Laman

Kamis, 22 Januari 2009

Artikel Perdamaian

Mencegah Agama Jadi Penyebar Virus Konflik Sosial  
Aug 26, 2008 at 01:16 PM (Dimuat Manado Post)
Catatan 17 Tahun Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (DIAN)

Oleh Kamajaya Al Katuuk

(Direktur IndIt. Staf Pengajar Universitas Negeri Manado)

KONFLIK akan senantiasa menjadi bagian yang melekat terhadap keberlangsungan peradaban. Betapapun modernitas dan demokratisasi atau sosialisme juga entah apa pun ideologi yang dipedomani. Konflik, ternyata given dan laten. Dia ibaratnya virus. Tidak pernah musnah. 

Yang dapat dilakukan adalah mengelolanya agar jangan sampai meledak sebagi sebuah chaos sosial. Tetapi konflik menjadi menarik diikhwal saat diterapkan dalam praksis agama. Musababnya, tidak lain karena agama justru didesain bahkan diklem sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, betul tidak seharusnya ditibankan langsung kepada agama itu sendiri. Melainkan kepada proses-proses keberagamaannya, pemeluknya. Tulisan ini mengemukakan uraian singkat kegagalan agama bersumber pada, pertama dalam hal tafsir dokumen agama, terutama kitabiah dan yang kedua pada pola relasional antar pemeluk agama dan administrasi negara yang sengkarut. Lebih khusus dari itu, wacana ini dibuat untuk menyambut 17 tahun lembaga Dialog Antar Iman (DIAN). Sebagaimana dikenal, lembaga yang terbentuk pada 10 Agustus 1992 serta berkantor di kota Yogyakarta ini berangkat dari keinginan untuk menciptakan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama untuk memanusiakan manusia antar pemeluk agama yang berbeda dengan pendekatan historis sosiologis -- bukan dogmatis. Permasalahannya adalah sejauh mana horison harapan yang dapat dibentangkan terhadap peran organisasi semacam DIAN di tengah dinamika peradaban yang acapkali menelikung agama semata sebagai alat. Sementara formula dokumen doktrin agama-agama sendiri punya potensi bawaan yang rawan sosial.
Dogma dan Relasi Agama= Potensi Konflik Penulis mulai dengan ingatan, saat masih sekolah di SMP, guru agama mengajarkan etimologi agama tidak lain, terstruktur dari kata a yang berarti tidak dan gama yang bermakna kacau. Jadi agama berjati-makna tidak kacau, dan itulah sebabnya orang yang beragama adalah orang yang meraih dan mempraktikan hidup “tidak kacau”, apalagi mengacaukan.


Tetapi di dalam kenyataan? Sejarah membuktikan bahwa manusia yang memeluk satu agama tidak menjamin menjadi sebagai komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan di antara sesama pemeluk yang satu nomenclature agama pun, di antara satu sekte dengan sekte lain, sampai yang berbeda agama, di antara agama yang satu dengan agama yang lain, terbukti selalu dan potensil menciptakan konflik. Ada formula ironi-sosiologis yang menyatakan, “di mana ada agama, di situ ada konflik”. Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan disaat kekacauan; baik yang berkaitan dengan kekisruhan relasi sosial maupun nilai, sedang terjadi. Agama datang untuk menyelesaikan masalah. Begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal munculnya dogma bahwa saat kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama yahudi. Hal yang sama juga terjadi saat islam turun, klemnya adalah bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada. Sebagai resikonya adalah pemberangusan oleh penguasa agama (dan umumnya didukung pemerintah) terhadap agama baru tersebut. Pemertahanan diri dari agama baru dan perlawanan dengan sendirinya dilakukan. Kedua-duanya jelas mengatasnamakan Tuhan dan demi kesucianNya. Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain dengan agama lain (antara agama) adalah antara sesama penganutnya (interen agama). Anehnya, justru dengan alasan demi agama yang bersangkutan. Fakta tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten.
Berdasarkan realitas itulah maka kehadiran berbagai upaya yang dialogis diantara para penganut agama dan negara secara awas-sadar (care and aware) harus senantiasa menemukan cara agar ekses beragama dapat dikelola dengan target mengoptimalkan janji agama sebagai petunjuk jalan damai. Bukan sebaliknya: kacau dan teror.
Dialog sebagai ‘Never ending’ proses menghadapi ‘Jebakan’ Iman
Para pegiat perdamaian pasti hafal ungkapan Hans Kung: “No peace among nations without peace among religions, no peace among the religions without dialogue among the religions; jangan harap negara aman bila tidak tercipta keamanan di antara para beragama, pun jangan berharap hubungan antara agama akan tentram bila tidak ada dialog diantara para beragama”. Bila kita sepaham maka dialog yang berkaitan dengan ranah agama adalah satu keniscayaan. Hal tersebut dapat dimengerti sebab agama (baca pemberi jaminan jalan hidup ketidak-kacauan) ternyata mengandung potensi bawaan konflik. 

Terutama karena doktrin dasar dari agama adalah klem keselamatan eskatologis. Menjanjikan hidup selamat di dunia sampai akhirat tersebut di dalam analisis historis dan sosiologis sebagaimana disinggung sebelumnya justru selalu mudah menjadi rentan kualitas humanitas relasinya. Betapa tidak, contoh yang mendasar adalah tafsir terhadap “semata muslim yang akan selamat dan kelak masuk surga” di dalam islam serta “hanya yang melalui dia (Isa Al Masih) yang akan sampai ke pada tuhan” di dalam kristen, senantiasa tidak selalu mendapatkan jalan perjumpaan sosiologis antara umat beragama yang fatsun. Hal tersebut terjadi hampir di semua wilayah konflik dunia, termasuk dan terutama di negara ini. Terutama bila nuansa politis (baca kepentingan pribadi atau kelompok) memanfaatkannya. Masalahnya ternyata karena beragama bersyarat, yakni harus beriman. Di sinilah sesungguhnya sumber yang jadi pemicu terciptanya social ill di atas.
Itulah sebabnya secara sosiologis, dapat dimaklumi bila iman (faith) yang menjadi dasar dan ruh seseorang beragama, yakni di dalam merumuskan dirinya dan orang-orang di luar dirinya, senantiasa jadi terminologi rawan. Sebab iman berkarakter muskil abstrak dan logikanya unik. Menurut Bart Kosko (The Los Angeles Times on Feb. 19, 2001) iman cenderung memiliki potensi jadi penyakit sosial (social ill). Dua pilar, yang relevan dibahas di sini untuk Indonesia, yang menjadikan iman dapat jatuh harganya dari penyejuk jiwa nan damai (muthmainah) dan terang dunia jadi justru malah sebagai pemicu patologi secara sosial. Pertama, karena iman berara di dalam wilayah nilai anutan seseorang yang diyakini kebenarannya walaupun tidak nyata (faith is belief without evidence). Kedua, iman acapkali menafikan kemajemukan. John Ashcroft, seorang pengacara yang berkampanye di Amerika dengan formula imannya. Ia berkata bahwa Amerika berbeda dibanding negara lain, karena Amerika tidak memiliki raja, tetapi Amerika mempunyai Jesus. Untuk pernyataan tersebut Kosko mengajukan pertanyaan gugatan, lantas bagaimana dengan orang-orang yang nonkristen yang tidak punya (baca kepercayaan) terhadap Jesus. Kosko pada dasarnya hendak menegaskan klem iman dalam tatanan relasi sosial dapat bersipat antisosial. Tentu juga menciderai demokrasi. Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia. Klem presiden Indonesia harus orang islam jelas setali tiga uang dengan pernyataan Aschorft.

Bahkan tentu di Indonesia menjadi lebih bervariasi. Pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru agama berperan sebagai mitra tanding negara di dalam berkonflik bahkan berperang yang lemah. Bahkan di dalam kondisi “aman” agama baik melalui partai maupun organisasinya justru dijadikan alat “kepanjangtanganan” negara. Kasus ini pas untuk diterapkan pada skenario terhadap misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fungsi agama di dalam perannya yang demikian jelas kehilangan substansinya. Maka, orang pun tahu orang sekaliber Buya Hamka Ketua MUI pertama; 1977-19810, di zaman orde baru, dapat dimaklumi kalau memilih berhenti dari jabatannya sebagai ketua organisasi tersebut. Hamka adalah agamawan yang tulen dan berjiwa merdeka. Dia jelas teguh apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dan apa yang harus dilakukan organisasi agama. Hal yang serupa kemudian juga dilakukan K.H. Hasan Basri karena ada reaksi yang keras dari Dewan Da’wah Indonesia, yang menganggap MUI hanya dijadikan alat negara.
Lepas dari belenggu orde baru, relasi antara agama dan negara menjadi lumayan. Kehidupan para penganut beragama, terutama pada masa Gus Dur jadi presiden, keberadaan agama dihormati. Bahkan juga kepada yang “tidak beragama”; yakni para mantan Partai Komunis Indonesia dan keluarganya, yang semula dikekang, lantas dibebaskan. Stigma kiri dan merah, atau tidak bersih lingkungan yang di zaman orde baru jadi senjata ampuh pembunuhan karakter, segera raib. Pada masa Gus Dur pulalah Kong Hu Cu sah diakui sebagai agama, setara dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Tetapi kebebasan menunaikan sebuah keberimanan selepas Gus Dur, Megawati sampai saat pemerintahan SBY saat ini tetap saja menyisakan ruang konflik yang mencemarkan bangsa yang beradab ini anjlok pamornya. Naasnya, konflik tidak lagi bersifat vertikal: agama versus negara, melainkan horisontal: sesama bangsa dan para sesama penganut agama. Mulai dari konflik Poso, Maluku sampai yang terkini Ahmadiyah jelas melibatkan agama.
Lucunya, justru baik negara maupun kalangan agama mengemukakan alasan bahwa penyebab dari kerusuhan tersebut, terutama kasus Poso dan Maluku bukan agama. Apapun yang kemudian disebutkan, pokoknya bukan karena agama. Penjelasan seperti demikian sudah sepatutnya mulai dipertimbangkan kembali. Sebab, walaupun penyebab pertamanya, bisa jadi bukan agama, tetapi secara mencolok mata bahwa di medan kecamuk amuk, yang berkonflik lantang serta terang-terangan meraungkan yel dan mengenakan simbol keagamaan. Penyebab pertama atau pun bukan konflik yang selama ini terjadi jelas adalah konflik (entah intern atau pun antara) agama. Mulai dari pelarangan menjalankan agama yang diimani, pelarangan pendirian rumah ibadah (gereja di kumunitas muslim dan masjid di komunitas kristen), atau sekolahan, jelas adalah konflik agama. 

Menegasikan kenyataan seperti demikian adalah politik retorika yang tidak sepenuhnya menyelesaikan. Bahkan hal tersebut jelas sebagai indikator dari gagalnya dua hal: pertama, kegagalan negara menjalankan amanat konstitusi dan hak azasi, serta kedua: kemandulan dialog antara umat beragama. Inilah yang sempat disinggung di dalam Pertemuan Regional ketiga dialog antar iman Asia Pasifik di Selandia Baru (Mei 2007). Bahwa kegagalan dialog-dialog dan semacamnya ternyata hanya bersiklus di kalangan elit belaka. Kalangan terbatas. Padahal dialog, yang muara tujuannya adalah menciptakan selain damai adalah ketentraman (peace and secure) adalah harus berlaku pada segenap anggota masyarakat, yang untuk ukuran klem formal bangsa ini adalah, konon semuanya beragama.
Lahirnya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang made in pemerintah, jelas diharapkan banyak mengisi kekosongan manajemen relasi antar umat beragama. Tentu, dengan penegasan bagaimana negara dapat mengambil peran yang menjaga agar keadilan dan kebebasan menjalankan agama dapat tegak, dan bukannya sebagai sebuah instrumentasi dari setback-nya pemahaman dan politik agama negara: mengontrol dan membangun retorika kerukunan di kalangan umat beragama yang artifisial dan elitis. Tetapi mudah untuk segera melihat forum itu apakah akan jadi semacam majelis para agama yang menjalankan praktik campur tangan pemerintah terhadap agama-agama atau tidak. Yakni melalui produk-produknya. Bila melahirkan kesepakatan atau keputusan yang sifatnya mengikat dan membatasi keberagamaan masyarakat, jelas dia adalah instrumentif. Tetapi bila dia mengandalkan partisipasi yang luas dan terbuka bagi segenap pemahaman beragama di masyarakat; menjalankan strategi dialog dan menghindari penghakiman, maka bisa jadi berguna harapan digantungkan. Namun demikian karena agama sepatutnya adalah menjadi urusan publik, warga tanpa kecuali maka dialog-dialog yang diinisiatifi dari dan oleh masyarakat sendiri seperti yang selama 17 tahun telah ditunaikankan DIAN, terbukti berguna walaupun dengan catatan: masih kurang. Masih tetap dibutuhkan perluasan komunitas awas-sadar dialog yang lebih besar dan berpengaruh. DIAN memang kemudian diikuti oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP), serta beberapa lainnya.


DIAN di usianya yang ke-17 dengan Elga Sarapung sebagai penerus Mas Ton (Th. Sumartana) yang mengomandani lembaga ini, sudah saatnya melihat bahwa program tidaklah sekadar alat bertahan organisasi, melainkan bertahannya kekuatan kedamaian di muka bumi ini. Itulah sebabnya, perluasan jaringan sudah saatnya dibentang, melampaui batas-batas komunitas terbatas kelompok yang sekarang. LSM yang berjaringan sepatutnya diberi atau tepatnya diajak mendesain ruang dan peluang yang sama di dalam hal mengkreasi berbagai program kerjasama yang operasional. Fund-rising memang harus jadi agenda bersama yang harus diselesaikan. Bergantung kepada dana internasional seperti sekarang jelas layak dikembangkan, dengan landasan sebagai bagan dari strategi berjaringan. Tetapi yang bersumber kepada potensi publik, semestinya juga teraih. Sudah saatnya makna partisipasi publik juga diberi keajegan maknanya, yakni tidak semata pada unsur keterpenuhan hak, melainkan juga pada tindakan kewajiban. Bisa saja istilahnya mungkin yang sudah kita kenal, yang disebut sebagai beramal. Sehingga jaringan pro-damai, sebagaimana yang dilakukan DIAN idealnya harus ada di seantero provinsi. Baik yang berupa organisasi maupun pribadi-pribadi (terutama aktivis keagamaan; pemikir dan petugas ritual masing-masing agama). Bisa jadi agenda kedepan adalah mengkontekstualkan program dengan manajemen kenegaraan, yakni otonomi daerah, misal. Administrasi pemerintahan yang berorientasi pada paradigma pelayanan, harus segera diantisipasi oleh formula administrasi masyarakat sendiri yang terorganisasi. Selamat ulang tahun DIAN, selamat ulang tahun kemanusiaan. Semoga kita para penganut agama dapat memahami visi dasar sejati agama, yakni sebagai jalan yang tidak kacau. Baik secara pribadi, maupun, terutama secara sosial. Sebab siapapun niscaya rindu menjadi orang yang di manapun dia berada serta di antara komunitas apapapun, merasa terfasilitasi untuk dapat hidup damai. Mengartikulasikan diri secara optimal. Mampu memberi kontribusi terhadap peradaban yang mulya, sambil menunaikan hidup sebagai orang yang beragama; tanpa kecuali apapun agama yang kita anut. Jadi, apapun agama yang dianut, hak dan kewajiban adil dan setara dengan segenap warga lain. Siapa pun bisa jadi apa saja sesuai dengan minat dan potensinya termasuk jadi presiden, tanpa harus gugur karena alasan agama. Agama menjamin keadilan, dan bukannya mengadili secara tidak adil dan egotis. Agama memberi ruang dialog antar iman; memanusiakan manusia. Agama bukan penyebar potensi virus konflik sosial, melainkan gizi peradaban yang menyehatkan.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar