Laman

Sabtu, 31 Januari 2009

Buku

Buku Inspirasi Bagi Pejabat: Berhasil, Bebas Penjara, dan Sejahtera Saat Pensiun
1. Judul : Prof. Dr. H.A. Nusi, MM, SE : Pamong Pendidik, Membimbing Melalui Teladan
2. Penerbit: Fuspad, Jogja
3. ISBN : 979-9456-06-1
4. Tebal : 165 halaman + iii-x
5. Terbitan: I Juli 2008, II Agustus 2008.
6. Penulis : Kamajaya Al Katuuk
7. Resume : H. A. Nusi lahir dari keluarga sederhana di pedesaan Moutong, Sulawesi Tengah, dan sekolah dasar sampai lanjutan atas di Gorontalo, melanjutkan ke perguruan tinggi di Makasaar, kemudian pascasarjana di Jakarta, dan lulus doctor manajemen di TUP (Manila), selain memeroleh gelar DSPA di Inggris. Jabatan yang pernah diembannya, antara lain: walikota Gorontalo, Dirjen Bangda Depdagri, dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara. H. A. Nusi juga adalah tokoh penting yang memfasilitasi berdirinya Provinsi Gorontalo.  
READ MORE - Buku

Kamis, 29 Januari 2009

5 Behaviors to Reach 90

You have more control over your longevity and life expectancy than you may think. Sure, your genetics and family history factor into how long you will live; but your lifestyle choices may be more important. In fact, your genes probably make up less than 30% of what determines how long you will live –- the rest is your lifestyle and your environment.
5 Behaviors to Reach 90
Reaching age 90 in good health is a great longevity goal. Women have an easier time reaching 90 than men (see Why Women Live Longer for some details). By studying men and their behaviors, researchers can begin to figure out what really matters for healthy and successful aging. What they have found is that five things make a big difference in living to 90 (for men): not smoking, maintaining a healthy weight, good blood pressure control, regular exercise, and no diabetes.

In 1981, researchers began enrolling men into a study on aging. They enrolled total of 2,300 healthy man with an average age of over 70. The men were given yearly surveys about their lifestyle and health. By the end of the study, 970 men (42%) made it to the 90s. Those 42% had different habits and behaviors that helped them live longer.
How to Live Longer
The study found five factors linked to surviving past 90: Non-smokers were twice as likely to see 90 as smokers.
Diabetics had an 86% increase in a chance of death before 90.
Obese people had a 44% increase in the chance of death before age 90.
High blood pressure increased the death threats before 90 by 28%.
Men who exercise reduced their death risk before 90 by 20 to 30% (depending on how much and how often they exercise).
Non-smokers were twice as likely to see 90 as smokers.
Diabetics had an 86% increase in a chance of death before 90.
Obese people had a 44% increase in the chance of death before age 90.
High blood pressure increased the death threats before 90 by 28%.
Men who exercise reduced their death risk before 90 by 20 to 30% (depending on how much and how often they exercise).
These percentages are after the researchers accounted for the health of the participants at the start of the study, education level and other factors known to impact life expectancy.
Get Started
Get started on living longer by taking one of these factors each month. For some of them, like high blood pressure and diabetes, you may need the help of your doctor to get in control. For the other factors you may need information and the support of your friends and family. Here's a list of resources to get you started:
Lose Weight and Eat Right
Painless Weight Loss
Add 2 Fruits and Veggies a Day
Healthy Eating Tips
Exercise for Longevity
Exercising for Anti-Aging
Jump-Start Your Exercise
How Much Exercise You Need
Stop Smoking for Good
Stop Smoking Toolkit
Smoking and Aging
5 Reasons to Quit Smoking
Control Your Blood Pressure
Relaxation for Health
5 Lifestyle Changes to Control Blood Pressure
How to Lower Your Salt Intake
Prevent/Control Diabetes
Meal Planning for Diabetes
Tools to Manage Diabetes
Tai Chi for Diabetics

Source(s):

Laurel B. Yates, MD, MPH; Luc Djoussé, MD, MPH, DSc; Tobias Kurth, MD, ScD; Julie E. Buring, ScD; J. Michael Gaziano, MD, MPH. Exceptional Longevity in Men: Modifiable Factors Associated With Survival and Function to Age 90 Years. Arch Intern Med. 2008;168(3):284-290.
READ MORE - 5 Behaviors to Reach 90

Kamis, 22 Januari 2009

Artikel Perdamaian

Mencegah Agama Jadi Penyebar Virus Konflik Sosial  
Aug 26, 2008 at 01:16 PM (Dimuat Manado Post)
Catatan 17 Tahun Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (DIAN)

Oleh Kamajaya Al Katuuk

(Direktur IndIt. Staf Pengajar Universitas Negeri Manado)

KONFLIK akan senantiasa menjadi bagian yang melekat terhadap keberlangsungan peradaban. Betapapun modernitas dan demokratisasi atau sosialisme juga entah apa pun ideologi yang dipedomani. Konflik, ternyata given dan laten. Dia ibaratnya virus. Tidak pernah musnah. 

Yang dapat dilakukan adalah mengelolanya agar jangan sampai meledak sebagi sebuah chaos sosial. Tetapi konflik menjadi menarik diikhwal saat diterapkan dalam praksis agama. Musababnya, tidak lain karena agama justru didesain bahkan diklem sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, betul tidak seharusnya ditibankan langsung kepada agama itu sendiri. Melainkan kepada proses-proses keberagamaannya, pemeluknya. Tulisan ini mengemukakan uraian singkat kegagalan agama bersumber pada, pertama dalam hal tafsir dokumen agama, terutama kitabiah dan yang kedua pada pola relasional antar pemeluk agama dan administrasi negara yang sengkarut. Lebih khusus dari itu, wacana ini dibuat untuk menyambut 17 tahun lembaga Dialog Antar Iman (DIAN). Sebagaimana dikenal, lembaga yang terbentuk pada 10 Agustus 1992 serta berkantor di kota Yogyakarta ini berangkat dari keinginan untuk menciptakan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama untuk memanusiakan manusia antar pemeluk agama yang berbeda dengan pendekatan historis sosiologis -- bukan dogmatis. Permasalahannya adalah sejauh mana horison harapan yang dapat dibentangkan terhadap peran organisasi semacam DIAN di tengah dinamika peradaban yang acapkali menelikung agama semata sebagai alat. Sementara formula dokumen doktrin agama-agama sendiri punya potensi bawaan yang rawan sosial.
Dogma dan Relasi Agama= Potensi Konflik Penulis mulai dengan ingatan, saat masih sekolah di SMP, guru agama mengajarkan etimologi agama tidak lain, terstruktur dari kata a yang berarti tidak dan gama yang bermakna kacau. Jadi agama berjati-makna tidak kacau, dan itulah sebabnya orang yang beragama adalah orang yang meraih dan mempraktikan hidup “tidak kacau”, apalagi mengacaukan.


Tetapi di dalam kenyataan? Sejarah membuktikan bahwa manusia yang memeluk satu agama tidak menjamin menjadi sebagai komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan di antara sesama pemeluk yang satu nomenclature agama pun, di antara satu sekte dengan sekte lain, sampai yang berbeda agama, di antara agama yang satu dengan agama yang lain, terbukti selalu dan potensil menciptakan konflik. Ada formula ironi-sosiologis yang menyatakan, “di mana ada agama, di situ ada konflik”. Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan disaat kekacauan; baik yang berkaitan dengan kekisruhan relasi sosial maupun nilai, sedang terjadi. Agama datang untuk menyelesaikan masalah. Begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal munculnya dogma bahwa saat kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama yahudi. Hal yang sama juga terjadi saat islam turun, klemnya adalah bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada. Sebagai resikonya adalah pemberangusan oleh penguasa agama (dan umumnya didukung pemerintah) terhadap agama baru tersebut. Pemertahanan diri dari agama baru dan perlawanan dengan sendirinya dilakukan. Kedua-duanya jelas mengatasnamakan Tuhan dan demi kesucianNya. Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain dengan agama lain (antara agama) adalah antara sesama penganutnya (interen agama). Anehnya, justru dengan alasan demi agama yang bersangkutan. Fakta tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten.
Berdasarkan realitas itulah maka kehadiran berbagai upaya yang dialogis diantara para penganut agama dan negara secara awas-sadar (care and aware) harus senantiasa menemukan cara agar ekses beragama dapat dikelola dengan target mengoptimalkan janji agama sebagai petunjuk jalan damai. Bukan sebaliknya: kacau dan teror.
Dialog sebagai ‘Never ending’ proses menghadapi ‘Jebakan’ Iman
Para pegiat perdamaian pasti hafal ungkapan Hans Kung: “No peace among nations without peace among religions, no peace among the religions without dialogue among the religions; jangan harap negara aman bila tidak tercipta keamanan di antara para beragama, pun jangan berharap hubungan antara agama akan tentram bila tidak ada dialog diantara para beragama”. Bila kita sepaham maka dialog yang berkaitan dengan ranah agama adalah satu keniscayaan. Hal tersebut dapat dimengerti sebab agama (baca pemberi jaminan jalan hidup ketidak-kacauan) ternyata mengandung potensi bawaan konflik. 

Terutama karena doktrin dasar dari agama adalah klem keselamatan eskatologis. Menjanjikan hidup selamat di dunia sampai akhirat tersebut di dalam analisis historis dan sosiologis sebagaimana disinggung sebelumnya justru selalu mudah menjadi rentan kualitas humanitas relasinya. Betapa tidak, contoh yang mendasar adalah tafsir terhadap “semata muslim yang akan selamat dan kelak masuk surga” di dalam islam serta “hanya yang melalui dia (Isa Al Masih) yang akan sampai ke pada tuhan” di dalam kristen, senantiasa tidak selalu mendapatkan jalan perjumpaan sosiologis antara umat beragama yang fatsun. Hal tersebut terjadi hampir di semua wilayah konflik dunia, termasuk dan terutama di negara ini. Terutama bila nuansa politis (baca kepentingan pribadi atau kelompok) memanfaatkannya. Masalahnya ternyata karena beragama bersyarat, yakni harus beriman. Di sinilah sesungguhnya sumber yang jadi pemicu terciptanya social ill di atas.
Itulah sebabnya secara sosiologis, dapat dimaklumi bila iman (faith) yang menjadi dasar dan ruh seseorang beragama, yakni di dalam merumuskan dirinya dan orang-orang di luar dirinya, senantiasa jadi terminologi rawan. Sebab iman berkarakter muskil abstrak dan logikanya unik. Menurut Bart Kosko (The Los Angeles Times on Feb. 19, 2001) iman cenderung memiliki potensi jadi penyakit sosial (social ill). Dua pilar, yang relevan dibahas di sini untuk Indonesia, yang menjadikan iman dapat jatuh harganya dari penyejuk jiwa nan damai (muthmainah) dan terang dunia jadi justru malah sebagai pemicu patologi secara sosial. Pertama, karena iman berara di dalam wilayah nilai anutan seseorang yang diyakini kebenarannya walaupun tidak nyata (faith is belief without evidence). Kedua, iman acapkali menafikan kemajemukan. John Ashcroft, seorang pengacara yang berkampanye di Amerika dengan formula imannya. Ia berkata bahwa Amerika berbeda dibanding negara lain, karena Amerika tidak memiliki raja, tetapi Amerika mempunyai Jesus. Untuk pernyataan tersebut Kosko mengajukan pertanyaan gugatan, lantas bagaimana dengan orang-orang yang nonkristen yang tidak punya (baca kepercayaan) terhadap Jesus. Kosko pada dasarnya hendak menegaskan klem iman dalam tatanan relasi sosial dapat bersipat antisosial. Tentu juga menciderai demokrasi. Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia. Klem presiden Indonesia harus orang islam jelas setali tiga uang dengan pernyataan Aschorft.

Bahkan tentu di Indonesia menjadi lebih bervariasi. Pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru agama berperan sebagai mitra tanding negara di dalam berkonflik bahkan berperang yang lemah. Bahkan di dalam kondisi “aman” agama baik melalui partai maupun organisasinya justru dijadikan alat “kepanjangtanganan” negara. Kasus ini pas untuk diterapkan pada skenario terhadap misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fungsi agama di dalam perannya yang demikian jelas kehilangan substansinya. Maka, orang pun tahu orang sekaliber Buya Hamka Ketua MUI pertama; 1977-19810, di zaman orde baru, dapat dimaklumi kalau memilih berhenti dari jabatannya sebagai ketua organisasi tersebut. Hamka adalah agamawan yang tulen dan berjiwa merdeka. Dia jelas teguh apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dan apa yang harus dilakukan organisasi agama. Hal yang serupa kemudian juga dilakukan K.H. Hasan Basri karena ada reaksi yang keras dari Dewan Da’wah Indonesia, yang menganggap MUI hanya dijadikan alat negara.
Lepas dari belenggu orde baru, relasi antara agama dan negara menjadi lumayan. Kehidupan para penganut beragama, terutama pada masa Gus Dur jadi presiden, keberadaan agama dihormati. Bahkan juga kepada yang “tidak beragama”; yakni para mantan Partai Komunis Indonesia dan keluarganya, yang semula dikekang, lantas dibebaskan. Stigma kiri dan merah, atau tidak bersih lingkungan yang di zaman orde baru jadi senjata ampuh pembunuhan karakter, segera raib. Pada masa Gus Dur pulalah Kong Hu Cu sah diakui sebagai agama, setara dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Tetapi kebebasan menunaikan sebuah keberimanan selepas Gus Dur, Megawati sampai saat pemerintahan SBY saat ini tetap saja menyisakan ruang konflik yang mencemarkan bangsa yang beradab ini anjlok pamornya. Naasnya, konflik tidak lagi bersifat vertikal: agama versus negara, melainkan horisontal: sesama bangsa dan para sesama penganut agama. Mulai dari konflik Poso, Maluku sampai yang terkini Ahmadiyah jelas melibatkan agama.
Lucunya, justru baik negara maupun kalangan agama mengemukakan alasan bahwa penyebab dari kerusuhan tersebut, terutama kasus Poso dan Maluku bukan agama. Apapun yang kemudian disebutkan, pokoknya bukan karena agama. Penjelasan seperti demikian sudah sepatutnya mulai dipertimbangkan kembali. Sebab, walaupun penyebab pertamanya, bisa jadi bukan agama, tetapi secara mencolok mata bahwa di medan kecamuk amuk, yang berkonflik lantang serta terang-terangan meraungkan yel dan mengenakan simbol keagamaan. Penyebab pertama atau pun bukan konflik yang selama ini terjadi jelas adalah konflik (entah intern atau pun antara) agama. Mulai dari pelarangan menjalankan agama yang diimani, pelarangan pendirian rumah ibadah (gereja di kumunitas muslim dan masjid di komunitas kristen), atau sekolahan, jelas adalah konflik agama. 

Menegasikan kenyataan seperti demikian adalah politik retorika yang tidak sepenuhnya menyelesaikan. Bahkan hal tersebut jelas sebagai indikator dari gagalnya dua hal: pertama, kegagalan negara menjalankan amanat konstitusi dan hak azasi, serta kedua: kemandulan dialog antara umat beragama. Inilah yang sempat disinggung di dalam Pertemuan Regional ketiga dialog antar iman Asia Pasifik di Selandia Baru (Mei 2007). Bahwa kegagalan dialog-dialog dan semacamnya ternyata hanya bersiklus di kalangan elit belaka. Kalangan terbatas. Padahal dialog, yang muara tujuannya adalah menciptakan selain damai adalah ketentraman (peace and secure) adalah harus berlaku pada segenap anggota masyarakat, yang untuk ukuran klem formal bangsa ini adalah, konon semuanya beragama.
Lahirnya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang made in pemerintah, jelas diharapkan banyak mengisi kekosongan manajemen relasi antar umat beragama. Tentu, dengan penegasan bagaimana negara dapat mengambil peran yang menjaga agar keadilan dan kebebasan menjalankan agama dapat tegak, dan bukannya sebagai sebuah instrumentasi dari setback-nya pemahaman dan politik agama negara: mengontrol dan membangun retorika kerukunan di kalangan umat beragama yang artifisial dan elitis. Tetapi mudah untuk segera melihat forum itu apakah akan jadi semacam majelis para agama yang menjalankan praktik campur tangan pemerintah terhadap agama-agama atau tidak. Yakni melalui produk-produknya. Bila melahirkan kesepakatan atau keputusan yang sifatnya mengikat dan membatasi keberagamaan masyarakat, jelas dia adalah instrumentif. Tetapi bila dia mengandalkan partisipasi yang luas dan terbuka bagi segenap pemahaman beragama di masyarakat; menjalankan strategi dialog dan menghindari penghakiman, maka bisa jadi berguna harapan digantungkan. Namun demikian karena agama sepatutnya adalah menjadi urusan publik, warga tanpa kecuali maka dialog-dialog yang diinisiatifi dari dan oleh masyarakat sendiri seperti yang selama 17 tahun telah ditunaikankan DIAN, terbukti berguna walaupun dengan catatan: masih kurang. Masih tetap dibutuhkan perluasan komunitas awas-sadar dialog yang lebih besar dan berpengaruh. DIAN memang kemudian diikuti oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP), serta beberapa lainnya.


DIAN di usianya yang ke-17 dengan Elga Sarapung sebagai penerus Mas Ton (Th. Sumartana) yang mengomandani lembaga ini, sudah saatnya melihat bahwa program tidaklah sekadar alat bertahan organisasi, melainkan bertahannya kekuatan kedamaian di muka bumi ini. Itulah sebabnya, perluasan jaringan sudah saatnya dibentang, melampaui batas-batas komunitas terbatas kelompok yang sekarang. LSM yang berjaringan sepatutnya diberi atau tepatnya diajak mendesain ruang dan peluang yang sama di dalam hal mengkreasi berbagai program kerjasama yang operasional. Fund-rising memang harus jadi agenda bersama yang harus diselesaikan. Bergantung kepada dana internasional seperti sekarang jelas layak dikembangkan, dengan landasan sebagai bagan dari strategi berjaringan. Tetapi yang bersumber kepada potensi publik, semestinya juga teraih. Sudah saatnya makna partisipasi publik juga diberi keajegan maknanya, yakni tidak semata pada unsur keterpenuhan hak, melainkan juga pada tindakan kewajiban. Bisa saja istilahnya mungkin yang sudah kita kenal, yang disebut sebagai beramal. Sehingga jaringan pro-damai, sebagaimana yang dilakukan DIAN idealnya harus ada di seantero provinsi. Baik yang berupa organisasi maupun pribadi-pribadi (terutama aktivis keagamaan; pemikir dan petugas ritual masing-masing agama). Bisa jadi agenda kedepan adalah mengkontekstualkan program dengan manajemen kenegaraan, yakni otonomi daerah, misal. Administrasi pemerintahan yang berorientasi pada paradigma pelayanan, harus segera diantisipasi oleh formula administrasi masyarakat sendiri yang terorganisasi. Selamat ulang tahun DIAN, selamat ulang tahun kemanusiaan. Semoga kita para penganut agama dapat memahami visi dasar sejati agama, yakni sebagai jalan yang tidak kacau. Baik secara pribadi, maupun, terutama secara sosial. Sebab siapapun niscaya rindu menjadi orang yang di manapun dia berada serta di antara komunitas apapapun, merasa terfasilitasi untuk dapat hidup damai. Mengartikulasikan diri secara optimal. Mampu memberi kontribusi terhadap peradaban yang mulya, sambil menunaikan hidup sebagai orang yang beragama; tanpa kecuali apapun agama yang kita anut. Jadi, apapun agama yang dianut, hak dan kewajiban adil dan setara dengan segenap warga lain. Siapa pun bisa jadi apa saja sesuai dengan minat dan potensinya termasuk jadi presiden, tanpa harus gugur karena alasan agama. Agama menjamin keadilan, dan bukannya mengadili secara tidak adil dan egotis. Agama memberi ruang dialog antar iman; memanusiakan manusia. Agama bukan penyebar potensi virus konflik sosial, melainkan gizi peradaban yang menyehatkan.#
READ MORE - Artikel Perdamaian

Bahan Ajar Gender Pendidikan

READ MORE - Bahan Ajar Gender Pendidikan

Rabu, 21 Januari 2009

Penyerahan Buku Pro Gender Pada Meneg Pemberdayaan Perempuan

READ MORE - Penyerahan Buku Pro Gender Pada Meneg Pemberdayaan Perempuan

Tokoh Perdamaian Sulawesi Utara

READ MORE - Tokoh Perdamaian Sulawesi Utara
READ MORE -

Buku-buku Kamajaya Al Katuuk: (1) Prof. Dr. H.A. Nusi, SE, MM, DSPA (Biografi), (2) PIKAT: Maria Walanda Maramis, dan (3) Perempuan Sulawesi Utra Setara Sejak Semula.

Foto: Prof Nusi dan EE Mangindaan beserta istri masing-masing saat pengukuhan profesor Nusi dari Universitas Teknologi Philiphine. Salah satu pasangan gubernur Sulut yang fenomenal, di masa transisi Orde Baru. 

READ MORE -
Menghalau KPU Politik dan Politik KPU?

Oct 22, 2008 at 08:25 AM (Mdopost.com)
Waspadai Kisruh KPUD Manado Oleh:Kamajaya AlkatuukLINTANG-PUKANG kemelut di KPU Manado darurat untuk segera diselesaikan. Manado adalah barometer ketertiban sekaligus kesantunan peradaban demokrasi Sulawesi Utara. Berita baiknya, KPU Sulut tengah memrosesnya dengan aspek legal yang mendasarkan diri pada UU No 22 Tahun 2007, dengan membentuk Dewan Kehormatan.
Mudah-mudahan kiprah ini tuntas serta tegas. Apakah ada anggota yang hitam, mengganggu tahapan penyelenggaraan Pemilu atau sekadar isapan jempol kotor. Dalam bahasa undang-undang di atas adalah tugas KPU Provinsi untuk, seperti diatur dalam pasal 9 butir l: menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Provinsi; dan butir m: menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Panwaslu Provinsi dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu sidang gugatan terhadap KPU Manado oleh penggugat Ferro Taroreh digelar mulai digelar awal pekan 20 Oktober 2008 lalu. Namun demikian, secara nyata KPU yang sejatinya adalah komisi penyelenggara pemilu yang sesuai amanat konstitusi independen, pada saat ini, sebutlah masa kerja lima tahun kedua, sejak hulunya sudah santer digunjing sarat muatan kepentingan, terutama dari yang, justru hendak mengikuti pemilu, dengan posisi sebagai peserta. Musababnya? Tidak lain karena sistem rekrutmen sudah berubah dibanding sebelumnya. Perubahan yang paling signifikan terletak pada komposisi tim seleksi, yang semula terdiri dari representasi publik, yakni akademisi dan tokoh masyarakat yang independen, maka kali ini unsur masyarakat dipangkas seraya diganti oleh unsur dewan perwakilan rakyat, yang siapa pun tahu mereka adalah pelaku politik. Sederhananya, mereka adalah lembaga yang jadi objek politik di dalam manajemen penyelenggaraan pemilihan, tetapi pada saat penentuan rekruitmen, walaupun secara tidak langsung---menunjuk orang bukan anggota dewan, sehingga mereka telah menjadi subjek politik. Lebih dari itu, selain masuknya unsur legislatif, juga dilapiskuati oleh unsur eksekutif, dalam hal ini pemimpin eksekutif, yang nota bene juga adalah politisi; pemimpin atau partisan partai politik!Memahami proses rekruitmen yang demikian, maka dapat dipahami jika atmosfir kepentingan politik berkecamuk.
Dalam setiap tahapan pemilu KPU daerah, diperhadapkan pada tiga hal utama, yakni: (i) realitas objektif setiap tahapan; seperti proses pencalonan atau hasil pemilihan, (ii) kedekatan relasi dengan siapa yang mempunyai andil, langsung ataupun tidak sehingga mereka duduk di KPU daerah, selain skor hasil uji tim seleksi dan (iii) berhadapan dengan hati nurani dan integritas dirinya. Pilihan terpuji dan jempolan adalah jika seorang penyelenggara pemilihan adalah bila sanggup memilih butir yang ketiga: mengikuti hati nurani serta menegaskan integritas diri: bahwa dia adalah wakil agung dari daulat rakyat dan keadilan, dan bukannya alat dari kepentingan sesaat. Tidak sudi merendahkan diri jadi sekadar kepanjangtanganan dari seorang atau sekelompok orang dan partai. Bila ini pilihannya, maka azas yang terpampang sebagai moto KPU “Melayani Rakyat Menggunakan Hak Pilihnya” dapat ditunaikan. Jadi, intinya, KPU adalah lembaga pelayan rakyat di dalam mengunakan hak pilih. Itulah sebabnya bukan jadi agen kepentingan partisan. Maka, kita berharap kekisruhan di KPU Manado segera tuntas. Kredibilitas KPU Sulut tengah diuji. Loncat dulu dari perikhwalan perundangan seraya mempertimbangkan personalia baik KPU Sulut maupun Manado, secara keusiaan mereka rata-rata masih muda. Tentu kita berharap mereka tidak akan menghancurkan masa depannya hanya demi sesuatu yang jelas mudaratnya: menghabisi nama baik mereka! Dalam ranah dan rampai ini pulalah publik masyarakat Sulut tidak dilukai dengan kecemaran apalagi yang mengarah kepada kekacauan. Magma administrasi politik yang memanas yang tidak patut di KPU Manado harus segera dikelola. KPU Manado adalah salah satu lembaga yang merekruit personalia pengurus sebelumnya terbanyak di Indonesia (tiga dari lima anggota). Pengalaman? Tidak perlu diragukan. Pendeknya mereka tahu apa yang terbaik yang sejati harus mereka lakukan. Terkecuali, ya itu tadi, mereka mau mencoba pengalaman lain. Tetapi sebuah sapa tulus, penting kita gemakan “Mari tunaikan amanat demokrasi”. KPU Manado adalah penyelenggara demokrasi dan bukan antek dari sindikat pencuri kekuasaan; jangan sudi jadi KPU Politik.(***)Penulis adalah Direktur Indonesian Development Institute (IndIt).-
READ MORE -

Artikel

Politik Gambar Narsis dan Pemberangusan Jatidiri Para Caleg

Jan 13, 2009 at 10:27 AM
Oleh Kamajaya Al Katuuk(Direktur Indonesian Development Institute)MAU memahami kenapa proses penampilan para calon legislative (caleg) punya indikasi yang mengarah kepada gejala psikososial yang patologis? Silakan saksikan kampanye melalui media gambar para caleg yang sekarang bertebaran di seantero tanah air; di jalan, pinggiran got, di bukit atau tempat lainnya, yang penting dimaksudkan si pemasang adalah untuk gampang dilihat orang yang melewatinya.
Gambar-gambar tersebut, dengan biaya yang jelas tidak sedikit, tampil secara ‘mantap’: dimanis-maniskan, dicantiktampankan, dan juga dilamuri adegan seringai tanda ramah dan percaya diri. Sesuatu hal yang sekarang ini siapapun dapat melakukannya, yakni dengan menggunakan jasa teknologi piranti pengolah gambar, seperti photoshop yang mampu memanipulasi tampilan; buruk jadi tampak kinclong. Tak ada jerawat, tampak langsing, muda pula, pokoknya: pasung. Imaji jadi-jadian adalah kesan pertama yang segera mencolok mata dari gambar para caleg. Bahkan tak jarang, karenanya kita akan mendengar komentar orang yang kenal dengan caleg bersangkutan, begitu melihat balihonya segera bertutur, “ Eh, kok ‘X’ jadi begitu. Lebih bagus tetapi tak kenal, siapa jadinya?” Para caleg dengan sendirinya menawarkan dirinya dengan cara menampilkan topeng lain yang diakui sebagai dirinya.Baliho dan gambar pemikat sang caleg lainnya yang harus kita komentari bersama adalah penyatuan gambar sang caleg dengan pimpinan partai, istri pimpinan, atau petinggi partainya. Entah sama saling tinggi kepal tangan atau slogan yang mengobral retorika populis, yang inti sebenarnya bermaksud mohon pilih saya, jangan yang lain ya?! Hanya, dari segi semiotika (ilmu tafsir tanda-tanda) gambar duet atau bergerombol tersebut mencerminkan luluhnya identitas diri, kepribadian sang calon. Para calon tersebut masuk dalam kolektivitas semu. Tampil di bawah bayang-bayang tokoh lain (shadow image of the other). Dia merasa ada hanya karena ada bersama yang lain.Adegan foto di baliho yang dominan adalah kepal tangan dan tersenyum. Berikut retorika verbal yang bersifat umbar diri. Ikhwal yang pertama, kepal tangan dan sebagainya adalah gesture yang menunjukkan maksud bersemangatnya sang caleg. Masalahnya adalah bila ditakar dari kinerja lembaga yang hendak mereka masuki, legislatif, jelas semangat tersebut patut dicurigai sekadar sebagai semangat untuk memperjuangkan dirinya sendiri dan jauh panggang dari api untuk menjadi wakil rakyat. Naifnya, mereka pun banyak yang menjual dirinya ketimbang program. Retorika seperti cantik-tampan, muda, cerdas, berpengalaman, berani dan sebagainya tanpa malu-malu dibubuhkan. Mereka kehilangan kreativitas, misal kenapa bukan konstituennya, yang sebenarnya bisa direkayasa, yang memberi tanggapan dan bukannya melabeli diri sendiri. Narsis yang nyinyir, belaka.
Politik dinasti adalah catatan lain yang jelas tidak menyehatkan dinamika politik. KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme nampaknya belum sepenuhnya terjalankan. Walau undang-undangnya sudah dibuat. Kita baru bisa mengatakan korupsi sudah mulai lancar diberantas, walau belum tuntas. Akan tetapi kolusi dan nepotisme di dalam penyelenggaraan politik dan tentunya kenegaraan belum bermaslahat. Suami, istri, anak dan konco masih saja dominan menghiasi struktur yang disuguhkan sebagai calon wakil rakyat. Yang satu ini jelas mengecewakan. Pengkaderan partai tidak berjalan dan digantikan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai politik dinasti. Astaga?! Kita ternyata masih mengalami disorientasi politik. Tidak senonoh juga sekaligus sukar dipercaya. Sebab mereka banyak dari para caleg tersebut masuk dalam jemaah kolektif politik yang menjatuhkan jatidiri dan misi yang utama untuk menjadi wakil rakyat yang berkepribadian sehat. Kebanyakan mereka malah tampil dengan adegan gambar individu yang berpenanda patologis, asal menawan serta siap jadi pejabat publik walau untuk itu rela menghapus dirinya sejatinya. Pribadi yang seperti demikian jelas tidak dapat diharapkan jadi wakil rakyat. Istilah mesin politik pantas diterakan kepada mereka dalam arti yang segamblangnya. Mereka hanya menjadi bagian dari sistem perpolitikan kita yang cenderung kehilangan ruh dan rendah kemawasan sosial.#
READ MORE - Artikel

Undangan

Bagi pemerhati budaya dan manajemen kreatif, kami mengundang untuk berpartisipasi dengan mengirimkan artikel, komentar dan informasi kegiatan baik secara pribadi maupun lembaga atau kelompok.

Sedangkan bagi Anda yang berminat untuk bekerja sama di dalam program yang serupa juga terbuka kesempatan. Secara senang dan salut kami menunggu.

Ada pun bagi Anda yang memerlukan berbagai modul pelatihan juga dapat menghubungi kami melalui alamat email : tusara_idm@yahoo.de atau kmjkatuuk30@gmail.com


Tabik,


Sandra DD
Koordinator Program
READ MORE - Undangan

Selasa, 20 Januari 2009

READ MORE -
READ MORE -

Peta Perempuan di Sulawesi Utara 2008 Pengantar

LAPORAN PEMETAAN II
KATA PENGANTAR
Program Pemetaan Tahap II ini adalah lanjutan dari Pemetaan Tahap Awal (2007) yang menyajikan ikhwal Potensi dan Permasalahan Perempuan di Sulawesi Utara. Kegiatan ini adalah bentuk kerja saama Lembaga kajian Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat (Lkk-pM) dengan Biro Pemberdayaan Perempuan (Biro PP) Setda Provinsi Sulawesi Utara. Gagasan tersebut lahir pada saat Evaluasi Program Akhir Tahun Biro PP di Tahun 2006 lalu, yang mengundang semua stakeholders, termasuk LKK-PM dari unsur LSM. Hasil dari evaluasi tersebut salah satunya adalah Pemetaan Awal, yang dilaksanakan di tahun 2007. Kemudian ditindaklanjuti di tahun 2008 dengan memberi gambaran peta tahap berikutnya (Tahap II). Jadi dari segi kelengkapan pemetaan ini dapat selalu diperbarui. Terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan adanya data sektoral, yang lebih bersifat khusus, teknis dan projek. Langkah seperti itu lebih bersifat analisis dan interpretasi lapangan berdasarkan kebutuhan (need assessment).
Sebagaimana yang dijelaskan pada pemetaan tahap awal, salah satu rekomendasi dari evaluasi tersebut adalah perlu adanya pemetaan potensi berikut permasalahan perempuan di Sulawesi Utara. Tujuannya, jelas dan mendesak, karena selama ini berbagai program pro-gender dan terutama pro-¬perempuan yang dilaksanakan belum berdasarkan pada peta potensi dan permasalahan yang ada. Padahal secara manajerial, sebuah program segalibnya didasarkan pada peta khalayak sasaran; sehingga program dapat didesain berdasarkan road map yang jelas. Sehingga sebuah implementasi evaluasi tidak sekadar mengevaluasi program (program for the program), melainkan berdasarkan track dan sasaran dan kebutuhan khalayak (program for the subject), yang dalam hal ini adalah kelompok perempuan. Program adalah alat, tujuannya adalah pemberdayaan perempuan dalam arti yang sejati dan komprehensif
Pemetaan ini juga menjadi langkah lanjutan terhadap upaya perancangan program yang berorientasi kontekstual dan lokal. Dalam hal ini Sulawesi Utara tidak sekadar dilihat sebagai nomenclature sebuah wilayah provinsi di Indonesia, melainkan sebagai sebuah komunitas kultur yang memiliki kekhasannya. Sehingga dapat dilihat kekhasannya tersebut saat dibandingkan dengan wilayah lain. Sehingga hasil pemetaan ini akan memberi arah terhadap kebijakan dan program-program yang hendak dirancang dan dijalankan di daerah ini.
Itulah sebabnya, pada tempatnya, bila Lkk-pM sebagai pelaksana yang diberi kepercayaan melaksankan program ini mengucapkan terima kasih atas kepercayaan pihak Pemerintah Daerah Sulawesi Utara, khususnya Biro PP, di bawah kepemimpian Ir. Greety R. Sumayku, yang dilanjutkan oleh Vera Logor, SH dan staf, yang telah memfasilitasi secara sungguh-sungguh. Sebagai sebuah proses, pemetaan ini, sebagaimana ada kata "awal", dan sekarang “Tahap II” maka lebih bersifat proses dinamis. Selebihnya dalam Pemetaan Tahap II ini data dan analisis serta interpretasi juga dikaitkan dengan fakta global (nasional). Sulawesi Utara dipetakan sekaligus dengan mengaitkan peta dasar dari Indonesia. Dilakukan dengan tujuan sebagai sebuah perluasan pemetaan yang dilakukan berdasarkan kebutuhan triangulasi dari sebuah langkah yang mengarah pada upaya memenuhi pemahaman semiotic (ilmu yang menjelaskan metode tentang makna tanda-tanda), terutama untuk kepentingan pemahaman indeksikalitas dan budaya dari data dan subjek pemetaan. Untuk kepentingan kontekstual pemetaan tahap II ini difokuskan pada tiga isu penting, yakni : (i) ketenagakerjaan, (ii) trafiking dan HIV/AIDS dan (iii) partisipasi perempuan di dalam ranah politik. Dua masalah, yakni ketenagakerjaan dan trafiking serta HIV/AIDS adalah kenyataan yang bersifat krusial bagi perempuan di Sulawesi Utara, sebab sektor atau ranah tersebut telah menjadi masalah yang berada pada tanda “lampu kuning”. Banyaknya pengangguran yang disebabkan karena kurangnya daya serap lapangan kerja di daerah telah menyebabkan dinamika keluarga dan masyarakat mengarah kepada pilihan-pilihan yang terbatas dan bermakna “terpaksa” memilih yang tersedia, termasuk yang mengancam diri dan bangsa, seperti terjerat trafiking. Adapun realitas politik penting dikemukkan karena selain menjadi isu global, di dalam konteks Indonesia partisipasi perempuan yang dikemas di dalam strategi affirmative action, yang mematok keterlibatan perempuan harus minimal 30 % perlu dimonitoring. Untuk itulah di dalam pemetan ini digambarkan agregat (icon) dan penafsiran kulturalnya. Pada hakikatnya ketiga sektor atau isu tersebut, terbukti dari hasil pemetaan ini saling terkait. Sehingga rekomendasi dari pemetaan ini menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan harus diarahkan pada tujuan yang berlandaskan pada penyadaran peran (role awareness) komunitas perempuan yang berprasyarat pada dukungan partisipatif dari laki-laki. Dengan demikian program formal dari penyelenggara negara dan bangsa ini adalah sejatinya menumbuhkan terpenuhinya kebutuhan dan prasyarat tersebut. Sebab sebagaimana yang diketahui sebutkanlah salah satu varians dari bermasalahnya ketiga sektor di atas adalah kemiskinan. Penyebab kemiskinan , terutama di kalangan perempuan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Menurut Meneg PP dalam pidato PKHP di Surakarta (2006), "Secara kultural sebagian masyarakat masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya patriarki yang menimbulkan ketimpangan struktur sehingga perempuan menjadi terbatas untuk memperoleh pendidikan, akses ekonomi dan berorganisasi". Lebih lanjut simak Data BPS tahun 2004 yang memperlihatkan bahwa jumlah anak perempuan usia sekolah yang memperoleh pendidikan lanjutan tingkat atas lebih kecil dibandingkan rekan laki-laki sebanyanya.Dalam penelitian itu juga menunjukkan bahwa banyak kasus anak perempuan terpaksa tidak bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan yang ditanggung keluarganya dan terpaksa masuk ke angkatan kerja mencari nafkah bagi keluarganya, dan lebih banyak anak perempuan usia sekolah yang bekerja dibandingkan anak laki-laki. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan pada anak-anak perempuan ini yang mempermudah kelompok ini menjadi korban penipuan dan perdagangan orang, oleh sebab itu pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki harus diberikan kesempatan yang sama. Analisis yang dilakukan Bank Dunia pada negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat pendidikan dasar yang tinggi, yaitu dengan hanya meningkatkan persentasi perempuan untuk mengecap pendidikan menengah sebesar satu persen saja, telah dapat meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 0,3 persen. Pemetaan ini karena melihat potensi dan permasalahan sebagai sebuah fakta yang mengundang untuk disikapi.
Pemetaan Tahap II ini, seperti juga pemetaan sebelumnya menggunakan metode semotik yang digagas oleg C.S. Peirce. Yang mengemukakan bahwa segala hal ikhwal di dunia ini adalah tanda. Ada pun salah satu gagasannya yang diterapkan di dalam pemataan ini adalah konsep tentang icon (ikon), yakni tanda sebagaimana adanya, seperti berita, angka; idex (indeks) yang bermakna bahwa setiap ikon dapat dimaknai dari maksud yang ada di balik apa yang Nampak, seperti kalau ada asap berarti ada api; adapun yang ketiga adalah symbol (simbol) yang bermakna bahwa setiap ikon dan indeks dapat dilihat makna utuhnya secara komprehensif, seperti angka Human Development Index, statistik kemiskinan dapat ditafsirkan secara lebih mendalam dengan melihat apa dan sebabnya yang fakta yang melatarbelakanginya dan prospek prediktifnya: tradisi, kondisi faktual dan sebagainya, yang biasanya tercakup secara penuh dengan menyebut “budaya”. Harus diakui di dalam pemataan ini, walaupun sudah dilakukan pendekatan tersebut, tetap saja data-data tertentu seperti gambar, foto dan berita masih tetap ditampilkan sebagai peta. Apa adanya. Yang tafsiran dan perluasannya dapat dilakukan secara berbeda oleh pembaca lain, berdasarkan minat dan kepentingannya. Di dalam pelaksanaan pemetaan ini, LKK-PM juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah ikut memberikan dukungan data, baik secara tertulis maupun terlisan. Ucapan tersebut patut diucapkan kepada: Pemda Kota Manado, Bolmut, Minahasa Utara, dan sangihe Talaud. Tentunya, secara internal pun perlu diucapkan terima kasih untuk kerja sama yang telah dilaksanakan oleh staf di LKK-PM, yang telah bertugas sebagai tenaga surveyor dan ahli. Tanpa kesungguhan dan kerja sama yang laras, upaya pemetaan yang penting ini tidak mungkin dapat dilaksanakan.
Semoga peta Tahap II ini, betul-betul dihayati oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama Biro PP, yang mulai tahun 2009 berubah menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang melihat peta ini sebagai salah satu bahan acuan program di Sulawesi Utara.
Salam Basudara,
KAMAJAYA AL KATUUK
Direktur

Catatan: Peminat Data Lengkap Silakan kirim email.
READ MORE - Peta Perempuan di Sulawesi Utara 2008 Pengantar