Catatan:
Jelang Terpilihnya Walikota Manado ke-20
Saatnya Muncul Figur Generasi Baru Sebenarnya
Kamajaya Al Katuuk
Ulang tahun Kota Manado yang ke 386 kali ini dirayakan secara khusus. Khusus karena, secara sosiopolitik, saat perayaan walikota terpilih sedang berada di dalam proses tengah diadili dalam tuduhan tindak pidana korupsi. Sehingga secara operasional kepemimpinan di daerah dijalankan di bawah taktis oleh pelaksana tugas Abdi Buchari, yang sejatinya adalah wakil walikota.
Kepemimpinan daerah kota Manado dipimpin oleh Abdi Buchari sudah dimulai sejak bulan april lalu. Jadi kalau merujuk kepada pemilihan walikota yang lampau maka, masa bakti kewalikotaan kali ini masih tersedia waktu sepanjang setahun; Pilkada walikota jatuh pada bulan juli, selang sebulan setelah Pilkada gubernur yang dilaksanakan bulan juni. Bila Abdi Buchari terhitung sebagai walikota Manado yang ke-19, maka pada bulan juli tahun depan warga Manado akan memilih jabatan walikota yang ke-20.
Posisi walikota yang ke-20 tersebut akan penting bukan hanya bagi sebuah proses politik, melainkan juga demi sebuah dinamika generasi yang berorientasi pada sistem penyelenggaraan daerah yang seharusnya segera terwujud. Kata kedua tersebut, nampaknya akan menjadi agenda yang lebih penting untuk diperhitungkan dibanding sekadar proses politik, sebab di dalamnya terdapat sebuah proses kunci. Dinamika generasi, kali ini terjadi karena secara alami generasi Indonesia lama, sebutan saya untuk menyebut Orde Lama dan Orde Baru akan mengalami alih generasi. Dari sisi kepenting politik reformasi dan reformasi politik, membutuhkan bukan sekadar berganti aktor, melainkan berganti visi.
Ekpektasi ke arah tersebut beralasan. Munculnya partai-partai baru yang menandingi partai Indonesia lama, seperti Golkar dan PDIP, terutama Partai Demokrat, PKS dan PAN dan bahkan PDS, jelas megindikasikan bahwa manajemen organisasi politik juga sudah berubah. Substansi berubah di atas, dapat dijadikan titiktolak model fatsun politik.
Kecenderungan tersebut jelas akan menjadi bagian dari irama politik ke depan. Dan di Kota Manado, tahun 2010 saat terjadinya Pilgub dan Pilwako serta Pilbup, adalah saat yang strategis untuk mengucapkan selamat tinggal Indonesia Lama, serta selamat datang Indonesia Baru. Formula ucapan ini tentunya akan jatuh menjadi sekadar wacana apabila metode dan taktis berpolitik yang sekarang dimainkan masih menganut faham lama. Arti konkretnya adalah harus disadari oleh semua pemain dan konstituen politik di daerah ini bahwa para penerus partai Indonesia Lama, bisa saja mewarisi organisasi politiknya, tetapi visi dan praktik berpolitik harus berubah. Hal yang setali tiga uang berlaku untuk partai-partai baru, tentunya. Belajar terhadap masa lalu justru bukan berarti untuk diterapkan pada konteks kekinian yang sudah tidk lagi layakterap. Di sinilah pentingnya kemampuan manajemen antisipasi bagi setiap pelaku politik untuk memahami tuntutan sosiologi politik mutakhir.
Berdasarkan peta sosiologi politik seperti demikian, maka menarik untuk diperhatikan bagaimana dinamika proses Personal Branding politik dari berberapa orang yang diduga menyasar kedudukan politik sebagai pimpinan politik di daerah ini. Untuk para bakal calon, di luar jalur independen, “kendaraan” politik jelas akan punya andil yang penting. Bahkan di dalam kasus atau analog terhadap Partai Demokrat dan SBY, sifatnya mutualis. Saling menguntungkan. Partai dan personal punya relasi saling berpegaruh secara signifikan.
Untuk itulah maka peringatan Hari Jadi Manado yang ke 386 kali ini juga seyogyanya dilihat sebagai sebuah tanda “star” bagi perubahan manajemen politik yang jelas. Perhatikan, misalkan data tingkat partisipasi pendukung yang kali ini cukup banyak dan besar dari kalangan entrepreneur. Baik jasa maupun niaga barang. Perhatikan halaman iklan dan “berita iklan” Manado Post jelang dan saat peringatan. Terang benderang kota ini tengah mengarah ke mana. Sampai di sini tulisan singkat ini tegas hendak memastikan bahwa pimpinan daerah ke depan tidak mungkin terpilih tanpa dukungan dua pilar utama konstituen, yakni masyarakat dan pengusaha. Sampai di sini, jelas partai yang antisipatif terhadap kebutuhan “pasar” politik menjadi jaminan untuk mengantarkan para kandidatnya untuk memenangkan sebuah proses politik. Dengan demikian, maka dapat dihipotesiskan bahwa pemimpin yang dipilih adalah seorang politisi murni tidak lagi akan jadi prasyarat. Bakal calon pemimpin daerah yang hendak dikompetisikan tidaklah lagi harus pengurus partai. Mekanisme, yang selama ini jadi acuan partai, yakni menomorsatukan pengurus atau terutama pemimpin partai untuk menjadi bakal calon atau calon di dalam sebuah pemilihan, patut diubah. Sudah saatnya partai terbuka dalam arti yang sejati. Bukan, terbuka untuk memolitikan partai sebagai ajang mencari dana bagi orang partai, melainkan terbuka untuk menegaskan eksistensi partai yang profesional adalah terbuka bagi segenap kandidat yang memiliki platform dan berkomitmen sama. Partai dan para pengurus, karenanya bukan lagi sebagai kata benda, melainkan kata kerja. Berproses menyiapkan administrsi politik yang prokebutuhan actual, zaman baru. Kini saatnya partai profesional menjadi fasilitator memunculkan figur politik yang sebenarnya, yakni negarawan. Analog ke Amerika Serikat, partai bukanlah tujuan melainkan sarana mewadahi para tokoh bangsa terbaik berkiprah.***
The Indonesian Development Institute (IndIt)/ Institut Pengembangan Manusia Indonesia adalah blog yang mendukung berbagai upaya pengembangan manusia indonesia. Berdasarkan komitmen tersebut IndIt mengembangkan berbagai program, seperti penelitian, penerbitan dan kerjasama. IndIt dikelola oleh: Kamajaya Al Katuuk (Direktur), Sandra Dewi Dahlan (Koordinator Program), Isty Wantasen, Deisy Wewengkang,Irene Rindorindo, Praba Kawistara, Rayanmada Kinasihan (Divisi) Prof. Dr. HA Nusi, MM (Pendiri)
Senin, 13 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar