Laman

Rabu, 04 Maret 2009

Cermatan Politik

Kepala dan Dengkul: Riskan WOC Bila Pemilu Legislatif Bermasalah
Oleh Kamajaya Al Katuuk
 Ini kabar menarik yang berkisar ikhwal riskannya Word Ocean Conference (WOC) yang diagendakan puncaknya diselenggarakan di Sulawesi Utara. Pasalnya, karena bisa jadi keberhasilan pelaksanaanya akan ditentukan oleh berhasil tidaknya penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif (Pemilu). Lantas apa pasal korelasinya antara Pemilu Legislatif dengan WOC? Ya, jelas sangat korelatif, dekat dan nyata. Keberhasilan WOC yang sebagian tahapannya sementara berjalan, tergantung pada keberhasilan Pemilu Legislatif yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April dengan WOC yang berjadwal tanggal 11-15 Mei, maka terhitung hanya kurang lebih sebulan jarak antara kedua peristiwa tersebut.
 Tegasnya, para pendukung keberhasilan WOC pasti berharap WOC berhasil, mulus dan fatsun. Tetapi sebaiknya tindakan proaktif jadi pilihan skenario yang apik dijalankan. Ada beberapa faktor yang yogya diindikasikan sebagai potensi meresahkan pemilu april 2009. Pertama atmosifir politik gerombolan, yang belakangan ini menciptakan amuk di beberapa tempat dengan bandrol politik, salah satunya yang hangat adalah bertajuk pemekaran Tapanuli. Pertanyaan korelasionalnya dengan Sulawesi Utara, sederhana saja: “Apakah di daerah ini model rekrutmen dan penggalangan dukungan politik sudah berdasarkan kepala atau masih dengkul (baca: gerombol massa). Di dalam model politik dengkul, para partisan politik bergerak berdasarkan mekanisme gerombolan (massa). Gerombol seperti ini kesadarannya sangat mekanis. Seperti menuju ke sesuatu tujuan, tetapi pada saat gerombolan tersebut berjalan prosesnya diatur oleh mekanisme gerak yang rawan amuk. Buruknya, ada saja seorang yang berteriak : “Kita dikhianati!; kita ditipu!”, atau : “ Itu pengkhianatnya!!!; itu penipunya!!!”, maka keberingasan pun berpotensi segera berkecamuk, serta gerombol bergerak menuju sasaran yang terlanjur di tuding. Apa yang terjadi? Segala hal bisa, tergantung situasi konteksnya. 
 Faktor kedua, adalah tingkat kepercayaan terhadap penyelanggara pemilu, KPUD. Belum ada pooling yang menguji tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga, yang mekanisme rekrutmennya kali ini berbeda dibanding sebelumnya.Terutama representasi tim seleksi yang tidak independen, representasi publik, melainkan sudah ada representasi lembaga politik, lembaga legislatif dan eksekutif (yang juga orang partai) sesungguhnya adalah para pemain politik. Tegasnya, pemilu kali ini, pemain memilih wasitnya. Jadi, pertanyaannya: “adilkah pemilu kita?” Jawabannya: “Seharusnya”. Munculnya kisruh KPUD Sulut dan Kota Manado patut dicamkan. Paling tidak kewarasan politik seperti analisis kasual yang menyoal, “apakah kisruh mereka bermusabab administratif atau politis?” “Pengadilan” sudah berjalan seperti apa adanya. Pemilih dan terutama para peserta masing-masing sudah punya catatan. Bisa jadi catatan tersebut akan diobral pada saat pengumuman hasil dan tidak memuaskan. Jadi, skenario seperti itu formulanya adalah: “selama menguntungkan diam saja, nanti ribut kalau tidak untung”.
 Ketiga, adalah faktor regulasi. Yang aktual adalah Perppu, yang menurut Mendagri , Mardianto (17/2) baru akan dibahas DPR, dan diharapkan ditetapkan sebelum 6 Maret nanti. Sebab tanggal tersebut adalah terakhir DPR bersidang terakhir. Jadi, regulator yang penting tersebut baru akan dibahas sebulan menjelang pemilu dilaksanakan. Kembali potensial bermasalah. Undang-undang dan peraturan yang sudah bertahun disosialisasikan saja tidak juga khatam difahami publik. Perppu dimaksud, akan mengatur tiga hal: (i) cara pemilihan di surat suara, (ii) Daftar Pemilih Tetap, serta (iii) penentuan suara terbanyak. Jelas kabar tidak nyaman. Walau, ada formula lain: “Kita sebagai bangsa sudah terbiasa dengan peraturan yang mendadak”. Kembali bertambah tidak nyaman bila lanjutannya adalah: “…karena peraturan dibuat untuk tidak dihiraukan”. Dari tiga ancangan tersebut, daftar pemilih selalu paling rawan. Maklum yang diurus adalah manusia, juga yang mengurus manusia. Tetapi selain faktor administrasi tersebut, keadilan dn transparansi penyelenggara dalam penghitungan hasil, terutama, akan menentukan reaksi peserta.  
 Tiga faktor tersebut potensial mengganggu pemilu. Entah gugatan antara para peserta maupun peserta dengan penyelenggara. Bahkan juga pengawas, pemantau bisa ikut terseret. Nah, bila ini terjadi gugatan bisa jadi berlarut dan waktunya masuk ke jadwal WOC. Gugatan tersebut bila sekadar berseliwer di wilayah persidangan tentu dapat dianggap galib. Tetapi akan segera bermasalah apabila pada saat yang sama juga berkembang aksi mobilisasi gerombol yang memengaruhi atmosfir keamanan sosial. Belum lagi kalau ada agenda politik gerombol terselubung, yang menyempitkan WOC sebagai agenda seseorang atau sekelompok orang semata. Ini yang paling harus diantisipasi. Sebab, bila gerombol kepentingan ini cukup mengkristal dan menggunakan momen kekisruhan pemilu, jelas butuh tidak sembarang cara penanganan. Jaminan yang kita butuhkan amannya pemilu, tentu bukan sekadar terkait WOC, melaikan kualitas demokrasi dan peradaban di daerah dan bangsa ini.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar