Politik Gambar Narsis dan Pemberangusan Jatidiri Para Caleg
Jan 13, 2009 at 10:27 AM
Oleh Kamajaya Al Katuuk(Direktur Indonesian Development Institute)MAU memahami kenapa proses penampilan para calon legislative (caleg) punya indikasi yang mengarah kepada gejala psikososial yang patologis? Silakan saksikan kampanye melalui media gambar para caleg yang sekarang bertebaran di seantero tanah air; di jalan, pinggiran got, di bukit atau tempat lainnya, yang penting dimaksudkan si pemasang adalah untuk gampang dilihat orang yang melewatinya.
Gambar-gambar tersebut, dengan biaya yang jelas tidak sedikit, tampil secara ‘mantap’: dimanis-maniskan, dicantiktampankan, dan juga dilamuri adegan seringai tanda ramah dan percaya diri. Sesuatu hal yang sekarang ini siapapun dapat melakukannya, yakni dengan menggunakan jasa teknologi piranti pengolah gambar, seperti photoshop yang mampu memanipulasi tampilan; buruk jadi tampak kinclong. Tak ada jerawat, tampak langsing, muda pula, pokoknya: pasung. Imaji jadi-jadian adalah kesan pertama yang segera mencolok mata dari gambar para caleg. Bahkan tak jarang, karenanya kita akan mendengar komentar orang yang kenal dengan caleg bersangkutan, begitu melihat balihonya segera bertutur, “ Eh, kok ‘X’ jadi begitu. Lebih bagus tetapi tak kenal, siapa jadinya?” Para caleg dengan sendirinya menawarkan dirinya dengan cara menampilkan topeng lain yang diakui sebagai dirinya.Baliho dan gambar pemikat sang caleg lainnya yang harus kita komentari bersama adalah penyatuan gambar sang caleg dengan pimpinan partai, istri pimpinan, atau petinggi partainya. Entah sama saling tinggi kepal tangan atau slogan yang mengobral retorika populis, yang inti sebenarnya bermaksud mohon pilih saya, jangan yang lain ya?! Hanya, dari segi semiotika (ilmu tafsir tanda-tanda) gambar duet atau bergerombol tersebut mencerminkan luluhnya identitas diri, kepribadian sang calon. Para calon tersebut masuk dalam kolektivitas semu. Tampil di bawah bayang-bayang tokoh lain (shadow image of the other). Dia merasa ada hanya karena ada bersama yang lain.Adegan foto di baliho yang dominan adalah kepal tangan dan tersenyum. Berikut retorika verbal yang bersifat umbar diri. Ikhwal yang pertama, kepal tangan dan sebagainya adalah gesture yang menunjukkan maksud bersemangatnya sang caleg. Masalahnya adalah bila ditakar dari kinerja lembaga yang hendak mereka masuki, legislatif, jelas semangat tersebut patut dicurigai sekadar sebagai semangat untuk memperjuangkan dirinya sendiri dan jauh panggang dari api untuk menjadi wakil rakyat. Naifnya, mereka pun banyak yang menjual dirinya ketimbang program. Retorika seperti cantik-tampan, muda, cerdas, berpengalaman, berani dan sebagainya tanpa malu-malu dibubuhkan. Mereka kehilangan kreativitas, misal kenapa bukan konstituennya, yang sebenarnya bisa direkayasa, yang memberi tanggapan dan bukannya melabeli diri sendiri. Narsis yang nyinyir, belaka.
Politik dinasti adalah catatan lain yang jelas tidak menyehatkan dinamika politik. KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme nampaknya belum sepenuhnya terjalankan. Walau undang-undangnya sudah dibuat. Kita baru bisa mengatakan korupsi sudah mulai lancar diberantas, walau belum tuntas. Akan tetapi kolusi dan nepotisme di dalam penyelenggaraan politik dan tentunya kenegaraan belum bermaslahat. Suami, istri, anak dan konco masih saja dominan menghiasi struktur yang disuguhkan sebagai calon wakil rakyat. Yang satu ini jelas mengecewakan. Pengkaderan partai tidak berjalan dan digantikan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai politik dinasti. Astaga?! Kita ternyata masih mengalami disorientasi politik. Tidak senonoh juga sekaligus sukar dipercaya. Sebab mereka banyak dari para caleg tersebut masuk dalam jemaah kolektif politik yang menjatuhkan jatidiri dan misi yang utama untuk menjadi wakil rakyat yang berkepribadian sehat. Kebanyakan mereka malah tampil dengan adegan gambar individu yang berpenanda patologis, asal menawan serta siap jadi pejabat publik walau untuk itu rela menghapus dirinya sejatinya. Pribadi yang seperti demikian jelas tidak dapat diharapkan jadi wakil rakyat. Istilah mesin politik pantas diterakan kepada mereka dalam arti yang segamblangnya. Mereka hanya menjadi bagian dari sistem perpolitikan kita yang cenderung kehilangan ruh dan rendah kemawasan sosial.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar