus Mokodompit (Demokrat) 9.247
37. Fidel Pranata Damopolii (Barnas) 6.319
38. Sjenny F. Kalangi SE (PDS) 5.736
39. Drs. Hi. M. Anthon Mamonto (PKS) 3.656

Sulut 6 Sangihe, Sitaro, Talaud

40. Meiva Salindeho Lintang (Golkar) 24.125
41. Alotia Ben Roni (Golkar) 6.899
42. Ivonne Debby Bentelu (PDIP) 11.686
43. Wistje Abigail Rompas (PDIP) 8.667
44. Edwin Yerry Lontoh (Demokrat) 6.070
45. Winda Natalia Titah (Barnas) 3.974




Inilah hasil Pemilu Legislatif 2009
untuk daerah Sulawesi Utara

ANGGOTA DPR-RI UTUSAN SULUT

1. Ir. A. Edwin Kawilarang (99.608)
2. Aditya Anugrah Moha, S. Ked (114.627
3. Olly Dondokambey, SE (114.258)
4. Vanda Sarundajang (97.346)
5. EE. Mandindaan, S.IP (130.882)
6. Dra. Yasti Soepredjo Mokoagow (48.937)

ANGGOTA DPD-RI UTUSAN SULUT

Aryanthi Baramuli Putri, SH. MH (223.476)
Ir. Marhany Victor Poly Pua (141.132)
Drs. Alvius Lomban, M.Si
Ferry F.X. Tinggogoy (100.887)
READ MORE - Hasil Pemilu Legislatif 2009 Sulawesi Utara

Senin, 30 Maret 2009

Rosa di Dubai

Dubai International Poetry Festival: Oasis Pikiran dan Hati
-- Dorothea Rosa Herliany*

AWAL bulan ini (4-10 Maret 2009), Dubai menyelenggarakan sebuah festival puisi yang sangat spesial. Ratusan penyair dari 45 negara datang dan masing-masing membacakan karya puisi-puisi mereka di enam lokasi berbeda (termasuk pusat pertokoan dan klub-klub sosial yang ada di Dubai) hampir setiap malam. Para kritikus sastra dari sejumlah negara diundang untuk membentangkan buah pikiran mereka di bidang ilmu sastra; Wole Zoyinka (Nigeria), peraih Nobel Sastra tahun 1986, penerima Nobel pertama dari wilayah sub-Sahara Afrika hadir; juga beberapa tamu kehormatan, seperti Breyten Breytenbach (penyair Afrika Selatan, aktivis antiapartheid yang beberapa tahun dipenjara), serta HH Prince Badr bin Abdulmuhsin (Saudi Arabia). Di tengah itu semua ada pembacaan puisi karya dua putra kepala negara dan peluncuran buku puisi Poetry from the Desert karya Yang Mulia HH Sheikh Muhammed bin Rashid al-Maktoum.

Acara ini merupakan festival puisi internasional pertama yang diselenggarakan oleh Dubai. Sudah sekitar setahun lalu Dubai berambisi mengusung penyair dari sejumlah belahan dunia untuk datang ke negara ini, membangun jembatan pemahaman menyeberangi perbedaan kebudayaan masing-masing negara. Tak tanggung-tanggung, acara ini diprakarsai oleh sebuah yayasan milik Kepala Negara Dubai sendiri, yaitu Yang Mulia HH Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, yang juga merupakan Wakil Presiden dan sekaligus Perdana Menteri Uni Emirat Arab. Ia juga mendapat dukungan penuh dari sejumlah pejabat penting Dubai, seperti Sheikh Majid bin Mohammad Rashid al-Maktoum, Menteri Seni dan Budaya; Sheikh Ahmad bin Sayeed al-Maktoum, Presiden Otoritas Penerbangan Sipil Dubai dan sekaligus CEO Emirates Airlines Group; Shaikh Nahyan bin Mubarrak al-Naryan, Menteri Pendidikan Tinggi; Shaikh Hasher bin Maktoum al-Maktoum, Menteri Informasi. Jadi, tak pelak, ini menjadi sebuah acara resmi kenegaraan. Seorang penyair asal Tunisia, Al Munsif Al Mughni, berkomentar, ”Jika sebuah acara puisi diprakarsai oleh seorang kepala negara, sudah pasti itu akan membawa pengaruh besar di dunia dan saya kira negara yang lain perlu mengikuti langkahnya.” Sementara Breytenbrech menyebut ”Ini adalah sebuah acara yang merupakan oasis pikiran dan hati.” Menurut dia, sulit meningkatkan akses puisi ke wilayah publik yang lebih luas. Karena itu, jika ini bisa terselenggara, ini adalah sebuah kemenangan. ”Semoga kita semua bisa saling belajar. Ini bisa mengukuhkan dialog masing-masing untuk merayakan kemanusiaan melalui bahasa puisi.”

Beberapa penyair yang datang menyampaikan hal senada. ”Festival puisi Dubai adalah keajaiban nyata dan kemenangan akan kekuatan kata, indikator dari sebuah era kebudayaan baru atas puisi dan sastra. Ini juga merupakan kemajuan gagasan yang membuka cakrawala kreativitas dan keunikan yang tak terbatas,” demikian Rawdha al-Haj, penyair perempuan asal Sudan. Sementara itu, Wole Zoyinka mengungkapkan, ”Dubai adalah tanah yang subur untuk budaya dan bahasa. Dubai bisa menjadi negara yang menjadi pusat kebudayaan yang terus hidup,” ujarnya di depan para wartawan dari sejumlah negara yang juga diundang oleh penyelenggara festival. ”Sayangnya hanya sedikit penyair perempuan yang bisa terlibat di acara ini,” ujarnya sambil berharap tahun depan semoga lebih ada imbangan.

Festival puisi Dubai mengambil tempat utama di Madinat Theatre di Soukh Ukadh. Soukh adalah satu kekhasan etnik Dubai berupa bazar perdagangan yang asal muasalnya merupakan keping sejarah Dubai itu sendiri. Pada zaman dulu Dubai masih berupa wilayah pesisir dan menjadi tempat bongkar muat barang dari kapal milik para pedagang dari teluk Arab. Lalu datang pedagang dari Iran, India, dan Somalia yang membawa mutiara. Jual beli barang dagangan dimulai sejak itu, tepatnya mulai abad ke-16. Semula hanya beberapa orang saja berjongkok bernaungkan pakis pohon palem, menjual rempah-rempah, kurma, tembakau, dan arang. Lalu mereka makin banyak, kerumunan makin luas hingga ke pinggiran anak sungai Dubai. Sejak itulah Dubai termasyhur di kalangan pebisnis maupun pelancong dan hal itu tak bisa dilepaskan dari pesona soukh.

Pemilihan soukh ini memang sengaja hendak menyoroti Dubai dengan caranya yang khas untuk menawarkan platform dari keberagaman budaya sambil membangkitkan tradisi zaman lama yang membuahkan hasil kebudayaan yang kaya. Soukh Ukadh secara efektif membawa kedalaman, menggabungkan perdagangan, evolusi kebudayaan, perkembangan intelektual, tetapi sekaligus mampu merefleksikan spirit kemanusiaan kontemporer ke tradisi puitik. Sebagai negara dengan julukan ”mutiara teluk”, Dubai percaya pada potensi kreatif dan karena itu membuat proyek yang menjadikan bertumpuk-tumpuk budaya bisa eksis bersama, warisan masing-masing bangsa bisa saling dihargai dan bagaimana gagasan yang bebas bisa saling bertukar, serta para penyair berinteraksi memperkaya kedalaman kreativitasnya.

Identitas

Konsep identitas adalah satu topik penting yang dibahas dalam festival ini. Dapatkah puisi menjaga Arab (dan bangsa-bangsa lain) dari efek globalisasi? Para ahli sastra Arab mencemaskan krisis identitas. Kita bisa melihat dunia lewat internet, tingkah laku akan jadi global, negara-negara akan jadi multination, lokal dan internasional akan tak ada. Dunia menjadi tempat paling berbahaya. Namun, justru di tanah bernama ”puisi” bisa ditemukan kedamaian. Sebab, ia memiliki kekhasan, yakni bahasa. Bahasa puisi bukan bahasa biasa. Ia adalah bahasa hati. Di sana ada refleksi jiwa suatu bangsa. Puisi memelihara kepedihan, menjaga kehidupan, mengembangkan kekayaan bahasa, meningkatkan nilai keindahan dan seni komunikasi. Puisi menjelajahi esensi keberadaan manusia. Ia adalah orientasi semangat, jiwa, hati. Sumber terdalamnya sukar dipahami, di luar pengetahuan dan pengalaman manusia biasa. Pada pengertian ini, puisi tak hanya menjadi yang paling kuno, tetapi juga seni yang paling universal.

”Ada banyak suara dan lengking yang tak ada hubungan saat ini. Saat itulah penyair mesti mampu mengusung kesunyiannya dalam dunia yang gila ini. Makin lama dunia ditimpa kecurigaan satu sama lain. Namun, dalam kenyataannya kita jadi makin dekat, melalui puisi,” cetus Imitiaz Dharker, penyair India.

Selain diskusi yang menganalisis berbagai aspek puisi dan mengidentifikasi bagaimana mereka dilengkapi, disempurnakan, ditegaskan, dan bagaimana sebuah elan kreativitas menyumbang puisi dan bentuk sastra lain, seperti novel dan drama, juga ada beberapa malam yang didedikasikan bagi para sastrawan dunia. Seperti malam Omar al-Khayyam yang yang diselenggarakan di Rumah Puisi Dubai (di mana karya-karya rubaiyat penyair besar tersebut dibacakan dalam bahasa tak terbatas: Arab, Parsi, Albania, dan lain-lain), malam penghargaan untuk Mahmoud Darwish, dan lain-lain.

Pertunjukan artistik yang menghibur juga tersaji saat putra mahkota, Syaikh Hamdan bin Mohammed dan adiknya, Syeikh Ahmad, yang rupawan memesona ribuan hadirin dengan pembacaan puisi tanpa teks yang sederhana, tetapi mengalir lancar dan sangat ekspresif. Malam berubah menjadi penuh ”api” karena puisi mereka bertemakan patriotisme dan cinta. Sebagaimana sebuah dinner ditutup dengan dessert, acara DIPF ini juga diakhiri dengan satu hidangan penutup yang manis: Yang Mulia Syeikh Mohammed meluncurkan 27 ode liris yang disusun dari tradisi puisi nabati Arab dalam terjemahan bahasa Inggris (dari bahasa Arab) dan membagikannya ke seluruh penonton yang hadir. Lalu, tirai diturunkan, karpet merah digulung, pintu ditutup, para penyair melambai, sampai bertemu tahun depan: Ma’assalaamah!

* Dorothea Rosa Herliany, Penyair Tinggal di Magelang, Jawa Tengah

Sumber: Kompas, Minggu, 22 Maret 2009


Catatan: Kapan Indonesia dapat melakukan hal serupa. Tetapi sambil menunggu jawaban yang tak puguh datangnya tersebut, setiap daerah dan komunitas seniman patut menadopsi kegiatan tersebut sambil, tentu, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan dasar masing-masing. Selamat Rosa, selamat penyair...(aku mau nulis "selamat penyair indonesia").*
READ MORE - Rosa di Dubai

Senin, 16 Maret 2009

Belakangan saya acap berpendapat: entah saat diskusi atau berceramah meniupkan atmosfir peradaban kita yang cenderung rusak dan semakin rusak oleh adanya magnet raksasa yang bernama relasi jual beli. Apa yang saya maksudkan, ternyata terumuskan secara tepat dan indah di dalam Caping GM. Terus terang saya merasa ada katarsis, betapapun ada sinisme di akhir tulisan GM. Tetapi yang penting substansinya kita sadar. Sinisme atau keterunyuhan, bukanlah sikap abadi. Sebab, bisa jadi itulah keweruh (wisdom) sejati. Sejauh kita terus melakukan perjalanan hidup secara lumrah, sambil senantiasa yakin bahwa masih ada kesempatan untuk berbuat sesuai keweruh yang tumbuh di dalam diri kita. (Kamajaya Al Katuuk)**


Bukan-Pasar

Senin, 16 Maret 2009/ Majalah TEMPO


DI tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibutuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima. Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-ramai. Ada peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh dari sana, ada jalan raya dengan rambu-rambu lalu lintas.

Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi bagian yang dikendalikan pasar dan kesibukannya: tak seorang pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu sebagai milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.

Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang pernah disebut sebagai ”pasar metaforik”: kegiatan yang tak terbatas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan hubungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.

Dalam ”pasar metaforik” ini pun (yang selanjutnya akan ditulis dengan ”P”) diperlukan hal-hal yang tak seharusnya diubah jadi benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga: hal-hal di luar jangkauan Pasar, meskipun ada di dalam tubuh Pasar itu sendiri.

Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama menonjolnya pengaruh Milton Friedman, sebuah dikotomi ditegakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana ada Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Negara. Seri ceramah TV Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi mereka yang ogah atau jera akan campur tangan Negara dalam ekonomi, mereka yang menampik ”kekuasaan yang sewenang-wenang segelintir orang” yang terkadang disebut sebagai birokrasi dan hendak mengendalikan perilaku yang pada akhirnya dipilih oleh masing-masing orang. Dengan diberi dalih oleh pemenang Hadiah Nobel, tokoh Mazhab Chicago yang fasih dalam berargumentasi itu, ekonomi pun di mana-mana digerakkan oleh semangat deregulasi dan privatisasi. Negara—itu sesuatu yang buruk. Pasar—itu selamanya penting.

George Soros kemudian menyebut pandangan macam itu ”fundamentalisme pasar”; Paul Krugman menamakannya ”absolutisme laissez faire”. Dalam tulisannya di The New York Review of Books bertanggal 26 Maret 2009 Amartya Sen tak memberi nama apa pun. Tapi ia menyebut kesalahan mereka yang tak bisa dengan jelas membedakan ”keniscayaan” (necessity) pasar dari ”keserbacukupan” (sufficiency) pasar.

Dari sini akhirnya diakui, di tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar—dan itu dibutuhkan. Sen menunjukkan bahwa para penerus Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai ”bapak paham kapitalisme” itu, telah keliru bukan karena sang bapak salah. Mereka keliru karena Smith, dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith, sebagaimana dikutip Sen, juga berbicara tentang perlunya ”perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat bermasyarakat”.

Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar. Mereka justru diperlukan Pasar agar berjalan beres. Sebagaimana dicatat oleh sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul sebelum ada sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan kepemilikan. Tukar-menukar komersial tak dapat berlangsung secara efektif sampai tumbuh moralitas bisnis yang membuat perjanjian kontraktual ditaati tanpa ongkos yang tinggi, misalnya karena tak perlu terus-menerus membayar biaya perkara pengaduan dan peradilan. Investasi dalam bisnis yang produktif tak dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah dan berlebih dari korupsi.

Pendek kata, menurut Sen, ”kapitalisme yang berorientasi laba selamanya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai institusional yang lain”. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas, tak bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.

Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah mengatakan hal itu dalam esainya, ”Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic Discourse”: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, ”sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri”. Sebab vitalitas itu berangkat dari sikap menghormati ”norma-norma moral tertentu”, sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ”ideologi resmi kapitalisme”.

Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa ”rakus itu bagus”—seperti yang dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed—pada akhirnya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang ini—seorang pebisnis terpandang—berhasil mengeruk US$ 65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam uang dengan penuh kepercayaan di koceknya.

Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak kalah rusak adalah sikap percaya-mempercayai. Bank kini ragu meminjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang terasa betapa perlunya ”nilai-nilai institusional” di luar Pasar. Mereka perlu dijaga.

Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-nilai itu akan datang lagi dan bagaimana akan dilembagakan. Siapa yang akan secara sistematis menanam pohon, menegakkan rambu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit nyaris tipis dan pengertian ”bebrayan” dirusak oleh ketimpangan sosial dan korupsi? Apa gerangan yang harus dilakukan?

Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin sekali bisa menjawab itu.

Goenawan Mohamad
READ MORE -

Sabtu, 07 Maret 2009

100 Perempuan Populer

Top 100 Women of History - Introduction | How I Selected and Sequenced the List More Women A-Z

Who are the most popular women of history, on the Net? Here's a section of the list of the top 100 in popularity. If the name is underlined, you'll find a biography or article about her.

Are the results what you expected? I had a lot of surprises, myself. If you don't find a favorite, it's likely that I did look her up (I included more than 300 women in my research), but her web popularity, over a number of years, just didn't stack up. Solution? More media exposure, more attention to history standards, more education. 
100. Rachel Carson
Pioneer environmentalist Rachel Carson wrote the book that helped create the environmentalist movement in the late 20th century.
Rachel Carson Biography
99. Isadora Duncan
Isadora Duncan brought modern dance to the world, while living (and dying) with personal tragedy. 
About Isadora Duncan
98. Artemisia
Ruler of Halicarnassus, Artemisia helped Xerxes defeat the Greeks and then helped talk him into abandoning the war against the Greeks.
About Artemisia
97. Martha Graham
Martha Graham was a dancer and choreographer best known as a leader of the modern dance (expressionist) movement, expressing emotion through dance.
About Martha Graham
96. Angela Davis
Her support for revolutionary black activist George Jackson led to her arrest as a conspirator in the abortive attempt to free Jackson from a Marin County, California, courtroom. Angela Davis was acquitted of all charges, and continues to teach and write about feminism, black issues and economics.
About Angela Davis
95. Golda Meir
Golda Meir, a labor activist, Zionist and politician, was the fourth prime minister of the State of Israel and second woman prime minister in the world. The Yom Kippur War, between Arabs and Israelis, was fought during her term as prime minister.
About Golda Meir
94. Elizabeth Blackwell
Elizabeth Blackwell was the first woman in the world to graduate from medical school. Blackwell was also a pioneer in the education of women in medicine.
About Elizabeth Blackwell
93. Gertrude Stein
Gertrude Stein was a writer and associate of many of the 20th century's writers and artists. Her salon in Paris was a center of modern culture. She's known for her stream-of-consciousness style.
About Gertrude Stein
92. Caroline Kennedy
Caroline Kennedy (Schlossberg) is a lawyer and writer, including a 1995 book on privacy. She values her own privacy and that of her family though she's been in the public eye since her father, John F. Kennedy, took office as President in 1961. She served in 2008 as head of the team to select a Vice President for Democratic presidential nominee Barack Obama.
About Caroline Kennedy
91. Margaret Mead
Margaret Mead was an American anthropologist whose groundbreaking work, especially in Samoa in the 1920s, was attacked after her death as faulty. She emphasized cultural evolution and personal observation. 
About Margaret Mead

90. Jane Addams
A pioneer in social work, Jane Addams founded Hull-House in the 19th century and led it well into the 20th. She was also active in peace and feminist work.
About Margaret Mead

Jane Addams Biography
A Detailed Life History 514 Pages of Biographical Content
BookRags.com
89. Lena Horne
The sultry singer began at Harlem's Cotton Club and worked her way into the world's heart as she struggled to overcome the limitations placed on her career by racism.
About Lena Horne
88. Margaret Sanger
After seeing the suffering caused by unwanted and unplanned pregnancies among the poor women she served as a nurse, Margaret Sanger took up a lifetime cause: the availability of birth control information and devices.
About Margaret Sanger
87. Elizabeth Cady Stanton
Elizabeth Cady Stanton was the intellectual leader and strategist of the 19th century's women's rights movement, though her friend and lifelong partner in activism, Susan B. Anthony, was more of a public face to the movement.
About Elizabeth Cady Stanton
86. Erma Bombeck
Erma Bombeck's humor helped document the life of women in the 20th century as wives and mothers in suburban homes.
About Erma Bombeck
85. Calamity Jane
Calamity Jane was one of the best-known women of the American "Wild West." Scandalous enough as a woman who dressed as a man and was infamous for drinking and fighting, she embellished her life story considerably.
About Calamity Jane
84. Charlotte Brontë
Charlotte Brontë was one of three brilliant sisters, writers of the 19th century, each of whom died early. Charlotte's best known work is the novel, Jane Eyre, which drew from her own experience as a student in an inhumane school and as a governess.
About Charlotte Bronë
83. Ida Tarbell
Muckraking journalist Ida Tarbell was one of the few women to succeed in that circle. She exposed the predatory pricing practices of John D. Rockefeller and her articles about his company helped bring the downfall of Standard Oil of New Jersey.
About Ida Tarbell
82. Hypatia
Hypatia is known as the ancient world's most famous woman mathematician, philosopher, and astronomer. Her enemy, Cyril, archbishop of Alexandria, may have called for her death. She was a pagan martyr, torn apart by a mob of Christian monks.
About Hypatia
81. Sacagawea 
Sacagawea [or Sacajawea] guided the Lewis and Clark expedition, not completely of her own volition. In 1999 her image was selected for the United States dollar coin.
About Sacagawea
French novelist of the 20th century, Colette was noted for her unconventional themes and lifestyle.
 
79. Judy Collins
Part of the 1960s folk revival and still popular today, Judy Collins made history by singing in the Chicago 7 conspiracy trial.
About Judy Collins
78. Abigail Adams
Abigail Adams was the wife of the second U.S. president and mother of the sixth. Her intellect and lively wit come alive in her many letters which were preserved.
About Abigail Adams
77. Margaret Thatcher
Margaret Thatcher was the first woman prime minister in Europe. She's also, to this date, the longest-serving British Prime Minister since 1827. Famous (or infamous) for her conservative politics, she also presided over the British re-taking of the Falkland Islands from Argentina.
About Margaret Thatcher
76. Sally Ride
Sally Ride was a nationally ranked tennis player, but she chose physics over sports and ended up the first American woman astronaut in space, a NASA planner, and a science professor.
About Sally Ride
75. Emily Brontë
Emily Brontë was the middle of the three famous novelist and poet sisters of the 19th century, with Charlotte Brontë and Anne Brontë. Emily Brontë is best remembered for her dark and unusual novel, Wuthering Heights. She's also credited as a major influence, in her poetry, on Emily Dickinson.
About Emily Brontë
74. Hatshepsut
Hatshepsut reigned as Pharaoh of Egypt about 3500 years ago, taking on the titles, powers, and ceremonial clothing of a male ruler. Her successor tried to wipe her name and image from history; fortunately for our knowledge of this early woman leader, he did not entirely succeed.
About Hatshepsut
73. Salome
Biblical character Salome is known for asking her stepfather Antipas for the head of John the Baptist, when he offered her a reward for her dancing at his birthday feast. Salome's mother, Herodias, had prearranged for this request with her daughter. Salome's story was adapted into a drama by Oscar Wilde and an opera by Richard Strauss, based on the Wilde drama. Another woman named Salome was present at the crucifixion of Jesus according to the Gospel of Mark.
72. Indira Gandhi
Indira Gandhi was the prime minister of India and a member of a prominent Indian political family. Her father and two of her sons were also Indian prime ministers.
About Indira Gandhi
71. Rosie the Riveter
Rosie the Riveter was a fictional character based on the World War II civilian service on the homefront in the factory of many American women. She has come to represent all the industrial women workers in the war effort. After the war, many "Rosies" once again took up traditional domestic roles as housewives and mothers.
About Rosie the Riveter
69. Mary Queen of Scots
Mary was the Queen of France (as a consort) and Queen of Scotland (in her own right); her marriages caused scandal and her Catholic religion and kinship with England's Queen Elizabeth I caused enough suspicion of her motives that Elizabeth had her executed.
About Mary Queen of Scots
68. Lady Godiva
Did Lady Godiva really ride naked on a horse through the streets of Coventry to protest a tax imposed by her husband?
About Lady Godiva
67. Zora Neale Hurston
Zora Neale Hurston was by profession an anthropologist and folklorist. Her novels, including Their Eyes Were Watching God, have enjoyed a revival in popularity since the 1970s thanks to the efforts of writer Alice Walker.
About Zora Neale Hurston
66. Nikki Giovanni
Nikki Giovanni is an African American woman poet whose early work was influenced by the black power movement and whose later work reflects her experience as a single mother.
65. Mary Cassatt
A rare woman among the Impressionist painters, Mary Cassatt focused often on themes of mothers and children. Her work gained in recognition after her death.
About Mary Cassatt
64. Julia Child
Julia Child is known as the author of Mastering the Art of French Cooking. Her popular books, television cooking shows and videos kept her in the public eye. Less well known: her brief spy career.
63. Barbara Walters
Barbara Walters is an award-winning journalist specializing in interviews. She was, at one time, the highest-paid woman news anchor.
About Barbara Walters
62. Georgia O'Keeffe
Georgia O'Keeffe was an American painter of a unique style. In her later years she moved to New Mexico where she painted many desert scenes. 
61. Annie Oakley
Annie Oakley the sharpshooter performed with Buffalo Bill's Wild West Show, at first with her husband Frank Butler and later as a solo act.
60. Willa Cather
Willa Cather, novelist, documented many periods of American culture, including the settling of the pioneer west.
About Willa Cather
 
59. Josephine Baker
Josephine Baker was an exotic dancer who found fame in Paris, helped with the Nazi resistance, was accused of communist sympathies, worked for racial equality, and died shortly after her 1970s comeback.
About Josephine Baker
58. Janet Reno
Janet Reno was the first woman to hold the office of U.S. Attorney General, she's remembered for her toughness and for several controversies during her tenure.
About Janet Reno
57. Emily Post
Emily Post first published her Etiquette book in 1922, and her family has continued her legacy of flexible, common sense advice on good manners.
About Emily Post
56. Queen Isabella
Queen Isabella: but which Queen Isabella? Perhaps Net searchers were looking for Isabella of Castile, the erudite ruler who helped unite Spain, supported Columbus' voyage, drove the Jews from Spain and instituted the Spanish Inquisition? Were some looking for Isabella of France, queen consort of Edward II of England, who helped arrange his abdication and murder, then ruled with her lover as regent for her son? Or Isabella II of Spain, whose marriage and behavior helped stir up Europe's 19th century political turmoil? Or another Queen Isabella ...?
Which Queen Isabella? 
55. Maria Montessori
Maria Montessori was the first woman to earn a medical degree from the University of Rome, She applied learning methods she developed for mentally retarded children to children with intelligence in the normal range. The Montessori method, still popular today, is child-centered and experience-centered.
About Maria Montessori
54. Katharine Hepburn
Katharine Hepburn, a twentieth century film actress, often played strong women at a time when conventional wisdom said that traditional roles were all that would sell movie tickets.
About Katharine Hepburn
53. Harriet Beecher Stowe
Abraham Lincoln suggested that Harriet Beecher Stowe was the woman who started the Civil War. Her Uncle Tom's Cabin certainly stirred up a lot of anti-slavery sentiment! But she wrote on more subjects than abolitionism.
About Harriet Beecher Stowe
52. Sappho
Ancient Greece's best known poet, Sappho is also known for the company she kept: mostly women. And for writing about her passionate relationships with women. She lived on the island of Lesbos -- is it fair to call her a lesbian?
About Sappho
51. Sojourner Truth
Sojourner Truth was best known as an abolitionist but she was also a preacher and spoke for women's rights. She was one of the most in-demand speakers of the mid-19th century in America.
About Sojourner Truth
50. Catherine the Great
Catherine the Great was the ruler of Russia after she had her husband deposed. She was responsible for the expansion of Russia into Central Europe and to the shores of the Black Sea.
About Catherine the Great


49. Mary Shelley
Mary Shelley, the daughter of Mary Wollstonecraft and William Godwin, eloped with the poet Percy Shelley, and later wrote the novel Frankenstein as part of a bet with Shelley and his friend George, Lord Byron.
About Mary Shelley
48. Jane Goodall
Jane Goodall observed and documented the life of chimps in the wild from 1970 into the 1990s, and has tirelessly worked for the better treatment of chimpanzees.
About Jane Goodall
47. Coco Chanel 
Coco Chanel was one of the 20th century's best-known fashion designers. Her look helped define the 1920s and the 1950s.
About Coco Chanel 
46. Anais Nin
The diaries of Anais Nin, first published in the 1960s when she was more than 60 years old, frankly discuss her life, her many loves and lovers, and her self-discovery quest.
About Anais Nin
45. Isabel Allende
Isabel Allende, a journalist, fled her country, Chile, when her uncle, the president, was assassinated. After leaving her homeland, she turned to writing novels that look at life -- especially women's lives -- with both mythology and realism.
About Isabel Allende
44. Toni Morrison
Toni Morrison won the 1993 Nobel Prize for Literature, and is known for writing about the black woman's experience.
About Toni Morrison
43. Betsy Ross
Even if Betsy Ross didn't make the first American flag (she may not have, despite the legend), her life and work shed light on the experience of women in colonial and revolutionary America.
About Betsy Ross
42. Marie Antoinette
Marie Antoinette, Queen Consort to Louis XVI of France, was unpopular with the French people, and ultimately was executed during the French Revolution.
About Marie Antoinette
41. Jackie Kennedy
Jackie Kennedy (Jacqueline Kennedy Onassis) first came to public attention as the fashionable and graceful wife of John F. Kennedy, the 35th President of the United States. She served as First Lady from 1961 until her husband's assassination in 1963, and she later married Aristotle Onassis.
About Jackie Kennedy
40. Mata Hari
Mata Hari, one of history's most infamous spies, was executed in 1917 by the French for spying for the Germans. Was she guilty as charged?
About Mata Hari
 
39. Anne Bradstreet
Anne Bradstreet, colonial American woman, was America's first poet. Her experiences and writings allow insight into the experience of the early Puritans in New England.
About Anne Bradstreet
38. Louisa May Alcott
Louisa May Alcott is best known as author of Little Women, and less well known for her service as a Civil War nurse and for her friendship with Ralph Waldo Emerson. 
About Louisa May Alcott
37. Eudora Welty
Eudora Welty, known as a Southern writer, was a 6-time winner of the O. Henry Award for Short Stories. Her many awards include the National Medal for Literature, the American Book Award, and, in 1969, a Pulitzer Prize.
About Eudora Welty
36. Molly Pitcher
Molly Pitcher was the name given in several varying stories about women who fought in the American Revolution. Some of these stories may be based on events that happened to a Mary Hays McCauley, and some may be about a Margaret Corbin.
35. Joan Baez
Joan Baez, part of the 1960s folk revival, is also known for her advocacy of peace and human rights.
About Joan Baez
34. Eva Peron
Senora Maria Eva Duarte de Peron, known as Eva Peron or Evita Peron, was an actress who married Argentian Juan Peron and helped him win the presidency, becoming active in politics and the labor movement herself.
Eva Peron - Index
33. Lizzie Borden
"Lizzie Borden took an axe, and gave her mother forty whacks" -- or did she? Lizzie Borden was accused (and acquitted) of the murders of her father and stepmother.
About Lizzie Borden
32. Michelle Kwan
Michelle Kwan, a champion figure skater, is remembered by many for her Olympic performances, though the gold medal eluded her.
About Michelle Kwan
31. Billie Holiday
Billie Holiday (born Eleanora Fagan and nicknamed Lady Day) was a jazz singer who came from a tough past, and struggled against racial discrimination and her own addictions.
30. Virginia Woolf
Virginia Woolf, a prominent English writer of the early 20th century, wrote "A Room of One's Own," an essay asserting and defending women's creative potential.
 
29. Alice Walker
Alice Walker, African American novelist and author of The Color Purple, as well as activist, depicted sexism, racism, and poverty that was met with the strengths of family, community, self-worth, and spirituality.
About Alice Walker
28. Ayn Rand
Ayn Rand, mother of objectivism, was, in the words of Scott McLemee, "the single most important novelist and philosopher of the 20th century. Or so she admitted with all due modesty, whenever the subject came up." 
About Ayn Rand
27. Clara Barton
Clara Barton, a pioneering nurse who served as an administrator in the Civil War, and who helped identify missing soldiers at the end of the war, is credited as the founder of the American Red Cross.
Clara Barton Biography
26. Jane Fonda
Jane Fonda, an actress who was the daughter of actor Henry Fonda, has been at the center of controversy over her Vietnam-era anti-war activities. She was also central to the fitness craze of the 1970s, and has continued to speak against war.
About Jane Fonda
25. Eleanor Roosevelt
Eleanor Roosevelt, wife of President Franklin D. Roosevelt, was his "eyes and ears" when he could not travel freely due to his disability. Her positions on issues like civil rights were often ahead of her husband and the rest of the country. She was key in establishing the U.N. Declaration of Human Rights.
24. Susan B. Anthony
Susan B. Anthony was the best-known of the "first wave" supporters of women's rights. Her long support of woman suffrage helped the movement succeed, though she did not live to see it successful.
About Susan B. Anthony
23. Queen Victoria
Queen Victoria of Great Britain ruled at a time when her nation was a great empire, and her name was given to an entire age.
About Queen Victoria
22. Queen Elizabeth
Which Queen Elizabeth? There's Queen Elizabeth I of England, or her much-later relative, Queen Elizabeth II. Then there's Queen Elizabeth also known as the Winter Queen -- and a whole lot of others.
21. Florence Nightingale
Florence Nightingale practically invented the profession of nursing, and also brought sanitary conditions to soldiers in wars -- at a time when more soldiers typically died of disease than of injuries in battle.
About Florence Nightingale
20. Pocahontas 
Pocahontas was a real person, not much like the Disney cartoon portrayal of her. Her role in the early English settlement of Virginia was key to survival of the colonists. Did she save John Smith? Maybe, maybe not.
About Pocahontas 
 
19. Amelia Earhart
Amelia Earhart, a pioneer aviator (aviatrix), set many records before her 1937 disappearance during an attempt to fly around the world. As a daring woman, she became an icon when the organized women's movement had virtually disappeared.
About Amelia Earhart
18. Marie Curie
Marie Curie was the first well-known woman scientist in the modern world, and is known as the "mother of modern physics" for her research in radioactivity. She won two Nobel Prizes: for physics (1903) and chemistry (1911).
About Marie Curie
17. Shirley Temple
Shirley Temple Black was a child actress who charmed movie audiences. She later served as an ambassador.
16. Lucille Ball
Lucille Ball is best known for her television shows, but she also appeared in dozens of films, was a Ziegfeld Girl, and was a successful businesswoman -- the first woman to own a film studio.
Lucille Ball Quotes
15. Hillary Clinton
Hillary Clinton, First Lady as wife to President Bill Clinton (1994-2001), was an attorney and reform advocate before moving to the White House. She then made history by being elected to the Senate and running for President herself -- barely missing getting the Democratic nomination in 2008, but celebrating "18 million cracks in the glass ceiling."
Hillary Clinton Quotes
14. Helen Keller
The story of Helen Keller has inspired millions: though she was deaf and blind after a childhood illness, with the support of her teacher, Anne Sullivan, she learned signing and Braille, graduated from Radcliffe, and helped change the world's perception of the disabled.
About Helen Keller
13. Rosa Parks
Rosa Parks is best known for her refusal to move to the back of a bus in Montgomery, Alabama, and her subsequent arrest, which kicked off a bus boycott and accelerated the civil rights movement.
About Rosa Parks
12. Maya Angelou
Maya Angelou, a poet and novelist, is known for her beautiful words and big heart.
Maya Angelou Quotes
11. Harriet Tubman
Harriet Tubman, Underground Railroad conductor during American slavery, was also a Civil War nurse and spy, and an advocate of civil rights and women's rights. 
About Harriet Tubman
10. Frida Kahlo
Frida Kahlo was a Mexican painter whose primitive-like style reflected Mexican folk culture, her own pain and suffering, both physical and emotional. 
Frido Kahlo Quotes
Sponsored Links

Diversity and Identity
As America becomes more diverse, Identity is a shifting concept.
www.america.gov

Women At Home?
95% Of Make Money At Home Jobs Are Scams. Make Real Money At Home!
www.TheLegitInternetJob.com/At_Home

Mother Teresa Biography
A Detailed Life History 28 Pages of Biographical Content
BookRags.com
9. Mother Teresa
Mother Teresa of Calcutta, born in Yugoslavia, decided early in her life that she had a religious vocation to serve the poor. She won the Nobel Peace Prize for her work. 
About Mother Teresa
8. Oprah Winfrey
Oprah Winfrey, talk show host, is also one of America's most successful business people, and a philanthropist. 
About Oprah Winfrey
7. Joan of Arc
Joan of Arc was burned at the stake afer she helped restore the King of France to his throne. She was later canonized. 
About Joan of Arc
6. Emily Dickinson
Emily Dickinson, who published little during her lifetime and was a noted recluse, revolutionized poetry with her verse.
About Emily Dickinson
5. Diana, Princess of Wales
Diana, Princess of Wales -- known as Princess Diane -- captured hearts around the world with her fairy-tale romance, her marital struggles, and then her untimely death.
About Diana, Princess of Wales
4. Anne Frank
Anne Frank, a young Jewish girl in the Netherlands, kept a diary during the time she and her family were hiding from the Nazis. She did not survive her time in a concentration camp, but her diary still speaks of hope in the midst of war and persecution.
About Anne Frank
3. Cleopatra
Cleopatra, the last Pharaoh of Egypt, had infamous liaisons with Julius Caesar and Mark Antony, while trying to keep Egypt out of Rome's clutches. She chose death rather than captivity when she lost this battle.
About Cleopatra
2. Marilyn Monroe
Marilyn Monroe, actress who was discovered while working in a World War II defense plant, epitomized a certain image for women in the 1940s and 1950s.
About Marilyn Monroe
1. Madonna
Madonna: Which one? The singer and sometimes actress -- and very successful self-promoter and businesswoman? The mother of Jesus? The image of Mary and other saintly mothers in medieval paintings? Yes, Madonna is the number one woman of history searched for year after year on the Net -- even if the searches are certainly for more than one woman.
Madonna 
(sumber: http://womenshistory.about.com/od/lists/tp/top_100_women.09.htm)

Di Sulawesi Utara Pada Hari Minggu, 8  Maret 2009 diselenggarakan Peringatan Hari Perempuan Sedunia melalui serangkaian kampanye. Salahsatunya adalah Orasi Budaya yang disampaikan oleh Kamajaya Al Katuuk, di Taman Kesatuan Bangsa Manado. 
READ MORE - 100 Perempuan Populer

Rabu, 04 Maret 2009

Cermatan Politik

Kepala dan Dengkul: Riskan WOC Bila Pemilu Legislatif Bermasalah
Oleh Kamajaya Al Katuuk
 Ini kabar menarik yang berkisar ikhwal riskannya Word Ocean Conference (WOC) yang diagendakan puncaknya diselenggarakan di Sulawesi Utara. Pasalnya, karena bisa jadi keberhasilan pelaksanaanya akan ditentukan oleh berhasil tidaknya penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif (Pemilu). Lantas apa pasal korelasinya antara Pemilu Legislatif dengan WOC? Ya, jelas sangat korelatif, dekat dan nyata. Keberhasilan WOC yang sebagian tahapannya sementara berjalan, tergantung pada keberhasilan Pemilu Legislatif yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April dengan WOC yang berjadwal tanggal 11-15 Mei, maka terhitung hanya kurang lebih sebulan jarak antara kedua peristiwa tersebut.
 Tegasnya, para pendukung keberhasilan WOC pasti berharap WOC berhasil, mulus dan fatsun. Tetapi sebaiknya tindakan proaktif jadi pilihan skenario yang apik dijalankan. Ada beberapa faktor yang yogya diindikasikan sebagai potensi meresahkan pemilu april 2009. Pertama atmosifir politik gerombolan, yang belakangan ini menciptakan amuk di beberapa tempat dengan bandrol politik, salah satunya yang hangat adalah bertajuk pemekaran Tapanuli. Pertanyaan korelasionalnya dengan Sulawesi Utara, sederhana saja: “Apakah di daerah ini model rekrutmen dan penggalangan dukungan politik sudah berdasarkan kepala atau masih dengkul (baca: gerombol massa). Di dalam model politik dengkul, para partisan politik bergerak berdasarkan mekanisme gerombolan (massa). Gerombol seperti ini kesadarannya sangat mekanis. Seperti menuju ke sesuatu tujuan, tetapi pada saat gerombolan tersebut berjalan prosesnya diatur oleh mekanisme gerak yang rawan amuk. Buruknya, ada saja seorang yang berteriak : “Kita dikhianati!; kita ditipu!”, atau : “ Itu pengkhianatnya!!!; itu penipunya!!!”, maka keberingasan pun berpotensi segera berkecamuk, serta gerombol bergerak menuju sasaran yang terlanjur di tuding. Apa yang terjadi? Segala hal bisa, tergantung situasi konteksnya. 
 Faktor kedua, adalah tingkat kepercayaan terhadap penyelanggara pemilu, KPUD. Belum ada pooling yang menguji tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga, yang mekanisme rekrutmennya kali ini berbeda dibanding sebelumnya.Terutama representasi tim seleksi yang tidak independen, representasi publik, melainkan sudah ada representasi lembaga politik, lembaga legislatif dan eksekutif (yang juga orang partai) sesungguhnya adalah para pemain politik. Tegasnya, pemilu kali ini, pemain memilih wasitnya. Jadi, pertanyaannya: “adilkah pemilu kita?” Jawabannya: “Seharusnya”. Munculnya kisruh KPUD Sulut dan Kota Manado patut dicamkan. Paling tidak kewarasan politik seperti analisis kasual yang menyoal, “apakah kisruh mereka bermusabab administratif atau politis?” “Pengadilan” sudah berjalan seperti apa adanya. Pemilih dan terutama para peserta masing-masing sudah punya catatan. Bisa jadi catatan tersebut akan diobral pada saat pengumuman hasil dan tidak memuaskan. Jadi, skenario seperti itu formulanya adalah: “selama menguntungkan diam saja, nanti ribut kalau tidak untung”.
 Ketiga, adalah faktor regulasi. Yang aktual adalah Perppu, yang menurut Mendagri , Mardianto (17/2) baru akan dibahas DPR, dan diharapkan ditetapkan sebelum 6 Maret nanti. Sebab tanggal tersebut adalah terakhir DPR bersidang terakhir. Jadi, regulator yang penting tersebut baru akan dibahas sebulan menjelang pemilu dilaksanakan. Kembali potensial bermasalah. Undang-undang dan peraturan yang sudah bertahun disosialisasikan saja tidak juga khatam difahami publik. Perppu dimaksud, akan mengatur tiga hal: (i) cara pemilihan di surat suara, (ii) Daftar Pemilih Tetap, serta (iii) penentuan suara terbanyak. Jelas kabar tidak nyaman. Walau, ada formula lain: “Kita sebagai bangsa sudah terbiasa dengan peraturan yang mendadak”. Kembali bertambah tidak nyaman bila lanjutannya adalah: “…karena peraturan dibuat untuk tidak dihiraukan”. Dari tiga ancangan tersebut, daftar pemilih selalu paling rawan. Maklum yang diurus adalah manusia, juga yang mengurus manusia. Tetapi selain faktor administrasi tersebut, keadilan dn transparansi penyelenggara dalam penghitungan hasil, terutama, akan menentukan reaksi peserta.  
 Tiga faktor tersebut potensial mengganggu pemilu. Entah gugatan antara para peserta maupun peserta dengan penyelenggara. Bahkan juga pengawas, pemantau bisa ikut terseret. Nah, bila ini terjadi gugatan bisa jadi berlarut dan waktunya masuk ke jadwal WOC. Gugatan tersebut bila sekadar berseliwer di wilayah persidangan tentu dapat dianggap galib. Tetapi akan segera bermasalah apabila pada saat yang sama juga berkembang aksi mobilisasi gerombol yang memengaruhi atmosfir keamanan sosial. Belum lagi kalau ada agenda politik gerombol terselubung, yang menyempitkan WOC sebagai agenda seseorang atau sekelompok orang semata. Ini yang paling harus diantisipasi. Sebab, bila gerombol kepentingan ini cukup mengkristal dan menggunakan momen kekisruhan pemilu, jelas butuh tidak sembarang cara penanganan. Jaminan yang kita butuhkan amannya pemilu, tentu bukan sekadar terkait WOC, melaikan kualitas demokrasi dan peradaban di daerah dan bangsa ini.**
READ MORE - Cermatan Politik

Rabu, 18 Februari 2009

Refleksi IT Dalam Pendidikan

Murid udah go blog, guru masih? … 
Oleh iskandar Zulkarnaen - 19 Februari 2009  

Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan pak Wijaya yang banyak bicara seputar guru dan internet. Awalnya saya tidak menyangka tulisannya akan semenarik itu, karena dari judulnya tidak tersirat sedikitpun soal tema guru yang banyak dikupas di dalamnya. Tapi karena saya tahu pak Wijaya adalah seorang guru maka asumsi dasar saya tulisannya tidak akan jauh dari bangku sekolah.

Ternyata benar. Di situ ditulis tentang bagaimana peran guru dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang orang Indonesia lebih seneng menyebutnya sebagai ICT alias information and Communication Technology.

Pada saat yang sama, di harian Kompas, juga diulas tema yang sama. Judulnya lebih praktis, karena langsung membenturkan peran guru kelas dengan guru digital bernama Google, Wikipedia dan mesin informasi canggih online lainnya.

Begitu membaca kedua artikel tadi, saya jadi teringat dengan cerita adik ipar saya yang bekerja sebagai staf tata usaha (merangkap guru olahraga) di sebuah sekolah dasar negeri. Dia bilang, belakangan ini para guru di sekolahnya antusias minta diajarkan komputer. “Mereka paling cuma minta diajarkan cara mengetik di MS Word sampai tahu cara ngeprint tulisan”, katanya.

Padahal adik ipar saya ini juga awam soal komputer dan banyak bertanya soal teknis penggunaannya kepada orang lain di rumah. Tapi berhubung di sekolah itu tidak ada orang lain yang bisa komputer, maka ilmu komputer yang dia dapat dari learning by doing itu pun dengan senang hati ditransfer ke guru lain.

Dari satu sekolah di bilangan Palmerah ini, imajinasi saya langsung beranjak ke sekolah-sekolah lain. Saya membayangkan satu fakta bahwa mayoritas guru di negeri ini (entah sekolah negeri, swasta juga pesantren) bukan hanya tidak melek internet, tapi juga gagap komputer. Faktornya bukan lagi sekedar kepemilikan komputer, tapi kebutuhan terhadap komputer. Mereka gaptek bukan karena tidak memiliki komputer, tapi karena dalam menjalankan tugasnya mereka (merasa dan dikondisikan) tidak membutuhkan komputer.

Logikanya begini. Sepanjang Anda butuh dengan komputer, walaupun tidak punya, Anda akan mati-matian mencari cara agar bisa menggunakannya. Toh rental komputer dan warung internet sudah menjamur di banyak kota-kota besar.

Tapi yang berlaku di banyak sekolah mungkin sama dengan yang berlaku di sekolah adik ipar saya. Komputer adalah alat bantu yang hanya dibutuhkan oleh staf TU untuk menginput data, menyiapkan soal ujian dan lain sebagainya. Guru tugasnya hanya mengajar sehingga tidak butuh komputer. Hasilnya adalah seperti sekarang ini: Para guru hanya tahu bagaimana mengajarkan pelajaran yang dipelajarinya semalam di depan kelas, tapi tidak tahu bahwa pada malam yang sama murid-muridnya mempelajari sesuatu yang lebih luas dan lebih dalam di Google dan Wikipedia.

Ketika guru bersusah-payah mencari batas pelajaran sebelumnya dan menyiapkan materi evaluasi untuk disampaikan di awal sesi mengajar, murid-murid dengan mudahnya memasukkan kata kunci di mesin pencari online dan mendapatkan sekian banyak ilmu dan informasi terkait dengan kata tersebut.

Dengan melihat fakta ini, sebenarnya yang dibutuhkan oleh guru tidak mentok pada persoalan gaji (yang menurut adik ipar saya pendapatan seorang guru SD per bulan sudah mencapai empat juta rupiah). Tapi lebih lebih penting lagi bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran dengan memanfaatkan komputer dan internet.

Jangan lagi berpikiran sempit dengan menganggap anak-anak hanya bermain game online dan browsing situs-situs porno saat mereka mengakses internet. Meskipun dua racun online itu masih mendominasi jiwa anak, tapi mereka juga tertarik untuk tahu banyak hal lain di internet. Di sini mereka punya kamus, punya koran, punya kalkulator ilmiah, punya komunitas yang senang berbagi dan punya akses ke segala jenis ilmu dan wawasan kelas dunia. Apalagi sekarang mesin pencari dan penjelajah terkenal (browser) sudah menggunakan bahasa Indonesia.

Jadi, sebelum banyak murid ngeblog dan mengungkapkan kejadian-kejadian aneh yang berhubungan dengan guru dan pelajaran hari ini, lebih bijak kalau para guru bergegas menggandrungi internet dan ngeblog untuk menyebarkan lebih banyak ilmu kepada murid-murid secara digital. (Sumber: Blog Kompasiana).
READ MORE - Refleksi IT Dalam Pendidikan

Senin, 09 Februari 2009

Lesson-learn

Belajar Dari Mengajar
Oleh : Kamajaya Al Katuuk
 
An expert is a person who has made all the mistakes that can be made in a very narrow field (Neisl Bohr).

Seorang teman “aktivis” bisnis MLM, suatu waktu melakukan presentasi di daerah pedalaman. Di sutu komunitas transmigran, di Sulawesi Tengah. Baginya makin ke udik makin menantang. Maklum dia adalah tipe anak muda yang suka tantangan. Apalagi ini dengan ekspektasi dapat tambahan. Maklum bagi aktivis MLM menjadikan orang lain sebagai downline adalah syarat berhasil, selain menjual produk. 
Pendek cerita, dia pun sampailah di kawasan pemukiman nan udik itu. Semua tahu, tentu mana mungkin ada pemukiman transmigran di kota. Maka, setelah lewat tujuh sungai (selokan juga dihitung), gunung dan bukit, mirip cerita zaman baheula, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Dengan sigap begitu sampai, untuk mempertontonkan bahwa mereka orang sehat dan hebat berkat ber-MLM, teman dan rombangannya itu segera siap presentasi. Untung penduduk yang memang haus tamu dan hiburan itu juga tidak kalah semangatnya. Mereka bikin sambutan dan layanan segera. Tempat pertemuan disiapkan. Untuk menyalakan leptop berikut LCD dinyalakan pembangkit listrik disel. Drodot..dot..dot! Tayangan power point pun slide demi slide muncul. Sebagai penyaji bahan, kawan kita yang jadi pemeran utama di acara tersebut, sudah berbesar hati terhadap hasil. Paling tidak presentasi diperhatikan secara seksama dan penuh perhatian. Buktinya? Begitu slide pertama muncul, hadirin sudah memasang dan menyungguhkan dirinya untuk memerhatikan apa yang ditayangkan. Pokoknya, para hadirin bergaya super serius.
Sampai tibalah tayangan terakhir selesai. Sambil tersenyum yang memang sudah dibiasakan setiap tampil, kawan kita pun dengan penuh percaya diri, segera mengajukan pertanyaan. “Bagaimana Bapak-bapak dan Ibu-ibu? Apakah ada pertanyaan tentang bahan yang telah disajikan tadi?”. Hebat , atau lebih tegas aneh. Mengapa ? Sebab mereka menjadi semakin serius, tetapi kali ini lebih pantas untk dikatakan tegang bercampur malu. Apa pasal?
Pimpinan komunitas tersebut, segera tampil untuk memperjelas keadaan. Jadi bukan bertanya. Klemas-klemes, lantas berujar: “Bapak, begini sebenanrnya…” Dia pun menjelaskan, bahwa mereka, yang petani transmigran tersebut sejujurnya butu huruf. Astaga. Kenapa tidak diketahui sejak awal. Konyol, jadinya. Teman kita pun segera mengetahui situasi. Maklum, lantas segera mengambil cara lain untuk menjelaskan kepada khalayak tersebut. Bukan lagi bahasa huruf, melainkan bahasa tutur.
Hal serupa kurang lebih juga saya alami. Saat saya mengajar sebuah mata kuliah di sebuah tempat. Tentu, tidak etis untuk disebut di mana. Yang jelas saya, seperti juga cerita teman kita itu, penuh semangat menghadapi mahasiswa. Pada saat masuk pertama, seorang dosen mengantar saya sambil memberi instruksi kepada mahasiswa untuk siap menyambut kuliah dari saya, dengan bahasa Inggeris. Senang juga saya, karena bisa ikut memperlancar bahasa asing tersebut. Tidak masalah, saya asyik. Maka saya siapkan bahan, dan karena di tempat itu tersedia alat, kemasan power-point pun paket andalan yang powerful. Perkenalan dimulai dengan cara biasa menyebut rencana proses serta silabus yang akan digarap. Pada saat pertemuan pertama saya senang. Selain mahasiswanya cantik melulu---karena semua perempuan, juga perkuliahan ditanggapi beberapa mahasiswa secara antusias. Berbekal suasana kelas pertama itulah saya kemudian, pada pertemuan kedua menyajikan materi secara lebih memadai. Paling tidak bila indikatornya adalah bahasa. Saya sajikan materi kuliah pada hari kedua dalam bahasa Inggeris. Saya senang, karena mereka sangat serius, dan mencatat satu persatu, walau saya peringatkan mencatat yang penting atau kata kunci saja. Bahan yang saya tayangkan sebaiknya nanti mereka kopi saja. Mereka, saya anggap melakukannya. Sampai tibalah giliran saya memersilakan satu persatu untuk berpartisipasi, seperti membacakan beberapa poin yang ada di slide power point, dengan tujuan agar mereka lebih faham dan dapat mengelaborasi makna materi yang ada. Satu dua orang lancar, sebab memang mereka adalah yng hari pertama sudah menunjukkan kemampuan ala kadarnya. Tetapi begitu diberikan kesempatan yang lainnya, terjadilah alasan ini: yang ditunjuk berikutnya, segera memicingkan matanya, apalagi tempatnya di belakang ruangan, dan berdalih, “tidak dapat membaca”, bermusabab matanya yang bermasalah. Masih dapat dimaklumi. Ya, saya saja memang bermasalah penglihatan, sehingga itulah berkacamata minus. Tetapi begitu yang lain diberi kesempatan, membaca isi materi, jelas sudah masalahnya. Apalagi beberapa mahasiswa yang lainnya pun setali tiga uang. Saya jadi ingat saat saya di SMP. Membaca bahasa Inggeris dengan ujaran bahasa Indonesia. Ya, karena jelas tidak bisa. Belum tahu pelafalan dan maknanya, apalagi. Maka gagalah kelas di hari kedua itu. Bersebab karena saya memberi bahan kuliah tidak sesuai dengan keseapan (stock-in trade) yang dimiliki mahasiswa, kecuali hanya beberapa mahasiswa. Power point pun, seperti yang dialami kawan kita di atas, jadi powerless.No point No power.
 Walaupun gagal presentasi tidak berarti gagal pertemuan dan kelas, saya sebagai pengajar segera mengadaptasikan diri, dengan cara menyesuaikan dengan tingkat kemampuan dan bahasa yang dimiliki audience. Itu jalan ke luarnya. Sebagai pengajar atau pemateri bukannya menuduh audiens bodoh, melainkan menyesuaikan diri. Ini memang pokok utama wacana dari pengalaman di atas. Sebagai pengajar niscaya, haruslah memiliki daya adaptasi dan improvisasi yang fleksible. Hal tersebut dibutuhkan sebab, pertama ketersediaan instrumen teknologi, seperti listrik atau bahkan adanya LCD di suatu ruang kelas atau nama sebuah program tidak menjamin pengajar harus segera puas dan serta merta menerapkan asumsi pribadi, tanpa mengecek secara seksama levelitas kesiapan audiens. Sarana yang sudah terinstal di banyak tempat, masih merupakan struktur yang belum diimbangi oleh kultur. Secara mudah kita sekarang menemukan di kantor dan bahkan perguruan tinggi yang memasang computer, tetapi tingkat penguasaan dan kebiasaan para aparatusnya ternyata masih memble. Dari segi kalkulasi manfaat jelas sebenarnya ini merupakan bagian dari kesenjangan struktur dan fungsi (kultur), yang berdampak pada standar optimalisasi, di banyak lembaga pelayanan dan pengembangan publik tidak tercapai. Itulah pula sebabnya, para instruktur dan pengajar yang sudah mencapai standar harus selalu siap mengadaptasikan diri dengan improvisasi yang dinamis untuk tetap mampu menyampaikan materi ajar dan pada waktu yang sama menarik kesadaran para audiens kea rah yang lebih sesuai dengan fungsinya, setara dengan ketersediaan sarana dan nomen clature keberadaan, sebutkanlah kantor atau jurusan atau bahkan nama keahlian mereka. Tidak sepantasnya mereka masuk atau berseragam atas nama sebuah lembaga keahlian atau pelayanan, tetapi mereka tidak “jauh panggang dari api” untuk senonoh berada di situ. Di sisi inilah seorang pengajar memeroleh “lesson learn”, mengajar adalah tidak lepas dari pembelajaran; melalui mengajarlah kita dapat belajar untuk mengajar secara baik dan benar. Sesuai konteks. Di sinilah kesalahan diperbaiki. Melalui cara mengelolanya, bukan justru mencari kambing hitam “di sana”. Itulah sebabnya ungkapan Bohr yang dikutip di awal wacana dapat dijadikan bahan perenungan.)*
READ MORE - Lesson-learn

Sabtu, 07 Februari 2009

Stragi Kebudayaan dan Politik Adegan

Memetakan Peran Kebudayaan di Sulut  
Manado Post: Jan 16, 2009 at 10:36 AM 
Catatan Kebudayaan 2009  
Oleh Kamajaya Al Katuuk
SERIUS: 2009 dijadikan sebagai tahun sinergitas budaya di Sulut. Karena itu akan ada kegiatan yang akan dilaksanakan
MENGUBAH tuduh jadi tanya; curiga jadi kerjasama; pisah jadi padu. Lantas “cerai jadi rujuk. Adalah kalimat-kalimat yang saya temukan setelah usai memandu acara dialog kebudayaan antara pemangku kepentingan kebudayaan dan kebahasaan di Sulawesi Utara. Acara yang dihelat oleh Balai Bahasa Sulawesi Utara dan Manado Post, 30 Desember 2008 lalu itu betul-betul membuktikan bahwa para pemangku kepentingan kebudayaan di Sulawesi Utara telah menetapkan sinergisitas sebagai strategi kerjasama yang dipilih. Diawali dengan papar program dari Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata dan Budaya, yang kemudian dikaji berdasarkan pengalaman para seniman dan akademisi maka terciptalah dialog yang “ mengubah tuduh jadi tanya; curiga jadi kerjasama, pisah jadi padu. Lantas “cinta mewujud kawin”. Romantis tetapi realistis. Sebab berilhamkan semangat natal, tahun baru hijriah dan miladiah, masing-masing pihak bertekad menetapkan keniscayaan kerja sama dibarengi dengan kesadaran pentingnya keterbukaan program di antara segenap pemangku kepentingan kebudayaan. Maka berbagai rancangan pun ditegaskan secara terbuka. Baik pihak Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Pariwisata dan Budaya, Taman Budaya, Balai Arkeologi, Dewan Seni Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Museum dan Balai Bahasa serta akademisi, seniman dan budayawan Sulawesi Utara betul-betul menunjukkan kesungguhan untuk memetakan tahun 2009 sebagai tahun kerjasama kebudayaan secara strategis. 
Difahami bersama bahwa para pemangku kepentingan kebudayaan di Sulawesi Utara—melalui kerjasama strategis, tidak sekadar saling mengetahui dan mendukung program yang dijalankan, tetapi juga menargetkan keunggulan komparatif. Arah menuju kondisi tersebut ditetapkan berdasarkan pada kenyataan bahwa daerah ini mengalami percepatan pembangunan tetapi dengan cara yang mengalpakan budaya. Hal tersebut memilukan, ujar Pitres Sombowadile penulis yang menggagas Poros Budaya Manado-Magelang, bersama Remy Sylado. Kepiluan tersebut, karenanya harus disembuhkan. Maka itulah sebabnya J. Star Wowor, dari Dinas Pendidikan Sulawesi Utara yang peduli pada peran kebudayaan mengemukakan perlunya andil kebudayaan di dalam pembangunan masyarakat Sulawesi Utara. Maklum, Jusuf Susilo, wartawan nasional kebudayaan yang terundang hadir menyebut Indonesia sekarang ini sedang sakit. Itulah sebabnya, kerja sama berbagai pemangku kepentingan budaya dengan menggunakan berbagai peluang dan sarana, terutama pemanfaatan media dan teknologi, maksudnya agar sembuh, jadi wajib, tandas Jusuf Susilo. Rusli Manorek, dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional serta J. Paulus dari Taman Budaya karenanya sepakat untuk mengelola setiap program di antara pemangku kepentingan kebudayaan untuk dikordinasikan. Tandas Bonny Tooy dari Balai Arkeologi “Ini saatnya kita mendengar apa yang sebaiknya kita lakukan bersama”. Sehingga peran kebudayaan jadi lebih sinergis. Untuk membuktikan komitmen tersebut semua sepakat pertemuan serupa akan dilanjutkan yang berorientasi pada penerapan strategi 2009 sebagai tahun kerjasama kebudayan. Tidak ada curiga, tuduh, dan sendiri-sendiri, melainkan padu. Kebudayaan di Sulawesi Utara niscaya dibutuhkan untuk mendampingi berbagai program dan peristiwa tanpa harus terjebak dengan wacana-wacana besar yang diusung dengan semangat menghadirkan politik adegan. Sekarang ini semua pihak ingin kelihatan penting dan besar dengan tujuan yang sarat kepentingan politik jangka pendek. Ini memang zamannya. Itulah sebabnya pemangku kebudayan wajib mengambil peran memberi inspirasi bahwa hidup bersama bukanlah semata merebut kesempatan melainkan menyempatkan untuk mengambil posisi strategis sebagai pemberi pencerahan akalbudi dan martabat bangsa, bukan perorangan atau kelompok semata.(*)
READ MORE - Stragi Kebudayaan dan Politik Adegan