Belajar Dari Mengajar
Oleh : Kamajaya Al Katuuk
An expert is a person who has made all the mistakes that can be made in a very narrow field (Neisl Bohr).
Seorang teman “aktivis” bisnis MLM, suatu waktu melakukan presentasi di daerah pedalaman. Di sutu komunitas transmigran, di Sulawesi Tengah. Baginya makin ke udik makin menantang. Maklum dia adalah tipe anak muda yang suka tantangan. Apalagi ini dengan ekspektasi dapat tambahan. Maklum bagi aktivis MLM menjadikan orang lain sebagai downline adalah syarat berhasil, selain menjual produk.
Pendek cerita, dia pun sampailah di kawasan pemukiman nan udik itu. Semua tahu, tentu mana mungkin ada pemukiman transmigran di kota. Maka, setelah lewat tujuh sungai (selokan juga dihitung), gunung dan bukit, mirip cerita zaman baheula, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Dengan sigap begitu sampai, untuk mempertontonkan bahwa mereka orang sehat dan hebat berkat ber-MLM, teman dan rombangannya itu segera siap presentasi. Untung penduduk yang memang haus tamu dan hiburan itu juga tidak kalah semangatnya. Mereka bikin sambutan dan layanan segera. Tempat pertemuan disiapkan. Untuk menyalakan leptop berikut LCD dinyalakan pembangkit listrik disel. Drodot..dot..dot! Tayangan power point pun slide demi slide muncul. Sebagai penyaji bahan, kawan kita yang jadi pemeran utama di acara tersebut, sudah berbesar hati terhadap hasil. Paling tidak presentasi diperhatikan secara seksama dan penuh perhatian. Buktinya? Begitu slide pertama muncul, hadirin sudah memasang dan menyungguhkan dirinya untuk memerhatikan apa yang ditayangkan. Pokoknya, para hadirin bergaya super serius.
Sampai tibalah tayangan terakhir selesai. Sambil tersenyum yang memang sudah dibiasakan setiap tampil, kawan kita pun dengan penuh percaya diri, segera mengajukan pertanyaan. “Bagaimana Bapak-bapak dan Ibu-ibu? Apakah ada pertanyaan tentang bahan yang telah disajikan tadi?”. Hebat , atau lebih tegas aneh. Mengapa ? Sebab mereka menjadi semakin serius, tetapi kali ini lebih pantas untk dikatakan tegang bercampur malu. Apa pasal?
Pimpinan komunitas tersebut, segera tampil untuk memperjelas keadaan. Jadi bukan bertanya. Klemas-klemes, lantas berujar: “Bapak, begini sebenanrnya…” Dia pun menjelaskan, bahwa mereka, yang petani transmigran tersebut sejujurnya butu huruf. Astaga. Kenapa tidak diketahui sejak awal. Konyol, jadinya. Teman kita pun segera mengetahui situasi. Maklum, lantas segera mengambil cara lain untuk menjelaskan kepada khalayak tersebut. Bukan lagi bahasa huruf, melainkan bahasa tutur.
Hal serupa kurang lebih juga saya alami. Saat saya mengajar sebuah mata kuliah di sebuah tempat. Tentu, tidak etis untuk disebut di mana. Yang jelas saya, seperti juga cerita teman kita itu, penuh semangat menghadapi mahasiswa. Pada saat masuk pertama, seorang dosen mengantar saya sambil memberi instruksi kepada mahasiswa untuk siap menyambut kuliah dari saya, dengan bahasa Inggeris. Senang juga saya, karena bisa ikut memperlancar bahasa asing tersebut. Tidak masalah, saya asyik. Maka saya siapkan bahan, dan karena di tempat itu tersedia alat, kemasan power-point pun paket andalan yang powerful. Perkenalan dimulai dengan cara biasa menyebut rencana proses serta silabus yang akan digarap. Pada saat pertemuan pertama saya senang. Selain mahasiswanya cantik melulu---karena semua perempuan, juga perkuliahan ditanggapi beberapa mahasiswa secara antusias. Berbekal suasana kelas pertama itulah saya kemudian, pada pertemuan kedua menyajikan materi secara lebih memadai. Paling tidak bila indikatornya adalah bahasa. Saya sajikan materi kuliah pada hari kedua dalam bahasa Inggeris. Saya senang, karena mereka sangat serius, dan mencatat satu persatu, walau saya peringatkan mencatat yang penting atau kata kunci saja. Bahan yang saya tayangkan sebaiknya nanti mereka kopi saja. Mereka, saya anggap melakukannya. Sampai tibalah giliran saya memersilakan satu persatu untuk berpartisipasi, seperti membacakan beberapa poin yang ada di slide power point, dengan tujuan agar mereka lebih faham dan dapat mengelaborasi makna materi yang ada. Satu dua orang lancar, sebab memang mereka adalah yng hari pertama sudah menunjukkan kemampuan ala kadarnya. Tetapi begitu diberikan kesempatan yang lainnya, terjadilah alasan ini: yang ditunjuk berikutnya, segera memicingkan matanya, apalagi tempatnya di belakang ruangan, dan berdalih, “tidak dapat membaca”, bermusabab matanya yang bermasalah. Masih dapat dimaklumi. Ya, saya saja memang bermasalah penglihatan, sehingga itulah berkacamata minus. Tetapi begitu yang lain diberi kesempatan, membaca isi materi, jelas sudah masalahnya. Apalagi beberapa mahasiswa yang lainnya pun setali tiga uang. Saya jadi ingat saat saya di SMP. Membaca bahasa Inggeris dengan ujaran bahasa Indonesia. Ya, karena jelas tidak bisa. Belum tahu pelafalan dan maknanya, apalagi. Maka gagalah kelas di hari kedua itu. Bersebab karena saya memberi bahan kuliah tidak sesuai dengan keseapan (stock-in trade) yang dimiliki mahasiswa, kecuali hanya beberapa mahasiswa. Power point pun, seperti yang dialami kawan kita di atas, jadi powerless.No point No power.
Walaupun gagal presentasi tidak berarti gagal pertemuan dan kelas, saya sebagai pengajar segera mengadaptasikan diri, dengan cara menyesuaikan dengan tingkat kemampuan dan bahasa yang dimiliki audience. Itu jalan ke luarnya. Sebagai pengajar atau pemateri bukannya menuduh audiens bodoh, melainkan menyesuaikan diri. Ini memang pokok utama wacana dari pengalaman di atas. Sebagai pengajar niscaya, haruslah memiliki daya adaptasi dan improvisasi yang fleksible. Hal tersebut dibutuhkan sebab, pertama ketersediaan instrumen teknologi, seperti listrik atau bahkan adanya LCD di suatu ruang kelas atau nama sebuah program tidak menjamin pengajar harus segera puas dan serta merta menerapkan asumsi pribadi, tanpa mengecek secara seksama levelitas kesiapan audiens. Sarana yang sudah terinstal di banyak tempat, masih merupakan struktur yang belum diimbangi oleh kultur. Secara mudah kita sekarang menemukan di kantor dan bahkan perguruan tinggi yang memasang computer, tetapi tingkat penguasaan dan kebiasaan para aparatusnya ternyata masih memble. Dari segi kalkulasi manfaat jelas sebenarnya ini merupakan bagian dari kesenjangan struktur dan fungsi (kultur), yang berdampak pada standar optimalisasi, di banyak lembaga pelayanan dan pengembangan publik tidak tercapai. Itulah pula sebabnya, para instruktur dan pengajar yang sudah mencapai standar harus selalu siap mengadaptasikan diri dengan improvisasi yang dinamis untuk tetap mampu menyampaikan materi ajar dan pada waktu yang sama menarik kesadaran para audiens kea rah yang lebih sesuai dengan fungsinya, setara dengan ketersediaan sarana dan nomen clature keberadaan, sebutkanlah kantor atau jurusan atau bahkan nama keahlian mereka. Tidak sepantasnya mereka masuk atau berseragam atas nama sebuah lembaga keahlian atau pelayanan, tetapi mereka tidak “jauh panggang dari api” untuk senonoh berada di situ. Di sisi inilah seorang pengajar memeroleh “lesson learn”, mengajar adalah tidak lepas dari pembelajaran; melalui mengajarlah kita dapat belajar untuk mengajar secara baik dan benar. Sesuai konteks. Di sinilah kesalahan diperbaiki. Melalui cara mengelolanya, bukan justru mencari kambing hitam “di sana”. Itulah sebabnya ungkapan Bohr yang dikutip di awal wacana dapat dijadikan bahan perenungan.)*
The Indonesian Development Institute (IndIt)/ Institut Pengembangan Manusia Indonesia adalah blog yang mendukung berbagai upaya pengembangan manusia indonesia. Berdasarkan komitmen tersebut IndIt mengembangkan berbagai program, seperti penelitian, penerbitan dan kerjasama. IndIt dikelola oleh: Kamajaya Al Katuuk (Direktur), Sandra Dewi Dahlan (Koordinator Program), Isty Wantasen, Deisy Wewengkang,Irene Rindorindo, Praba Kawistara, Rayanmada Kinasihan (Divisi) Prof. Dr. HA Nusi, MM (Pendiri)
Senin, 09 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar