Laman

Selasa, 16 November 2010

Menang Ala Spartacus

Spartacus: Blood and Sand adalah sebuah sajian serial TV yang mengangkat kehidupan para gladiator. Inspirasi Sejarah Zaman Spartan

Sejarah Spartacus

Menurut catatan sejarahnya (http://www.suite101.com/), Spartacus dilahirkan di Thrace, sebuah wilayah Eropa yanag sekarang terdiri dari bagian Yunani modern, Bulgaria, dan Turki. Pada suatu kurun waktu Spartacus menjadi budak dan tinggal di sebuah Ludus (Roma sekolah gladiator) di Capua. Ludus ini dimiliki oleh Gnaeus Cornelius Lentalus Batiatus (atau Vatia). Di tempat inilah Spartacus menjalani masa-masa berat dan gawat.Spartacus seperti juga para gladiator lainnya, selama di ludus menjalani pilihan hidup-mati. Saat berhadapan dengan lawan, pilihannya hanya dua: membunuh atau dibunuh.

Gladiator: Budak Nafsu
Menyaksikan TV-serial ini, kita akan disuguhi adegan berdarah-darah. Maut datang menjemput para gladiator naas setiap ada pertunjukan. Jelas, pertunjukan! Gladiator adalah pertunjukan yang disaksikan masyarakat pada waktu itu sebagai hiburan belaka. Masyarakat yang menyalurkan birahi membunuh melalui teater arena; yang datang secara bebas berekspresi, terutama dalam hal menyoraki kebrutalan para gladiator, selebihnya mereka juga ditampilkan ada yang sambil melakukan hubungan badan atau memertontonkan auratnya sebagai reaksi terhadap sebuah adegan atraktif (baca: sadis).Gladiator secara riil adalah budak sosial. Mereka sudah dibeli. Tetapi juga sebagai objek budak nafsu publik dan privasi yang menguasainya.

Bila dilihat dari sudut pandang para gladiator, sungguh menerenyuhkan. Menghadapi hari-hari dijemput maut atau menjadi penjemp-ut maut lawan, padahal mereka juga masing-masing memiliki masalah pribadi. Tertinggal dengan kekasih, istri dan atau anak.

Pada sisi lain, gladiator yang jantan secara biologis, ternyata juga ada yang jadi peliharaan istri elitis di ludus. Termasuk istri Batiatus, pemilik ludus. Batiatus adalah tokoh antagonis yang dikelilingi oleh para pelicik yang berdarah dingin. Istrinya, yang lacur dan haus kekayaan serta gila hormat, serta makelar kasus jual beli manusia dan taktik.

Spartacus sendiri selama menjalani masa hidup-mati di ludus, dia dipisahkan dari istrinya, Sura. Itulah sebabnya, Spartacus mengajukan persyaratan bahwa kalau dia berhasil membunuh lawan yang pada waktu itu tanpa tanding, meminta agar istrinya yang diculik oleh Claudius Glaber, pemimpin militer Roma yang telah melemparkan Spartacus ke ludus dan menjual istrinya sura sebagai budak di Syiria, di datangkan.Batiatus berkat kaki-tangannya yang handal telah mengetahui keberadaan Sura. Sehingga menyanggupi permintaan Spartacus.

Betul, Spartacus berhasil mengalahkan (membunuh) lawan tangguh, Batiatus mengabulkan permintaan Spartacus. Sura pun didatangkan. Melalui sebuah pedati (roda) bertingkap Sura tiba. Pedih hati Spartacus, saat dia membuka tingkap, Sura disaksikannya dalam keadaan berdarah-darah parah dan sekarat, yang menurut penjempuutnya karena telah dibantai penjahat di perjalanan. Sura dijemput maut dipelukan Spartacus.

Spartacus dari Tokoh Pribadi ke Tokoh Publik
Sejak saat itu harapan Spartacus tidak lagi sekadar bagaimana menjadi manusia yang bebasuntuk mendapatkan kembali Sura. Suatu hal yang lebih besar dibanding dengan sekadar memeroleh kekasih pribadi. Proses itulah yang membawa Spartacus ke tingkat yang lebih tinggi. Dari berjuang untuk diri sendiri ke tingkat berjuang untuk kepentingan bersama, para gladiator dan budak lainnya. Kemerdekaan komunitas. Spartacus kemudian juga menemukan fakta bahwa Sura mati, ternyata di bawah skenario maut Batiatus yang tak rela melepas Spartacus.Sebab sebagai gladiator tangguh Spartacus adalah lumbung koin kemakmurannya. Setiap Spartacus menang, maka Batiatus juga menang taruhan.

Sampai....tiba saatnya. Dalam sebuah adulaga antara Spartacus dengan lawan dan kawan tangguhnya Crixius, setelah tanding beberapa jurus yang seru; disambut soraai Batiatus dan para tamunya, Spartacus dan Crixius lantas memungkasnya dengan adegan berbalik perlawanan terhadap Batiatus beserta pasukan dan kakitanganya. Pemberontakan tersebut berhasil. Batiatus, istri dan ponggawanya punah dibantai.

Menurut perawiannya. Masa Spartacus tersebut terjadi pada tahun 73 SM. Tahun kejadian ini penting dicatat, sebab adegan dan bahasa yang ditampilkan di film televisi ini dikatakan menggambarkan saat itu. Adegan "parno", muncul di sana-sini secara benderang. Maka, filem ini hanya pantas untuk ditonton orang dewasa. Kecuali ada upaya sensor. Tetapi bila untuk kepentingan dasaran sejarah cukup diintroduksikan, bahwa filem ini juga bermuatan fakta sejarah, maka pornografi tersebut tidak ada. Sebab begitulah faktanya, di waktu abad itu. Kehidupan spartan di ludus adalah kehidupan kedagingan.

Hal yang penting dicamkan dari seri televisi yang mencapai 13 episode ini (Spartacus: Blood and Sand) adalah lepas dari teknik penggarapannya masih di bawah kualitas filem laga Ninja Assassin, adalah kisah keteguhan Spartacus. Wataknya yang gigih dan tenang, walaupun sadis saat menghadapi lawan, menginspirasi para petarung saat ini. Entah di ranah politik maupun ekonomi.Terutaama di dalam menghadapi para lawan yang licik dan berdarah dingin. Pentingnya kesabaran walaupun dalam posisi kuat, dalam menjalankan konsolidasi serta penetapan waktu pengambilan keputusan adalah kunci keberhasilan. Spartacus, menang bukan semata ketangguhan otot belaka, melainkan otak. (***).
READ MORE - Menang Ala Spartacus

Sabtu, 13 November 2010

Potensi Seni Rupa Manado

Renungan dan Teror Dunia Super Oval

Kamajaya Al Katuuk

Hidup adalah layaknya--sebagai sebuah makna yang bebas masuk. Untuk memahaminya kita dapat dapat datang serta mengambil bagian dari arah mana saja. Begitu pula yang dilakuan seorang Oval Bravo melalui ekspresi karya lukisnya. Oval menghayati hidup ini dengan memulai dari makna nama dirinya sendiri: “oval”. Sepertinya, tersirat bahwa perupa ini datang mengakrabi kita--- yang menyaksikan karya-karyanya, seraya berujar, “hidup itu oval, oval itu hidup”.
Bentuk oval di tangan kreativitas Oval, hadir bukan sekadar bentuk melainkan media pengantar makna yang sarat dan datangnya mengejutkan. Sampai di sini, maka cukup alasan bahwa Oval menggarap tema lukisannya dengan mengandalkan gaya surealis. Mengejutkan dengan cara menampilkan bentuk-bentuk yang tampil serentak. Perhatikan lukisannya yang berjudul “Menanti Sebuah Jawaban”. Lukisan tersebut tampil dengan lanskap dataran telur yang beberapa di antaranya sudah menetas. Ada tetasan kaki, mata, telinga, mulut-lidah, hidung dan telinga. Nampaknya itu adalah representasi panca indra kita. Sementara di atasnya terbentang semacam langit separuh telur yang tengah leleh. Ini, jelas representaasi gambaran langit dan bumi yang cenderung ke-oval-ovalan. Merupakan keserempakan yang dijadikan perupa ini untuk menampilkan gambaran ikhwal keawalan dan keakhiran hidup. Lukisan ini, nampaknya mengambil wilayah besar dan luas pada segmen akhir hidup. Pancaindra yang ditampilkan tersebut, bisa jadi adalah gambaran dari hari “pengadilan” akhirat. Yang pada saat itu keadilan sejati bersaksi. Kaki, mata, tangan, telinga, mulut-lidah, serta bagian diri kita lainnyalah yang akan menyatakan diri, tentang apa saja yang sudah dilakukannya selama dibawa hidup oleh sang pribadi. Seseorang. Maka judul yang diterakan di sini “Menanti Sebuah Jawaban” sesungguhnya adalah perihal kisahan mengenai, apabila awal (dunia) adalah pertanyaan, maka akhir (akhirat) adalah jawaban. Tentu, semiotikanya atau tafsirannya adalah, bila di dunia seseorang bisa berdusta, maka di akhirat kelak, tidak. Sebab yang akan bersaksi adalah setiap bagian dari tubuh itu sendiri yang berbicara. Oval merumuskan sebuah refleksi hidup yang utuh terhadap ikhwal kekianian dan kenantian, keduanya ada dalam satu kesatuan yang diwadahi secara estetis dalam perwujudan yang menohok dengan teror bagi kita yang suka berkilah mulut di dunia, dalam wujud semesta yang oval.
Bentuk oval kemudian menjadi media yang kuat bagi penggarapan eksistensi hidup ini saat perupa otodidak ini menggarap karya lukis lainnya, seperti yang dijudulinya: Kiamat, Love in the Moon, Keseimbangan, Satui Hati, Sunset, Ketenangan Jiwa, Sense of Oval, atau Sense of Egg. Melalui bentuk konsisten oval, Oval Bravo tak jemu-jemu menggedor kesadaran kita dengan menggelindingkan berbagai bentuk oval yang bervariasi tampilan. Love in the Moon, misalnya, jelas menyuguhkan kekuatan imaji sperma yang mudah dikenali tujuan naratif yang hendak diceritakannya. Pergulatan dan pergelutan komunitas sperma yang dinamis. Lukisan ini, bila saja kita menafsirkan romantisismenya lebih kental ketimbang citraan lainnya, maka pantas dipajang di kamar pengantin.
Di luar perbincangan ikhwal makana serta keindahannya, Pameran Tunggal yang akan dilaksanakan di Restoran Ria Rio Kalasey ini jelas bermakna besar bagi pengembangan apresiasi seni lukis. Manado punya sederet perupa yang potensial. Bahkan di tengah minimnya dukungan formal dari pihak pemerintah sekalipun. Sonny Lengkong, Denny Katili, Jaya Masloman serta kawan-kawan tetap mampu berkarya dan punya pasar peminatnya. Maka Oval adalah, salah seorang dari generasi penerus mereka yang pasti memberi makna dunia seni rupa. Oval Bravo, yang nampaknya telah menemukan jatidiri model objek tematika dan bentuknya, yakni menggeluti dunia oval diharapkan akan semakin matang dan beraura. Hal tersebut adalah tantangan sendiri, sebab baginya memahiri dunia oval adalah setali tiga uang dengan menguasai dirinya. Dia merenung juga meneror dirinya, yang dibagikannya kepada khalayak penikmat karyanya. Inilah dunia super realis (kemudian disingkat jadi surealis) oval. Dalam sebuah bentuk oval, sekali lagi beberapa renungan dan teror berjajar bersama.
Selebihnya, patut dicatat cara manajemen Ria Rio memfasilitasi pameran seperti ini, tidak hanya cerdas untuk menampah popular restoran, tetapi juga sekaligus mendukung pertumbuhan seni di daerah ini. Cara serupa baik dilakukan oleh pihak lain. Terutama dengan penjadwalan yang ajeg. (**).
READ MORE - Potensi Seni Rupa Manado

Kamis, 04 November 2010

Perang dan Agenda Demokrasi

Perang: Instrumen Pelaksana Agenda Demokrasi Amerika



Sandra Dewi Dahlan

Program Pengakajian Amerika
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

I. Pendahuluan

Adalah sebuah perjalanan panjang memetakan sejarah peperangan Amerika Serikat (AS), dimana AS berperan sebagai aktor utama ataupun pendukung dalam skenario peperangan dunia. Perang merupakan suatu bencana ciptaan manusia yang membutuhkan konsekuensi besar, sebab tidak hanya menghabiskan anggaran dana jutaan dolar juga terpenting adalah hilangnya ratusan ribu nyawa dalam sekejap. Hal ini berdampak pada kehancuran nilai kemanusiaan bahkan peradaban yang beradab.
Bagi AS perang seperti menjadi obsesi dan agenda tetap, memiliki musuh atau tidak, pertahanan demi kemanan untuk siap berperang kapan saja, haruslah tetap menjadi anggaran dan agenda nasional nomor satu AS. Fenomena sikap mengutamakan penggunaan hardpower dalam kebijakan luar negeri AS ini menimbulkan sekelumit pertanyaan yang ingin diungkap penulis; mengapa AS berperang dan selalu siap berperang?; apa sebenarnya yang mendasari pemikiran AS serta apa implikasinya bagi AS secara khusus dan dunia internasional secara umum? Penulis berpendapat bahwa kecenderungan penggunan kekuatan militer oleh AS dalam praktek kebijakan politik luar negerinya adalah untuk memaksakan kehendak dan kepentingan AS dalam bidang politik dan ekonomi.

II. Pembahasan
Kemunculan AS sebagai pemenang dalam Perang Dunia ke-II menjadikan AS negara superpower. Pemikiran pascaperang inilah yang membentuk karakter politik AS yang baru yang sebelumnya isolationism menjadi global activism. Sikap politik ini lahir dari pemikiran pemimpin-pemimpin AS bahwa adalah tanggung jawab AS sebagai pemimpin dunia untuk terlibat dalam setiap permasalahan yang ada di dunia. (Kegley dan Wittkopf, 1996: 1)
Tercatat setidaknya terdapat 234 kasus sejak tahun 1798 – 1993 dimana AS menggunakan kekuatan militernya untuk menyelsaikan konflik ataupun keadaan berpotensi konfik dengan tujuan untuk melindungi rakyat AS maupun melancarkan kepentingan AS. (Collier, 1993) Jumlah ini belum termasuk beberapa perang lain seperi Perang Sipil dan Perang Revolusi, terutama perang yang diakibatkan setelah Penyerangan 9/11.
- Perang sebagai Ideologi
Pada masa kepemimpinan Wodrow Wilson AS berperang melawan Jerman pada tahun 1917 dengan tujuan untuk menciptakan “a world safe for democracy”. Kemudian, keterlibatan AS pada Perang Dunia II oleh Franklin D. Roosevelt adalah suatu upaya untuk menegakkan “four freedom—freedom of speech and expression, freedom of worship, freedom from want, and freedom from fear”. Setelah itu, dibawah kepemerintahan George Bush peran AS sebagai pemimpin dunia semakin dipertegas dengan menyatakan bahwa adalah tanggung jawab AS untuk memimpin dunia dari kepemimpinan yang diktator (Kegley dan Wittkopf, 1996: 1-2).
Kekuasaan AS pascaperang menjadidi titik penentu sikap AS dalam menghadapi permasalahan dunia ke depan. AS menjalankan politik intervensi ke negara lain jika dianggap tidak sesuai dengan ideologi AS. Komunisme diperangi pada masa Cold War, sehingga Uni Soviet menjadi musuh terbesar AS pada periode itu. Perang di Vietnam dan Cina adalah usaha untuk membendung penyebaran pengaruh komunis.
Pemikiran politik global aktivisme AS adalah untuk menciptakan kepemimpinan dunia berdasarkan kepentingan dan nilai Amerika: peace and prosperity, stability and security, democracy and defence (Kegley dan Wittkopf, 1996: 7). AS menjadi kekuatan dominan dalam percaturan politik dunia. Kekuasaan dan kemenangan pascaperang menjadi candu dan obsesi bagi AS yang ingin terus menunjukkan posisinya di mata dunia sebagai pemimpin dunia. Kebijakan intervensi AS menampakkan idealisme Wilsonian; Wilsonian idealism gave way to the doctrine of political “realism” which focused on power, not ideals. (Kegley dan Wittkopf, 1996: 3). Apakah nilai-nilai negara AS tersebut sejalan dengan praktik penggunaan hardpower dalam menjalankan politik luar negerinya?
AS didasari oleh nilai demokrasi. Demokrasi merupakan nilai kehidupan yang seyogyanya menjunjung tinggi kebersamaan dan persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan memilih dalam masyarakat. Tetapi dalam praktek kebijakan luar negerinya, nilai-nilai ini hanya sekadar menjadi slogan yang kehilangan makna. Doktrinisasi dilancarkan oleh pemimpin AS terhadap bangsanya agar mendapatkan dukungan penuh. Nilai kebersamaan bagi AS adalah selama pandangan politik negara lain sejalan dengan AS. Dalam praktek kebijakan luar negerinya AS sering mengatasnamakan kepentingan negara dan bahkan dunia internasional karena nilai negara AS diyakini bersifat universal.
“Our shared values are essential because they link America to the world. The belief that American values are universal values—that all men and women are created equal, that all are entitled to life, liberty and the pursuit of happiness, regardless of race, creed, or nationality—connects us to other nations.”
—Anne-Marie Slaughter,
The Idea That Is America: Keeping Faith
With Our Values in a Dangerous World, 2007 (Lord, 2008: 4)

Demokrasi dalam kehidupan bernegara bermakna menghargai pilihan suatu negara menjalani kehidupannya berdasarkan potensi dan kepentingan masing-masing negara yang berbeda. Maka dalam pelaksanaan demokrasi tidak membenarkan adanya pemaksaan apalagi menggunakan kekerasan. Amerika sering menggunakan kekuatan militernya untuk memaksakan penyebaran demokrasi ke seluruh dunia, hal ini tentu jauh dari hakekat demokrasi yang dicita-citakan setiap insan di dunia sebab peperangan dapat berakibat pada hancurnya suatu peradaban. Dengan demikian, demokrasi bagi AS hanyalah menjadi instrumen pembenaran. Perang berada pada level ideologi bagi AS dalam praktik kebijakan luar negerinya.
Dampak dari sikap AS ini adalah semakin tingginya kebencian masyarakat dunia terhadap AS dari tahun ke tahun. Hasil dua kali survey The Pew Research Center (Vankin, 2006: 14-16) di tahun 2002 dan 2006 secara global, menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap AS adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dunia—jauh lebih besar daripada Irak atau Cina. Bahkan Theodore Millon dalam "Personality Disorders of Everyday Life" menyebutkan,
“the United States as the quintessential narcissistic society. Narcissism is frequently comorbid with paranoia. Americans cultivate and nurture a siege mentality which leads to violent acting out and unbridled jingoism. Their persecutory delusions sit well with their adherence to social Darwinism (natural selection of the fittest, let the weaker fall by the wayside, might is right, etc.).

- Perang sebagai Industri

Senjata merupakan buah revolusi industri. Industri menentukan perkembangan perekonomian. Dan untuk mempertahankan jalannya industri syaratnya adalah suplay dan demand haruslah tetap ada dan seimbang, maka perlu menciptakan suasana yang kondusif. Amerika tidak hanya berperan dalam pengadaan tetapi juga menciptakan kebutuhan sekaligus. Dengan menciptakan perang di dunia, maka permintaan dunia akan senjata akan terus meningkat.
Amerika penganut sistem ekonomi campuran dan kecenderungan sistem ini adalah penguasaan pasar. Perekonomian Amerika adalah salah satu terpenting di dunia, dan ini ditentukan pula oleh industri militernya. Hal lainnya adalah peperangan mampu menyediakan ribuan lapangan pekerjaan bagi masyarakat AS (dalam usia produktif) dan menghidupkan industri pabrik persenjataan sehingga perekonomian mampu berjalan. Dengan demikian, ini akan berdampak bagi pasar dunia. Bagaimana perang menjadi industri yakni dengan menjadikannya populer di mata masyarakt. Tak terhitung jumlah produksi film AS yang berlatar perang, gengster, ekspor senjata , hingga bahkan superhero. Tontonan kekerasan dan penggunaan senjata dalam kehidupan nyata masyarakt AS menjadi hal biasa tetapi demikian luar biasa fenomenalnya hingga berpengaruh bagi budaya dan gaya hidup masyarakat global.
Militerisasi dengan cara memopulerkannya akan mudah diterima masyarakat, dan perang seiring waktu menjadi hal yang biasa dan bahkan dianggap sebagai agenda yang sudah direncanakan meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan. Populernya film-film menggunakan senjata meskipunn ending ceritanya dimenangkan oleh kebaikan atau pahlawan, tetapi hadirnya industri ini mengajarkan orang untuk menggunakan kekerasan demi mencapai suatu tujuan.
Industri militer ini disebut sebagai Military-Industrial Complex, karena industry ini bersifat saling mendukung antara dinas pertahanan dan korporasi industri yang menyuplai senjata beserta barang-barang lain ke kemiliteran dengan kontrak-kontrak rahasia (Tempointeraktif.com, 05 Januari 2009). Keberlangsungan industri ini bergantung dari kontrak militer. Sehingga, industri militer dan pertahanan mempengaruhi tidak hanya kebijakan luar ngeri tetapi juga ekonomi.
Memiliki Kekuatan militer bagi AS berarti memiliki kemampuan untuk mempertahankan negara sekaligus memiliki kekuasaan tanpa batas untuk menjalankan kebijakan pemerintahannya meskipun dengan cara memksakan kehendaknya terhadap negara-negara lain di dunia demi kepentingan nasionalnya.
Demi menyuburkan kekuatan militernya AS mengeluarkan dana yang sangat besar untuk anggaran militer, bahkan menjadikannya sebagai negara dengan anggaran militer terbesar di dunia. Perhatikan tabel berikut.
Spending figures are in US$, at current prices and market exchange rates.
Rank Country Spending
($ b.) World share (%) Spending
per capita ($) Share of GDP,
2007 (%)a Change,
1999–2008 (%)

1 USA 607 41.5 1967 4.0 66.5
2 China [84.9] [5.8] [63] [2.0] 194
3 France 65.7 4.5 1061 2.3 3.5
4 UK 65.3 4.5 1070 2.4 20.7
5 Russia [58.6] [4.0] [413] [3.5] 173
Sub-total top 5
60

[ ] = estimated figure; GDP = gross domestic product.
a The figures for national military expenditure as a share of GDP are for 2007, the most
recent year for which GDP data is available.
b The figures for Saudi Arabia include expenditure for public order and safety and might be
slight overestimates.
Source: Military expenditure: SIPRI Yearbook 2008: Armaments, Disarmament and
International Security (Oxford University Press: Oxford, 2008), Appendix 5A.

Besarnya anggaran ini memotong anggaran lain yang mestinya teralokasikan dengan
sebagaimana mestinya, seperti dana kesehatan yang menjadi permasalahan terbesar AS. Hal terpenting untuk dikemukakan di sini adalah konsekuensi dari industri militer ini yang digunakan utnuk berperang.
“Worldwide conflicts during the 1945-2000 period are thought to have caused 25 million deaths and 75 million serious injuries, but many of these were fought under the shadow of the Cold War and included Korea, Vietnam, Afghanistan and the Horn of Africa. Such proxy wars caused around 10 million deaths and 30 million serious injuries. The idea that the Cold War was a period in which nuclear weapons kept the peace is a myth.”
(Abbott dkk, 2006: 21)


- Perang terhadap terorisme

September 2002, setahun pasca peristiwa 11 September 2001, Gedung Putih mengeluarkan dokumen penting The National Security Strategy of the United States of America (Foreign Affairs, September-Oktober 2002) yang berisi AS ingin menjadi polisi dunia dan akan bertindak unilateral dalam menghadapi ancaman teroris serta senjata pemusnah massal, bila negara-negara lain tidak bersedia diajak serta. AS juga akan menggunakan kekuatan militernya untuk mengatur tatanan global. George W Bush sendiri sudah menyatakan, Serangan 11 September 2001 telah memaksa AS mengeluarkan konsep keamanan nasional baru, yang dikenal dengan preemptive strike. Jadi, Peristiwa 11 September sengaja direka untuk menjadi justifikasi lahirnya politik luar negeri baru AS; Doktrin Preemptive Strike. (www.hizbut-tahrir.or.id, 07 February 2006)
Implikasi dari kejadian ini,
“Since 9/11 this has cost the US government an estimated $357 billion in military operations, reconstruction, embassy costs and various aid programmes in Iraq and Afghanistan, and for enhanced security at military bases around the world. However, the human cost has been infinitely higher. In Iraq, now on the brink of civil war, at least 40,000 civilians and thousands of Iraqi military and police have been killed as a result of the invasion. To date the US has suffered nearly 2,500 military fatalities in Iraq, with nearly 18,000 thousand troops wounded in action and a similar number evacuated because of non-combat injuries and severe physical or mental health problems. In Afghanistan, while the Taliban may have been ousted from power, more innocent civilians were killed as a direct result of military action there than died in the 9/11 attacks that prompted the US-led invasion. In the two conflicts, the number of civilians seriously injured is likely to be in the region of one hundred thousand, and tens of thousands have been internally displaced.
….It was hoped by the planners in Washington and London that the removal of Saddam Hussein and the spreading of democracy to Iraq would eventually vindicate their policy of pre-emption. However, it has become clear that ‘democracy’ in this instance actually means the privatisation of state-run industries, plus elections. The US policy of detention without trial of “unlawful combatants” in Guantanamo Bay; the widespread and deliberate bombing of civilian infrastructure in Afghanistan and Iraq; the abuse and torture of prisoners at the Abu Ghraib prison; and the destruction of Fallujah, the “city of mosques”, are just four more of the injustices of the ‘war on terror’ – injustices widely reported across the Muslim world, further adding to the sense of oppression and marginalisation (Islamic militants often also cite Chechnya, Kashmir and Palestine as further examples of Western oppression of Muslims).” (Abbott dkk, 2006: 18-19)
Fenomena ini mengundang kebencian warga dunia terhadap kebijakan politik luar negeri AS. Banyak intelektual berpendapat bahwa AS adalah musuh sebenarnya yang jauh lebih mengancam daripada ancaman teror internasional itu sendiri. Ini disebabkan oleh intervensi yang dilakukan AS ke berbagai negara di dunia dengan menggunakan kekuataan militer. Sikap AS ini semakin memarginalisasi dan menjajah bangsa lemah. Melumpuhkan pemerintahan dan perekonomian bangsa lain sehingga semakin memiskinkan. Ketidakadilan inilah yang memicu penyebaran terorisme di mana-mana serta munculnya kelompok radikal yang anti-amerika.
Keinginan AS untuk memimpin dunia baik secara politik maupun ekonomi, berkompetisi untuk mendapatkan sumber kekayaan alam serta menyebarkan ideologi AS terbukti sering dipaksakan dengan cara menggunakan perang sebagai instrumennya.
Pada bagian akhir pembahasan ini penulis ingin menambahkan sebuah kutipan wawancara yang bagi penulis adalah jawaban terbaik dalam menyikapi segala permasalahan dunia.
QUESTION: Should a power follow a human rights policy?
CHOMSKY: I don't think that any power ever will. I think that the only way in which
more humane policies can be imposed on the great powers is by mass popular movements
of their citizens. So, for example, the peace movement was one of the factors that forced
the United States to restrain what would otherwise have been a much more intensive
assault against Vietnam. The civil rights movement caused American power to make
moves that ameliorated the situation of oppressed minorities. That's the way to press
power towards human rights concerns. There's no other way.
("On human rights and ideology" Noam Chomsky interviewed by Jeff Sellars, October 1979)

III. Simpulan
Keinginan AS untuk menjadi pemimpin dunia baik dalam bidang politik maupun ekonomi menjadikan AS sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia karena terbukti AS sering menggunakan kekuatan militer dalam pelaksanaan kebijakan politik luar negerinya. Perang menjadi ideologi bagi AS sehingga menjaga kekuatan militernya adalah kunci untuk menjaga posisi AS di mata dunia. AS sering bersifat agresif dan memaksakan kehendaknya disebabkan oleh anggapan bahwa pada prinsipnya nilai kenegaraan AS bersifat universal yang selaras dengan tujuan dan nilai universal di dunia, sehingga negara lain haruslah sependapat dengan segala tindakan dan kebijakan AS, jika tidak ingin dianggap musuh dan kemudian diperangi.
Perang bertentangan dengan nilai humanisme. Pelanggaran hak asasi manusia dan teror AS terhadap bangsa-bangsa lain di dunia menjadikan AS dikenal sebagai bangsa yang besar karena menjadi negara penghancur peradaban dan nilai kemanusiaan, jauh dari cita-cita dan nilai luhur demokrasi yang hakiki (***).
READ MORE - Perang dan Agenda Demokrasi

Selasa, 02 November 2010

KEUNGGULAN PEREMPUAN


Hillary Rodham Clinto
n
Sandra Dewi Dahlan
Pengkajian Amerika
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Simbol Perubahan Peranan Perempuan di Amerika

Berbicara tentang perubahan peran perempuan di Amerika abad ke-20 hingga ke-21 ini, maka kita harus membicarakan Hillary Rodham Clinton. Peran Hillary sangat memberi kontribusi besar dalam perubahan perspektif fungsi dan tanggung jawab perempuan Amerika di dalam masyarakat, terlebih dalam ranah politik, bidang yang kemudian menjadi pilihan karirnya. Untuk membahasnya lebih jauh, berikut adalah profil, perjalanan karir serta kehidupan Hillary Rodham Clinton.

Profil dan Karir Hillary Rodham Clinton
Hillary Rodham Clinton lahir pada tanggal 26 Oktober 1947 dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-67, di bawah kepemerintahan Presiden Barack Obama. Hillary adalah seorang Senator Amerika Serikat untuk New York tahun 2001-2009. Ia juga adalah istri Presiden ke-42 Amerika Serikat, Bill Clinton, yang menjadikannya sebagai First Lady Amerika Serikat di tahun 1993-2001. Dalam pemilihan 2008, Hillary menjadi kandidat utama nominasi presiden Partai Demokrat.
Pada tanggal 21 Januari 2009, Hillary Rodham Clinton disumpah sebagai Sekretaris ke-67 negara Amerika Serikat. Ia bergabung dengan Departemen Luar Negeri setelah hampir empat dekade di pelayanan publik sebagai advokat, pengacara, First Lady, dan Senator.
Hillary merupakan lulusan Wellesley College dan Yale Law School, dimana ia bertemu dengan Bill Clinton. Ia memulai karir di bidang hukum setelah lulus dari Yale Law School pada tahun 1973. Pada tahun 1974, ia kemudian pindah ke Arkansas, setahun kemudian, 1975, menikah dengan Bill Clinton dan menjadi seorang pengacara sukses disamping juga mengasuh putri mereka, Chelsea. Hillary adalah asisten profesor di University of Arkansas School of Law, dan setelah bekerja untuk memperkuat kantor bantuan hukum setempat ia ditunjuk oleh Presiden Jimmy Carter pada tahun 1977 untuk mengabdi di dewan Legal Services Corporation, yang kemudian diketuainya dan sekaligus menjadikan Hillary sebagai perempuan pertama dalam jabatan penting tersebut di tahun 1978. Selain itu, Hillary juga menjadi partner perempuan pertama di Rose Law Firm tahun 1979, dan dua kali tercatat sebagai salah satu dari 100 Pengacara Paling Berpengaruh di Amerika.
Selama 12 tahun (1979-1981 dan 1983-1992) Hillary menjabat sebagai First Lady negara bagian Arkansas dengan Bill Clinton, suaminya, sebagai Gubernur. Hillary mengetuai Arkansas Education Standards Committee menjadi salah satu pendiri The Arkansas Advocates for Children and Families, dan mengabdi di beberapa dewan The Arkansas Children's Hospital dan The Children's Defense Fund.
Pada tahun 1992, Gubernur Bill Clinton terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, dan sebagai First Lady, Hillary R. Clinton menjadi penganjur reformasi kesehatan dan bekerja di berbagai isu yang berkaitan dengan anak-anak dan keluarga. Dia memimpin upaya bipartisan sukses untuk meningkatkan adopsi dan sistem anak asuh, mengurangi kehamilan remaja, dan menyediakan pelayanan kesehatan bagi jutaan anak-anak melalui Program Asuransi Kesehatan Anak (Children's Health Insurance Program). Dia juga melakukan perjalanan ke lebih dari 80 negara sebagai wakil dari negara Amerika Serikat, memenangkan penghargaan sebagai pemenang hak asasi manusia, demokrasi dan masyarakat sipil (champion of human rights, democracy and civil society). Pidatonya yang terkenal di Beijing pada tahun 1995 ketika ia menyatakan bahwa "hak asasi manusia adalah hak-hak perempuan, dan hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia" – telah menginspirasi perempuan di seluruh dunia dan membantu menggembleng gerakan global untuk hak-hak perempuan.
Bersama Sekretaris Negara Madeleine K. Albright, Hillary bekerja untuk memulai The Government’s Vital Voices Democracy Initiative. Sekarang Vital Voices adalah organisasi non-pemerintah yang terus melatih dan mengelola pemimpin-pemimpin perempuan di seluruh dunia.
Pada tahun 2000, Hillary Clinton mencatat sejarah sebagai First Lady pertama yang terpilih menjadi anggota Senat Amerika Serikat, dan wanita pertama yang terpilih di seluruh negara bagian di New York. Dalam Senat, ia bertugas di The Armed Services Committee, The Health, Education, Labor and Pensions Committee, The Environment and Public Works Committee, The Budget Committee and The Select Committee on Aging. Dia juga menjabat sebagai Komisaris pada Komisi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (the Commission on Security and Cooperation in Europe).
Sebagai Senator, Hillary R. Clinton bekerja lintas partai untuk membangun dukungan demi misi penting konstituen dan negara, termasuk perluasan kesempatan ekonomi dan akses terhadap kualitas serta perawatan kesehatan yang terjangkau.
Setelah serangan teroris 11 September 2001, Hillary menjadi advokat kuat untuk pendanaan pembangunan kembali di New York dan pemerhati masalah kesehatan para relawan yang mempertaruhkan hidup mereka yang bekerja di Ground Zero. Ia juga memperjuangkan misi militer Amerika Serikat dan berjuang untuk perawatan kesehatan yang lebih baik selain juga memperhatikan kebutuhan anggota pelayanan yang terluka, veteran dan anggota The National Guard and Reserves. Ia juga satu-satunya anggota Senat dari Transformasi Advisory Group pada Department of Defense's Joint Forces Command.
Pada tahun 2006, Hillary memenangkan kembali pemilihan di Senat, dan pada tahun 2007 ia memulai kampanye bersejarahnya untuk maju sebagai Presiden. Pada tahun 2008, ia berkampanye untuk pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Barack Obama dan Joe Biden, dan pada bulan November dia dicalonkan oleh Presiden Terpilih Barack Obama menjadi Sekretaris Negara.
Hillary R. Clinton adalah penulis buku terlaris, termasuk otobiografinya, Living History, dan buku inovatifnya tentang anak-anak, It Takes A Village.
Hillary yang terpilih sebagai Senator Amerika Serikat tahun 2000 menjadikannya sebagai First Lady Amerika pertama yang mengikuti pencalonan dalam jabatan publik. Dalam perlombaan pencalonan presiden pada tahun 2008, Hillary menang dengan perwakilan suara terunggul daripada kandidat perempuan manapun dalam sejarah Amerika, tetapi kalah tipis dari senator Barack Obama. Selain itu sebagai Sekretaris Negara, Hillary Clinton menjadi mantan First Lady pertama yang mengabdi dalam kabinet presiden.

Tantangan Hidup yang Dihadapi Hillary
Banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Hillary R. Clinton. Hal pertama yang bisa diamati adalah keputusan Hillary yang memilih untuk pindah ke Arkansas untuk mendukung karir politik Bill Clinton dan mengorbankan karirnya sendiri yang tengah bersinar. Ini bisa dikatakan sebagai konsekuensi dari mengikuti kata hatinya, karena ia sangat mencintai Bill. Tidak hanya itu, perannya kemudian sebagai First Lady of America membuat Hillary sangat terbatas melakukan aktivitas ataupun berkarir sesuai keinginannya seperti sebelumnya. Ia rela mengesampingkan cita-citanya, karirnya yang gemilang, demi mendukung profesi suaminya. Hal ini juga terjadi pada hampir setiap First lady di Amerika. Seperti juga Michelle Obama, Hillary, meskipun sudah memiliki karir yang sukses, yakni seorang pengacara, tetapi sebagai First Lady, ia memilih untuk membidangi urusan anak-anak atau keluarga, yang artinya tidak beranjak dari stereotype umum, bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurusi urusan keluarga dan anak, sementara laki-laki dianggap lebih kapabel untuk mengurusi persoalan politik.
Hal ini sebenarnya sudah menggambarkan bagaimana perempuan Amerika masih tersubordinasi, dan masih dianggap sebagai pelengkap kaum lelaki. Sebagai istri, seorang First Lady harus ikut pindah dan tinggal di Gedung Putih dan aktivitas yang sebelumnya dilakukan menjadi sangat terbatas dan terkontrol demi mendukung tugas dan karir suami. Dalam posisi yang paling tertinggi sekalipun, sebagai istri orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat, perempuan tetap saja tidak memiliki pilihan yang menguntungkan bagi dirinya, bagi pilihan karirnya sendiri. Dengan demikian, ada harga yang harus mereka pertaruhkan bahkan korbankan demi posisinya sebagai First Lady.
Tetapi pandangan ini segera ditepis oleh Hillary yang segera menjalani karir di bidang politik dan bahkan karirnya semakin meningkat setelah terlepas dari jabatan First lady of America.
Ada satu contoh menarik yang bisa dijadikan perbandingan. Maria Owings Shriver, First lady dari California yang bersuamikan Gubernur California Arnold Schwarzenegger awalnya juga memilih untuk mengorbankan karirnya demi mendukung suaminya setelah terpilih menjadi Gubernur California. Ia hengkang dari dunia jurnalisme pertelevisian khususnya dari NBC News di tahun 2004, dunia yang dicintainya dan karir yang telah dibangunnya selama seperempat abad, oleh karena telah berstatuskan First lady of California, selain juga berperan sebagai tenaga advokasi dalam kepemerintahan suaminya. Selain itu juga, alasannya hengkang adalah ia ingin menjaga agar tidak terjadi isu conflict of interest.
Tetapi kecintaannya yang besar terhadap dunia jurnalisme ternyata tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Ia secara tegas menyatakan bahwa ia perlu menjadi dirinya sendiri dan melakukan apa yang dia kehendaki dan tak harus mengorbankan karir ataupun kegiatan-kegiatan yang disenanginya demi mendukung kepemerintahan suaminya ataupun menjalani protokoler sebagai First Lady. Shriver kemudian semakin giat sebagai aktivis dan juga aktif dalam beberapa acara televisi, kemudian tahun 2007 ia kembali bekerja di dunia berita televisi pada CNN. Selain itu dia juga secara berani menyatakan mendukung Senator Barack Obama sebagai presiden setelah beberapa hari sebelumnya suaminya Arnold S. telah menyatakan dukungannya terhadap Senator John McCain.
Keadaan yang dijalani Shriver dalam beberapa hal bisa dibilang cukup berbeda dengan Hillary dalam hal jalan hidup yang dipilih. Hillary bertahan dalam berbagai kritik dan tentangan terhadap suaminya, bahkan membela. Sehingga Hillary juga kerap mendapat kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Hillary menuai banyak kritik, khususnya dari para feminist, terutama dalam kasus perselingkuhan suaminya yang diketahui publik dan Hillary melakukan pembelaan serta tidak membenarkan adanya tuduhan perselingkuhan suaminya tersebut. Hillary Clinton menunjukkan dukungan dan kekuatan karakternya, ketika gosip perselingkuhan mengguncang reputasi Bill Clinton yang saat itu sedang berkampanye untuk pemilihan Presiden AS pada 1993. Kekuatan karakter yang sama kemudian kembali ia tunjukkan saat kasus perselingkuhan dengan Monica Lewinsky yang membuat Clinton terancam kehilangan jabatannya sebagai Presiden. Adalah pidato Hillary yang menyatakan bahwa dirinya memaafkan Clinton yang akhirnya membuat publik Amerika "mengampuni" Presiden Amerika ke-42 itu. Sikap Hillary tersebut bagi sebagian feminist dianggap sebagai sikap yang tidak mewakili perempuan modern dan berpendidikan tinggi.
Tragedy, penyangkalan, skandal, kekuasaan adalah isu-isu yang dihadapi oleh Hillary. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hillary adalah sosok perempuan yang cerdas, ambisius, kuat, namun tabah menghadapi segala tantangan kehidupan. Terlepas dari semua itu, Hillary melakukan pilihan berdasarkan pertimbangannya sendiri, seperti dituliskan di dalam buku Hillary Rodham Clinton: Politician (Women of achievement) (Abrams, 2009) bahwa semua yang ia lakukan adalah berdasarkan “following her heart”.
Benar atau tidak keputusan yang diambilnya adalah jalan kehidupan yang dipilih untuk ditempuhnya sebagai suatu proses pengembangan diri. Hal tersebut bisa dikatakan tidak sia-sia. Ia mampu menjadi perempuan satu-satunya yang berhasil maju dalam pencalonan presiden, yang sangat sulit dilakukan di negara Amerika tersebut mengingat perempuan dalam banyak hal masih menjadi second class citizen meskipun di negara semaju Amerika Serikat sekalipun, sehingga tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh perempuan dalam hal berkarir jauh lebih besar dibanding laki-laki.
Sebagai public figure Hillary dicintai, dikagumi, tetapi juga dibenci oleh sebagian masyarakat Amerika. Tantangan dan permasalahan yang dihadapi di dalam kehidupannya membuat ia maju, menjadi perempuan yang kuat, mampu memiliki dan menggerakkan massa, suaranya didengar dan sosoknya diharapkan dapat memberikan kontribusi besar bagi perubahan dan perbaikan di segala bidang, khususnya mengenai isu perempuan dan hak asasi manusia.
Hillary, pada pemilihan presiden 2008 tidak sampai pada kursi kepresidenan AS, tetapi berhasil dipilih sebagai Sekretaris Negara. Hal ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa hebatnya bagi seorang perempuan dan mantan First lady di negara superpower Amerika Serikat.
Perjuangan dalam hidup, karir, dan keluarga, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, menggambarkan double standard dan double burden yang diemban sekaligus dijalani Hillary dalam statusnya sebagai perempuan yang berkarir. Sebagaimana yang dituliskan oleh Abrams (2009):
As Bill Clinton climbed the political
ladder, Hillary Clinton was with him every step of the way.
Constantly in the public eye, she has filled many roles: attorney,
wife, mother, activist, first lady of the United States,
political adviser, U.S. senator, and presidential candidate.
In 1988 and 1991, she was listed as one of the 100 most
influential lawyers in the United States. (p. 11)
Dengan demikian, Hillary pantaslah disebut sebagai icon, a powerful symbol of women’s achievement!

Kutipan Pidato Visisoner Hillary

In Her Own Words:
Hillary Clinton has long been a proponent of women’s rights
and the role of women in government. In delivering the keynote
address at the Vital Voices Conference held in Vienna, Austria, in
July 1997, she said:
“We are here to advance the cause of women and to
advance the cause of democracy and to make it absolutely
clear that the two are inseparable. There cannot be true
democracy unless women’s voices are heard. There cannot
be true democracy unless women are given the opportunity
to take responsibility for their own lives.” (2009: 12)
***

As Clinton says in the opening paragraph of her autobiography:
“I wasn’t born a first lady or a senator. I wasn’t born
a Democrat. I wasn’t born a lawyer or an advocate
for women’s rights and human rights. I wasn’t born
a wife or mother. I was born an American in the
middle of the twentieth century, a fortunate time
and place. I was free to make choices unavailable to
past generations of women in my own country and
inconceivable to many women in the world today.” (2009: 13)
***
Smart Power
“We must use what has been called “smart power”: the full range of tools at our disposal -- diplomatic, economic, military, political, legal, and cultural -- picking the right tool, or combination of tools, for each situation. With smart power, diplomacy will be the vanguard of foreign policy. This is not a radical idea. The ancient Roman poet Terence, who was born a slave and rose to become one of the great voices of his time, declared that “in every endeavor, the seemly course for wise men is to try persuasion first.” The same truth binds wise women as well.” (http://www.state.gov/secretary/)
***

"I don't quit. I keep going." –Hillary Rodham Clinton (2004)

***

NB: Tulisan ini disusun dengan fokus pembahasan pada sosok Hillary sebagai perempuan yang berkarir, dan tanpa mencapuradukkannya dengan keputusan-keputusan dalam kebijakan politis yang diambilnya.




Referensi

Abrams, Dennis, 2009, Hillary Rodham Clinton: Politician (Women of Achievement), New York: Chelsea House Publications.
Andersen, Christopher, 2004, American Evita: Hillary Clinton’s Path to Power, Harper Collins, Inc.
http://www.state.gov/secretary/ “Secretary of State Hillary Rodham Clinton”, accessed on 15 June, 2010
http://www.state.gov/r/pa/ei/biog/115321.htm Biography of Hillary Rodham Clinton: Secretary of State, accessed on 15 June, 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Maria_Shriver, accessed on 16 June, 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Hillary_Rodham_Clinton, accessed on 16 June, 2010
READ MORE - KEUNGGULAN PEREMPUAN

Jumat, 24 September 2010

Keluhuran Ilmu

Pikiran Hari Ini:
“ Kalau kamu ingin makan dalam 3 bulan maka tanamlah padi,, kalau kamu ingin makan 30 tahun maka tanamlah pohon jati /pohon kelapa,,tetapi kalau kamu mau makan 300 tahun lebih atau selamanya maka tanamlah ilmu /pendidikan “.
READ MORE - Keluhuran Ilmu

Kamis, 23 September 2010

Risalah Buku

Wajah Jasa Konstruksi Indonesia
Tinjauan Keberpihakan


Oleh Irwan Kartiwan, Kamajaya Al Katuuk, Hendra N. Soenardji,

SINOPSIS
Dunia jasa konstruksi Indonesia perlahan berjalan meninggalkan kemasyhuran martabatnya---sebuah kondisi yang tak sinergis dengan cita-cita untuk mengoptimalkan dirinya menjadi bagian dari subjek pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik, sebagai subjek pengantar menuju cita-cita kemerdekaan yang adil dan makmur.

Regulasi jasa konstruksi Indonesia yang sinergis dan membumi serta berwawasan makro---yang jiwa raganya mampu mengalirkan darah pemahaman ke setiap masyarakatnya secara adil---mungkin merupakan titik awal terciptanya ruh restorasi jasa konstruksi Indonesia.

Sejalan dengan potensi jasa konstruksi Indonesia yang demikian besar dan mengglobal, hendaklah relief-relief peri kehidupan jasa konstruksi Indonesia tetap hanya berukirkan dan bertuliskan tatahan-tatahan putra-putri terbaik bangsa ini. Hanya keberpihakan dan kebersamaan dari setiap pemegang saham yang bersubjek pada masyarakat jasa konstruksi itu sendiri---dengan bermuara pada satu identitas "Indonesiaku" dan yang terjabarkan dalam regulasi yang membumi dan iklim yang mempersatukan---kita akan memperoleh pijakan awal kemegahan kembali jasa konstruksi Indonesia dan menjadikannya "Subjek dalam Ruang publIk".


DETAILJudul Wajah Jasa Konstruksi Indonesia
ISBN / EAN 9789792262162 / 9789792262162
Author Irwan Kartiwan, Kamajaya Al Katuuk, Hendra N. Soenardji,
Publisher Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Publish 28 September 2010
Pages 120
Weight 96 gram
Dimension (mm) 150 x 230
Tag Arsitektur


Harga Rp116.100,-

Penerbit
Gramedia Pustaka Utama (GPU)

ISBN/EAN
9789792262162 / 9789792262162

Terbit
28 September 2010
READ MORE - Risalah Buku

Selasa, 07 September 2010

MEMBACA SUBSTANSI JASA KONSTRUKSI INDONESIA

FILOSOFI DAN HAKIKAT JASA KONSTRUKSI

Irwan Kartiwan (Gapeksindo)
Kamajaya Al katuuk (The Indit)
Henzoe (Wartawan)


Terpenuhinya kebutuhan terhadap konsumsi, konveksi dan konstruksi adalah keniscayaan peradaban. Manusia harus makan, serta mengenakan pakaian sebagai pelengkap kepatutan, seraya--nah ini yang paling penting dalam buku ini, manusia memerlukan tempat bernaung dan berlindung, serta tercakup di dalamnya ketersediaan sarana umum.
Perhatikan frase “bernaung dan berlindung” di atas. Sederhana dan jelas, bahwa kebutuhan terhadap kreasi konstruksi berkait erat dengan hakikat prasyarat; kenapa manusia bisa ada dan hidup. Manusia ada karena manusia menempati ruang yang melindunginya. Hal-hal tersebut itulah yang kita kenal sebagai tiga komponen dasar kebutuhan. Kebutuhan (i) makan dan (ii) make (pangan dan sandang) dua komponen yang melayani kebutuhan tubuh. Adapun tubuh dalam arti manusia hidup, hanya akan aman bila tersedia komponen ruang yang mengitarinya, (iii) antara lain yang mewujud rumah atau bangunan yang mewadahinya sebagai ruang aman.
Sehingga bagi makhluk manusia, sesederhana apapun bangunan pelindung hidup, entah gua, entah rumah pohon, atau pun gubuk, adalah kebutuhan instingtif, hajat dasar yang harus ada. Jadi manusia, seperti juga makhluk hidup lainnya membutuhkan sekuritas, keamanan dan kenyamanan ruang. Sudah dapat dipastikan bahwa asal muasal dari kebutuhan terhadap ketersediaan sekuritas untuk menghalau teror lingkungan--- entah yang datang dari makhluk lain ataupun keganasan alam, yang kita kenal sekarang ini adalah berakar dari kesadaran ruang konstruksi; tempat yang menjamin keselamatan.
Pada fase tersebut konstruksi bangunan pelindung berfungsi dasar. Inilah yang disebut ruangan, room dalam bahasa Inggeris. Dan saat ruangan tersebut bersifat pribadi maka sebutannya menjadi rumah, home dalam bahasa Inggeris. Sedangkan pada fase selanjutnya bangunan memunyai tujuan yang lebih dari sekadar tempat berlindung. Bangunan bertujuan sebagai artikulasi estetika kreatif. Kalau rumah maka bentuknya tidak hanya diperuntukan pada segi fungsinya untuk berlindung, melain kan juga untuk menunjukkan siapa yang membangun dan memilikinya. Jadi, dalam hal ini pembangun atau yang memesan bangunan tersebut mengartikulasikan cita rasanya melalui bangunan.
Maka, pada fase inilah bangunan berbicara ikhwal karakter, tingkat pemahaman dan penghayatan terhadap mengelola ruang dalam hidup. Dalam semangat dan kesadaran inilah Taj Mahal atau Menara Eifel dan Monas (monumen nasional) dibangun.
Sedangkan pada fase selanjutnya, yakni dalam semangat kebersamaan komunitas bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai fasilitas publik pun diwujudkan. Jembatan San Fransisco (?), Bendungan Jatiluhur, serta berbagai jembatan layang serta jalan tol diciptakan.
Jadi segenap bangunan entah didasarkan pada tujuan untuk perumahan ataupun fasilitas umum adalah perwujudan dari respon kreatif manusia terhadap kebutuhan dirinya sendiri, maupun di dalam mengelola lingkungannya. Itulah sebabnya di dalam kategori sosial para pembangun, yang dalam kosa kata kontemporer juga dikenal dengan sebutan pengembang memiliki posisi yang harus dan penting keberadaannya. Pada saat damai, jasa konstruksi dibutuhkan untuk membangun berbagai sarana dan prasarana kenyaman, sedangkan disaat perang jasa konstruksi, dibutuhkan untuk membangun benteng dan berbagai fasilitas keamanan. Itulah sebabnya wajarlah jika posisi para pengelola jasa konstruksi pun dianggap sebagai gunawan, orang terhormat bahkan terpuji dalam segala situasi.
Dalam dimensi akademis, secara operasional sebenarnya wilayah kerja jasa konstruksi, meliputi paling kurang 4 (empat) bidang :
1. Bidang Arsitektural, yang meliputi: Perumahan dan Permukiman, Gedung dan Pabrik, Pertamanan, serta Interior.
2. Bidang Sipil, yang meliputi: Drainase dan Jaringan Pengairan, Jalan, Jembatan, Landasan, dan Lokasi Pengeboran Darat, Jembatan Kereta Api, Bendung dan Bendungan, Bangunan Bawah Air, Dermaga, Penahan Gelombang dan Tanah (Break Water dan Retaining Wall, Reklamasi dan Pengerukan, Pembukaan Areal/permukiman, Pencatakan Sawah dan Pembukaan Lahan, Land Clearing, Penggalian/Penambangan, Konstruksi tambang dan pembangkit).
3. Bidang Mekanikal, yang meliputi: Instalasi tata Udara,AC dan Perlindung kebakaran, Instalasi Lift dan Eskalator, Instalasi Industri dan Pembangkit, Instalasi Termal dan bertekanan, Instalasi Minyak dan Geothermal, Konstruksi alat angkut dan fasilitas lepas pantai, konstruksi perpipaan minyak/gas/energi.
4. Bidang Tata Lingkungan, yang meliputi: Bangunan pengolahan air bersih dan air limbah, Reboisasi/Penghijauan, serta Pengeboran air tanah.
Dengan demikian sudah dapat diniscayakan bahwa elan jasa konstruksi di dalam kehidupan bersifat vital. Terutama jika standar kehidupan dikaitkan dengan acuan hidup moderen yang mengejar keamanan dan kenyaman (secure and comfort). Maka dapat ditarik simpulan bahwa bila sektor jasa konstruksi dituntut untuk mampu memfasilitasi kenyaman dan keamanan hidup, tentunya komunitas penyediaannya sendiri harus terjamin keamanan dan kenyamanannya.
Analognya, seperti ini: pengelola keuangan, seyogyanya cukup uang. Sehingga pengelola keamanan dan kenyaman, harus pula aman dan nyaman. Tetapi fakta ataukah sekadar fiksi keharusan realitas di penyedia jasa konstruksi tersebut? Pertanyaan tersebut akan menjadi ruh dari paparan wacana buku ini.

ROMANTISME POSISI SOSIAL
PROFESI JASA KONSTRUKSI INDONESIA

• Dari Bandar Kodok hingga Si Doel Tukang Insinyur

Untuk memahami posisi sosial pelaku di bidang jasa konstruksi di tanah air, ada dua ilustrasi fisional yang relevan untuk diberi ruang di bagian awal buku ini.
Pada kurun waktu zaman Belanda sampai dengan pertengahan Orde Baru di banyak kawasan Indonesia, seperti Jawa dan Sunda mengenal sebutan untuk profesi jasa konstruksi dengan istilah anemer. Kata tersebut adalah bentuk serapan dari bahasa Belanda “aamnemer”, kata kerja yang berarti “pemborong bangunan”. Tegasnya orang ahli yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian sebuah proyek fisik.
Uraian ini tidak akan melancong ke arah bahasan wacana linguistik, melainkan sekadar hendak menegaskan citra sosial seorang anemer di temngah-tengah masyarakat pra kemerdekaan sampai masa zaman pertengahan pembangunanisme (developmentalism), masa Orde Baru di negeri ini.
Alkisah diceritakanlah ada seorang yang menghebohkan masyarakat, karena konon kaya raya. Maka tidak mengherankan, betatapun rupa dan tongkrongannya dapat dikategorikan buruk, banyak juga perempuan yang kepincut dan mau dinikahinya pula. Sang konon kaya raya tersebut bernama Karnadi.
Sang konon tersebut, juga kaya raya konon lagi, karena mengaku sebagai anemer. Profesi yang membuat siapapun saat itu gemetar mendengarnya, dan takzim melihatnya. Pokoknya, anemer adalah kasta sosial terhormat nan pujaan dan sebagainya serta seterusnya yang berkonotasi: hebat!
Cerita Anemer Karnadi tersebut, ternyata adalah sinisme sosial yang pantas dijadikan acuan romantisme kalangan profesi Jasa Konstruksi di tanah air. Betapa tidak, dalam cerita yang di tataran komunitas Sunda dikenal dengan judul Karnadi Anemer Bangkong, atau kalau di-Indonesia-kan jadi “Karnadi Anemer Kodok” tersebut, berkisah ikhwal penipuan status sosial. Karnadi, sebenarnya adalah seorang penangkap kodok yang hidupnya senin-kemis. Tetapi kemudian mencuri identitas, yang pada seting cerita itu menempatkan jabatan jasa anemer sebagai kasta bangsawan dan kaya raya. Karnadi yang anemer-anemeran tersebut pastilah, sebagaimana kisah akal bulus lainnya, akhirnya ketahuan “kodok”-nya.
Sanksi sosial pun segera ditimpakan kepadanya. Kisah Anemer Kodok tersebut pada tahun 1930, sempat difilmkan—tentu waktu itu dalam format filem bisu, oleh sutradara Belanda G. Kruger berdasarkan novel Sunda karangan Yuhana dan Sukria. Yang segera sontak diprotes kalangan pribumi karena ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap publik pribumi. Tetapi sudah terlanjur kata anemer, telah tegas manjur untuk dijadikan alat sosial, untuk menggambarkan status orang yang berkedudukan tinggi.
Hal yang sama, yakni betapa mulyanya profesi pembangun tersebut, juga sempat dipopulerkan oleh Rano Karno, dalam serial opera sabun yang dijuduli Si Doel. Seri sinema elektronik tersebut merajai tontonan layar kaca Indonesia. Bahkan melahirkan serial yang beragam, seperti Si Doel Anak Betawi dan Si Doel Anak Sekolahan. Sajian sinisme kontemporer tersebut juga serupa: mengususng kehormatan tokoh Si Doel yang dianggap gemilang karena mampu lulus menjadi “insinyur”, yang sebutan lengkapnya di dalam karya layar kaca tersebut adalah “tukang insinyur”. Tukang yang bukan sembarang tukang. Insinyur setali-tiga uang dengan orang penting di masyarakat.
Rano Karno, yang memang berhasil memerankan tokoh tukang insinyur tersebut segera menerima sambutan sosial yang istimewa. Setelah mendapatkan penghargaan di dunia perfilemen, khususnya persinetronan, juga kemudian menempati posisi politis yang banyak diperebutkan orang, yaitu pejabat publik.
Anemer Kodok maupun Si Doel adalah jejak budaya yang mengindikasikan betapa besar dan bahkan istimewanya posisi sosial dan ekonomi sang anemer atau tukang insinyur. Tetapi sayangnya, citraan tersebut menjadi sekadar romantisisme. Belaka sekadar cerita zaman baheula. Kini tinggal kenangan.
Betapa tidak, walaupun substansi pentingnya anemer, atau pembangun dan pengembang yang berprofesi di bidang jasa kontruksi, tetapi posisi perannya kini penting untuk kita pertanyakan kembali. Apakah anemer sekarang masih berposisi sosial pe nting dan terhormat atau justru telah sungsang. Sumir dan menghadapi banyak kendala. Janganm-jangan para anemer sekarang walau berprofesi sebagai pembangun dan pengembang, dirinya sendiri sulit untuk terbangun dan terkembangkan.
Sebuah ironi karena pada saat yang sama dari segi akumulasi dana negara, “belanja” bangunan justru semakin besar.

TABEL ESTIMASI ASET PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI INDONESIA


Tabel di atas menjelaskan jumlah besaran aset dana sektor jasa konstruksi. Tetapi dana pembangunan konstruksi dan aset yang besar itu, apakah juga berkorelasi signifikan terhadap kesejahteraan lahir dan batin pelaku jasa konstruksi? Untuk menjawab pertanyaan itulah buku ini disajikan. Juga termasuk kaitannya dengan adanya tarikan globalisasi yang cenderung meratakan dunia , berdasarkan teknologi informasi yang semakin lesat, berbagai jasa layanan tidak akan lagi mengenal sekat administrasi negara. Pelayanan jasa di Amerika dan India dalam saat yang sama, walaupun waktu berbeda (di Amerika Malam dan di India siang), pekerjaan dapat diselesaikan secara bersama-sama.
Tentu, kecenderungan globalisasi tersebut juga, di dalam buku ini akan dilihat keterkaitannya dengan berbagai fakta empirik di lapangan Jasa Konstruksi Indonesia. Paling tidak akan diselisik bagaimana pemerintah memerlakukan pelaku dan masyarakat konstruksi dalam negeri dibanding dengan yang datang dari negeri manca di dalam mengerjakan proyek di tanah air. Serta berbagai aspek terkait lainnya.
Maka tidak ayal, berbagai regulasi tidak akan sekadar dibicarakan isinya, melainkan bagaimana penerapannya di lapangan jasa konstruksi. Beberapa stake holders Jasa Konstruksi, yang memunyai otoritas mengemukakan pendapat dan fakta yang terkait dengan pengorganisasian konsorsium dan asosiasi juga dijadikan acuan untuk menjelaskan berbagai fenomena yang menjelaskan seperti apa sebenarnya wajah konstruksi di bangsa yang sudah hampir seperempat abad memasukki era reformasi (sejak 1978-hingga kini).
Buku ini juga harus dijelaskan dari segi formula sajian. Betapapun berikhwal Jasa Konstruksi, tetapi tinjauan dan telaahannya akan lebih bersifat sosiologis dan manajerial. Walaupun, juga dengan catatan bahwa cara penyajiannya akan cenderung memilih gaya populer ketimbang teknis-teoretis.
Jadi, ini kabar baik bagi pembaca umum yang peduli terhadap Masyarakat Jasa Konstruksi di negeri ini. Selain itu, tentu pembaca khusus kalangan Jasa Konstruksi yang membutuhkan retorika sosial dan terbuka terhadap para penentu kebijakan publik dan negara baik eksekutif, maupun legislatif, serta yudikatif buku ini adalah telah betul bila ada di hadapan mata baca Anda. Buku ini adalah ditulis secara khusus pro masyarakat Jasa Konstruksi.

• Lingkungan Sektor Jasa Konstruksi

Sesuai dengan perkembangan zaman dan beragamnya kebutuhan “pembangunan” jasa konstruksi juga berkembang dan berdiversivikasi. Definisi jasa konstruksi menurut UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyebut, “Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Dari segi pendekatan proses, karenanya pekerjaan jasa konstruksi mencakup semua aspek dan tingkatan pembangunan.

• Lingkungan Kebijakan Masyarakat Jasa Konstruksi Indonesia

Masyarakat atau asosiasi jasa konstruksi di tanah air di dalam realitas keberadaanya dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama oleh lingkungan eksternal. Hal ini menyangkut kecenderungan global jasa konstruksi, situasi moneter, keamanan nasional, dinamika politik hingga ke regulasi yang dibuat pemerintah yang menyangkut jasa konstruksi.
Kedua adalah lingkungan internal masyarakat jasa konstruksi sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana kondisi yang dialami oleh masyarakat jasa konstruksi, baik secara sendiri-sendiri maupun jaringan keasosiasian. Dalam hal ini betapapun sepintas perlu asesmen terhadap pola rekrutmen. Dari mana saja datangnya masyarakat jasa konstruksi sekarang ini: produksi dari mana saja, serta kualifikasi pembinaan apa saja yang dijalankan oleh internal organisasi?
Pemahaman terhadap lingkungan kebijakan adalah cara bijak untuk memahami konstalasi posisional masyarakat jasa konstruksi. Peluang dan tantangan galibnya harus jelas. Sehingga analisis berikut rekomendasi yang disodorkan akan memiliki pijakan yang kokoh serta membumi.
Selebihnya pemahaman terhadap lingkungan kebijakan adalah keharusan argumentatif faktual bahwa masyarakat jasa konstruksi tidak berada di dalam sebuah ruang hampa, melainkan berada di dalam sebuah relasional yang kait mengait, berjejaring dan saling mempengaruhi. Kompleks serta saling menentukkan. Kompleksitas tersebut, sebaiknya tidak diseret ke arah pemahaman berkelit, seraya merumuskan sebagai sebuah kerumitan lingkaran setan yang tidak kunjung ada jalan ke luarnya.
Lingkungan kebijakan seyogyanya dipetakan sebagai sarana untuk pembelajaran yang sebenarnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jasa konstruksi baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan signifikansi sumbangsihnya.
Tegasnya buku ini segera mengingatkan siapapun agar menghindari kecenderungan cara menghadapi masalah yang selama ini acapkali terjadi, yakni gagal menjadikan pengalaman sebagai bahan pembelajaran (learning disability).
Maka inilah pentingnya kita mengawalkan pemahaman terhadap lingkungan eksternal tentang pengetahuan dan teknologi, kemudian ekonomi, politik dan sosial budaya.




• Lingkungan Pengetahuan dan teknologi

Memasuki abad ke-21 dinamika masyarakat mengalami perubahan yang khusus. Hasil dari perubahan tersebut dinamai oleh Peter Drucker dengan istilah masyarakat berpengetahuan (knowledge society), yang menegaskan bahwa di dalam masyarakat tersebut, pengetahuan menjadi faktor kunci penentu kompetisi. Hal yang lebih operasional dalam konteks organisasi ditegaskan oleh Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi. Mereka berdua mengatakan bahwa pengetahuan kreatif (creating knowledge) akan menjadi kunci pemertahanan dan pengembangan organisasi (competitive advantage) .
Secara lebih spesifik Unesco menyebutkan bahwa perkembangan teknologi telah mendorong masyarakat menjadi lebih membutuhkan pemahaman yang lebih terhadap pengetahuan, sehingga dirumuskan sekarang ini telah terjadi perubahan dari masyarakat terinformasi ke arah masyarakat berpengetahuan (from the information society to knowledge societies) . Di sini teknologi komunikasi dan informasi telah mengkreasi kondisi baru yang menghasilkan masyarakat-masyarakat berpengetahuan. Sehingga dengan demikian perkembangan masyarakat informasi yang global sekarang ini hanya dapat difahami raison d’ĂȘtre-nya bila dilihat dari semakin tingginya tuntutan terhadap berbagai kebutuhan dalam skala semesta.
Lingkungan kebijakan eksternal pengetahuan dan teknologi adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi. Sekarang ini siapa yang menguasai akses terhadap pengetahuan, baik dalam skala ilmu (science) maupun teknologi (technology) dan informasi (information), maka dialah yang akan menguasai pasar, terutama pasa jasa.
Itulah sebabnya masyarakat jasa konstruksi kita tingkat penguasaan pasar jasanya ditentukan oleh tingkat pengetahuan terhadap berbagai kebutuhan berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam konteks inilah pengetahuan atau dalam arti praktis operasional, pembelajaran semestinya dihayati. R.W. Revans, yang mewa¬canakan pembelajaran sebagai jantung pemertahanan organisasi. Dalam buku The Origins and Growth of Action Learning (1982), dia mengutarakan pentingnya pembelajaran dalam sebuah orga¬nisasi lewat rumusan hubungan dinamis antara L (Learning) dan C (Change) yang bersifat dan berpola korelasional signifikan.
Perhatikan gambar berikut yang mengilustrasikan bagaimana hubungan antara pembelajaran dengan perubahan dan pengembangan organisasi. Secara tegas digambarkan bahwa substansi keberadaan organisasi ditandai dan ditentukan oleh adanya pembelajaran:


Mendukung gambar tersebut, berikut adalah premis Revans:


Pertama, jika tempo L (pembelajaran) organisasi lebih kecil dari C (perubahan) lingkungan bisnis, organi¬sasi akan kehilangan kecocokan strategisnya (strategic fit) dan sumber daya intelektual organisasi akan mengalami kemunduran juga kemandulan.
Kedua, jika L sama dengan C, organisasi tersebut akan berada pada titik keseimban¬gan. Artinya, dapat berlari cukup kencang menandingi perubahan, ataupun akan berada pada titik ketidakseimbangan jika landasan pembelajaran dan pengembangan intelektual¬nya sedikit tertinggal dari kompetitor dan juga pelanggannya.
Ketiga, jika tempo L lebih besar dari C, organisasi itu akan berada pada posisi "selalu mampu tumbuh dan berbuah". Dan keadaan ini seharusnya menjadi tujuan utama organisasi masyarakat jasa konstruksi indonesia dalam menghadapi tuntutan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Antisipasi adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan agar masa depan dapat dikelola secara baik. Itulah sebabnya di dalam manajemen, strategi antisipasi diisyaratkan untuk menganalisis keadaan masa kini dan sebelumnya seraya melakukan berbagai tindakan persiapan dalam menyongsong masa depan. Dengan kata lain, antisipasi juga dapat dipahami sebagai manajemen pembekalan diri dalam menghadapi situasi atau keadaan saat yang akan datang . Beberapa pakar manajemen mengelompokkan kondisi antisipatif tersebut tidak terlepas dari situasi yang sifatnya transisional .
Pemaparan ikhwal pembelajaran tersebut adalah gambaran sekilas tetapi mendasar, untuk mengantarkan pertanyaan yang mengikhwal tentang sejauh mana masyarakat jasa konstruksi indonesia di dalam mengantisipasi tuntutan lingkungan pengetahuan.
Kabar tidak sedapnya di sektor konstruksi Indonesia adalah posisi kesiapannya yang masih bermasalah. Teruatama bila dilihat dari skema persaingan global. Perhatikan uraian ini:
Indonesia perlu menentukan pola pembinaan terhadap pengusaha dan pekerja di sektor jasa konstruksi. Jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih jelas, maka pengusaha jasa konstruksi nasional, termasuk tenaga kerja dari dalam negeri, akan tergusur. Apalagi dari 5,7 juta tenaga kerja di sektor jasa konstruksi, baru 3 persennya (baca dalam tanpa “ “) yang memiliki sertifikat kompetensi.
"Jumlah ini menjadi acuan penting bahwa tenaga kerja di sektor jasa konstruksi Indonesia belum siap untuk menghadapi persaingan global. Dikhawatirkan bukan hanya produk dan luar negeri yang akan merajai pasar dalam negeri, melainkan tenaga kerja asing juga akan menguasai proyek jasa konstruksi di dalam negeri," kata Kepala Badan Pembina Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Sumaryanto Widayatin .
Bila melihat kondisi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kontribusi sektor jasa konstruksi sebenarnya ada dalam keterancaman. Dan hal tersebut disebabkan karena realitas daya pengetahuan (teknologi) sebagai prasyarat bersaing yang dimiliki masih rendah.
Untuk melihat standar capaian faktual tersebut dapat kita ukur dati Total Factor Productivity (TFP) Indonesia. Dengan menggunakan penunjuk ukuran Total Factor Productivity (TFP) sebagai ukuran untuk mengetahui peran sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tercatat bahwa TFP pada tahun 2007 hanya sebesar 1,38 persen (Bank Indonesia, 2007). Artinya, sumber pertumbuhan ekonomi nasional masih didominasi oleh faktor kapital .
Dalam laporan tahunan Daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) tahun 2004 yang disusun oleh Institute for International Management Development (IIMD), peringkat Indonesia terus menurun sejak tahun 2000 dengan menggunakan perhitungan keempat faktor di atas.
Dari 60 negara di dunia yang dipakai perbandingan, Indonesia pada tahun 2006 menempati peringkat ke-54, menurun dibandingkan peringkat yang diperolehnya pada tahun 2000 yakni pada peringkat 43. Dibandingkan dengan negara ASEAN 5, seperti Malaysia yang pernah mengimport tenaga pendidik dari Indonesia pada tahun 70-an, peringkat negara ini berada pada ranking ke-16. Sedangkan Singapura, Thailand dan Filipina berada pada ranking 2, 23 dan 51.
Singkat kata, dengan menggunakan indikator tersebut di atas, perkembangan daya saing sains dan teknologi nasional selama ini belum menggembirakan.
Lingkungan faktual tersebut itulah yang harus dijawab. Kekurangan yang ada harus ditambah. Dan jalannya adalah pengetahuan dan teknologi. Sebab hanya pengetahuan dan teknologi yang memadailah yang akan memungkinan perubahan tuntutan menjadi suatu yang dapat dikelola dan bahkan dikendalikan. Melalui pengetahuan dan teknologi yang memadai pula berbagai strategi untuk menempatkan jasa konstruksi Indonesia mampu bersaing menjadi mungkin. Sebab pengetahuan dan teknologilah yang akan menjamin proses dan hasil pekerjaan akan ada dalam rumusan efektif dan efisien serta akurat. Serta memungkinkan inovasi yang menjadi tuntutan keunggulan kinerja jasa konstruksi dapat senantiasa ditemukan.

• Lingkungan Ekonomi

Untuk memahami seperti apa gambaran peruntukan pembangunan Jasa Konstruksi, yakni pembiayaan infra struktur di Indonesia perhatikan data berikut:



Ada pun jumlah tenaga kerja yang diserap oleh jasa konstruksi mencapai bilangan yang terbilang besar. Bertambah besarnya serapan tenaga kerja di sektor konstruksi adalah akibat dari bergesernya kecenderungan pembangunan, yang semula bersifat agraris, pertanian dan perkebunan kepada bertumbuhnya secara cepat sektor industri dan jasa.




PENYERAPAN TENAGA KERJA LANGSUNG


Lebih dari sekadar catatan ekonomi makro, ternyata lingkungan ekonomi di dalam mendukung jasa konstruksi nasional masih banyak yang harus dibenahi. Walaupun kemampuan teknis jasa konstruksi nasional potensial untuk berkembang, tetapi akses permodalan dan penjaminan masih lemah . Sementara fasilitas perbankan—berupa kredit investasi—sektor jasa konstruksi sangatlah tidak menarik. Kondisi lingkungan ekonomi yang demikian, jelasadalah fakta yang memerlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengelolanya. Sehingga daya dukung ekonomi jasa konstruksi, baik dalam skala penyerapan tenaga kerja maupun sumbangsihnya terhadap perekonomian bangsa semakin terukur ekspektasinya. Tidak sekadar dikeluhkan tetapi segera diketahui ada langkah-langkah solutif yang dijalankan.

• Lingkungan Politik, Sosial dan Budaya

Lingkungan politik yang berkaitan dengan jasa konstruksi adalah yang berikhwal antara lain apa dan bagaimana peran pemerintah di dalam mengintervensi dan memfasilitasi dukungan politik terhadap masyarakat jasa konstruksi. Dalam kaitan ini termasuk berbagai regulasi, dukungan kemudahan pendanaan modal serta pelibatan di dalam membangun networking baik di dalam negeri maupun di manca negara.
Termasuk di dalamnya, tentunya adalah fasilitasi pemerintah di dalam menjamin kelancaran hasil dan penanggungan beban bila terjadi permasalahan proyek. Sudah saatnya, didorong agar dukungan pemerintah tidak hanya diarahkan kepada proyek yang berhasil, tetapi juga melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaksanaan proyek yang bermasalah. Terutama bila disebabkan oleh faktor non-teknis, seperti yang disebabkan oleh alam.
Selain kesejahteraan buruh dan pekerja jasa konstruksi dukungan politik di dalam manajemen proyek juga menjadi bagian penting di dalam mengantisipasi pertanggungjawaban proyek terhadap eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sudah saatnya ditetapkan bahwa pelaku jasa konstruksi sudah cukup mempertanggung jawabkan pekerjaan kepada eksekutif saja, sebagai pihak “pemberi” pekerjaan. Terkecuali didatangkan untuk memberikan keterangan. Sesuai tidaknya pekerjaan, dokumen acuan ukurnya adalah bestek. Sehingga penilaian pekerjaan cukup dilakukan oleh eksekutif saja. Regulasi seperti ini akan memungkinkan terciptanya efektivitas dan efisiensi serta menyederhanakan mekanisme birokrasi proyek.
Beberapa realitas lingkungan politik yang dihadapi masyarakat jasa konstruksi adalah bermuara pada ukuran-ukuran good governance yang belum berjalan. Selain praktik KKN yang acap mengganggu pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi, koordinasi antar kementrian/instansi baik secara vertikal maupun horisontal belum juga terselenggara secara baik. Koordinasi di lembaga PU dan Departemen Perhubungan serta lembaga lain yang terkait belum sepenuhnya pro pelaksana jasa konstruksi.
Secara sosial-budaya di zaman baheula, profesi jasa konstruksi mulya adanya, tetapi kini seperti apa dan bagaimana. Sinyalemen bahwa dalam menjalani kariernya pelaku jasa konstruksi cenderung menjadi kasta kawula yang kadang lunta, tak selalu jelas apa yang dapat membuatnya mempunyai alasan untuk mengatakan profesi jasa konstruksi didukung oleh lingkungan kebijakan yang adil dan suportif. Bila peradaban dimaknai sebagai dinamika yang mengarah kepada kondisi yang semakin maju dan baik, maka menjadi pertanyaan mendasar yang memerlukan jawaban adalah “seperti apakah grafik pencapaian masyarakat jasa konstruksi indonesia, dari masa ke masa?”.
Dalam konteks tersebut itulah pula maka komitmen pemerintah perlu dipertanyakan dengan cara mengukur signifikansinya. Tetapi, lebih dari sekadar wacana analisis dan interpretasi yang diberikan juga harus diperuntukan bagi perbaikan masa depan jasa konstruksi yang solutif dan berkembang.
Inilah upaya objektif, yang di dalamnya juga analisis kesenjangan dibentangkan. Rumusan yang direncanakan, pelaksanaan, serta evaluasinya. Jadi tidak menggeletakkan masalah di tengah jalan. Kita harus menuntaskannya. Setelah sekarang seperti begini atau begitu, maka selanjutnya langkah progres apa yang segalibnya dilakukan sebagai skenario pilihan.
Pengalaman sendu yang di alami di lapangan pelaku jasa konstruksi seperti yang tertuang di dalam cerita berikut ini adalah sungguh menerenyuhkan. Betapa tidak bila pelaku jasa konstruksi mengajukan usulan perbaikan, jawaban seperti ini masih sering ditemukan: “Kalau mau senang jangan jadi pelaku jasa konstruksi!”.
Komunikasi seperti demikian, yang diterima pelaku jasa konstruksi, jelas tidak sehat. Karenanya jangan heran kalau perilaku kontraktor pelaksana, perencana serta pengawas secara luas mengidap pathology sosial-budaya. Bekerja dalam tekanan serta tentu jauh dari kepuasan. Pada saat dituntut untuk meningkatkan daya saing, justru pada saat yang sama job satisfaction, yang menjadi sarat utamanya tidak tergaransi. Maka patut dicamkan sindiran yang diungkap Malkan Amin yang memposisikan jasa konstruksi sebagai orang linglung. Tidak tahu mana utara mana selatan. Sehingga simpul cemoohnya, kalau mau untung dia harus tidak profesional. Sebab kalau menjalankan kualitas profesional akan digilas. Itulah sebabnya, kesegeraan terhadap adannya politik pemerintah yang memperjelas permainan di ranah sektor jasa konstruksi sudah sangat bersifat mendesak.
Target kemendesakkan tersebut harus dilihat dari kualitas manajemen pembangunan yang seharusnya. Pembangunan adalah sebuah proses dan sekaligus hasil yang antroposentris, berarah kepada kualitas manusia. Dalam kategori ini, pelaku jasa konstruksi sebagai pelaku pembangunan mendapatkan jaminan hidup, melalui pekerjaannya secara memadai. Membanggakan dan menyenangkan. Hal ini menjadi keniscayaan. Sebab hanya dengan cara tersebut itulah berbagai inovasi dan partisipasi dari pelaku jasa konstruksi dapat diharapkan terwujud. Sasaran pastinya adalah pelaku jasa konstruksi juga membawa mission sacra, yakni mengharumkan nama bangsa dengan cara menghasilkan reputasi internasional. Di negeri sendiri jaya, dan di manca negara juga dapat diterima. Sehingga globalisasi sepenuhnya jadi kendaraan peradaban dan bukan rintangan.*

Tulisan ini adalah Bab I dari Buku Wajah Jasa Konstruksi Indonesia, terbitan Gramedia. Terbit Oktober 2010.
READ MORE - MEMBACA SUBSTANSI JASA KONSTRUKSI INDONESIA

Selasa, 22 Desember 2009

MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI I

MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI BUDAYA DARI FILEM THE LAST SAMURAI
Oleh Kamajaya Al Katuuk


I. PENDAHULUAN
Filem The Last Samurai (TLS) adalah filem yang mengungkapkan kekayaan pergulatan budaya Jepang yang muwakil (representative). Dengan mengolah kekayaan budaya samurai, TLS menuturkan bagaimana Jepang berubah dan berkembang, sebagai salah satu negara terkecil geografisnya tetapi masuk di dalam negara-negara besar dunia bersejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Inggris, Perancis, dan Cina. Kunci dari keberhasilan Jepang ternyata ada di dalam budaya samurai.
Samurai adalah sebuah kata yang penuh makna di dalam sejarah dan budaya bangsa Jepang. Samurai sebagai sebuah etos karakter khas, dapat ditempatkan dalam perkembangan bangsa Jepang sebagai bangsa yang kecil tanah airnya tetapi pernah menjadi kekuatan imperialisme besar dunia bersejajar dengan Inggris, Belanda, Portugis, dan Prancis. Terma “samurai” berdampingan dengan “bushido” menjadi semacam “landmark” atau “brand-image” budaya Jepang dengan konotasi positif, seperti juga yang diterakan terhadap India (yang diteladankan Gandhi) yakni: “satyagraha”.
Di dalam sejarah dunia kekuatan kelas dunia Jepang juga tidak sekadar penting bagi supremasi Jepang, melainkan juga memengaruhi semangat persamaan kualitas eksistensial bangsa-bangsa kulit berwarna terhadap kulit putih. Hal tersebut terjadi saat Jepang mampu menaklukan pasukan sekutu.
Akar sejarah yang menyebabkan Jepang tampil seperti yang diketahui sekarang, umum semua peneliti merujuk pada sejarah agung Restorasi Meiji (yang juga dikenal orang Jepang dengan sebutan Meiji Ishin. Sejarah agung tersebut dimulai pada tahun 1868 dan dekade sesudahnya, bangsa Jepang telah membuktikan diri kepada dunia sebagai bangsa yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi maju yang dapat disejajarkan dengan Amerika dan negara maju lainnya. Hal yang terpenting dari restorasi ini adalah restorasi di bidang pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tradisional menjadi modern (saat itu dimulai dengan mengadopsi sistem Jerman), program wajib belajar, mengirim mahasiswa Jepang untuk belajar ke luar negeri (ke Prancis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor pendidikan secara drastis.
Semenjak Restorasi Meiji dikibarkan pemerintah Jepang terus menjalankan kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat.
Sebuah doktrin penting yang mengilhami restorasi Meiji dan menjadi pandangan hidup orang Jepang tentang pentingnya pendidikan, dirumuskan pertama kali oleh Fukuzawa Yukichi, bapak pendidikan Jepang yang hidup pada zaman Meiji. Menurut Fukuzawa dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi), kedudukan manusia dalam suatu negara harus ditentukan oleh status pendidikannya, bukan oleh nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai warisan. Walaupun ada catatan yang harus kita sadari bahwa strategi Fukuzawa juga harus dilihat tetap sebagai konsep yang ada di dalam konteks kejepangan; yang memiliki keluhuran etos yang sudah turun temurun dijadikan pegangan hidup nyata. Sehingga ketergantungan terhadap unsur luar, semata beraras pada dimensi kognitif belaka, di dalam hal ini modernism ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dimensi afektif dan prilaku tetap memanfaatkan kekayaan budaya yang telah ada. Pemikiran dan upaya yang luar biasa dari Fukuzawa dalam merestorasi pendidikan Jepang mendapatkan penghargan yang monumental, pemerintah Jepang hingga saat ini memberikan kehormatan tertinggi dengan menampilkan gambar Fukuzawa dalam nilai tertinggi dari mata uang Jepang, yakni sepuluh ribu yen.
Kemajuan bangsa Jepang terus bertambah sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan.
Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Tujuannya untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, bertujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.
Ketiga, setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.
Saat ini wajib belajar masih dijalankan dengan ketat dijepang dari SD sampai SMA, sehingga tidak heran hampir 100 persen penduduk Jepang tamat SMA dan hampir tidak ada yang buta huruf, artinya hampir 100 persen penduduk Jepang dapat membaca kanji yang jumlahnya sekitar 3000 kanji beserta kombinasi berikut cara bacanya.
Sebagian besar lulusan SMA di Jepang melanjutkan ke universitas atau sekolah kejuruan. Ada juga universitas terbuka istilahnya “Hosyo daigaku” yang perkuliahannya dilakukan melalui TV swasta khusus selama 18 jam nonstop setiap hari, dan materinya diberikan oleh profesor-profesor yang cukup terkenal diseluruh Jepang. Prosentase lulusan S-1 yang melanjutkan S-2 sangat besar, contohnya apa yang dilakukan oleh Osaka University, hampir 70 persen mahasiswa S-1 diuniversitas ini melanjutkan S-2, dan 10 persen ke S-3. Karena wajib belajar, uang sekolah dan fasilitas lainnya dari SD sampai SMP terutama untuk keluarga menengah ke bawah menjadi kewajiban negara .
Investasi yang ditanamkan Jepang untuk pendidikan sangat besar namun hasil yang diperolah dari investasi tersebut sangat signifikan, sebagaimana yang kita lihat tentang Jepang sekarang ini dengan GNP melebihi 34.000 USD (Indonesia 700 USD). Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Amerika, Inggris maupun Prancis.( http://mandaazzahra.wordpress.com/about/). Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001 (Republika, 03/05/02) menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan hasil penelitian UNDP tahun 2007-2008, dari 117 negara di dunia, jepang masuk ke urutan delapan besar dunia. Urutannya: 1.Iceland, 2.Norway, 3.Australia, 4.Canada, 5.Ireland, 6.Sweden, 7. Switzerland, 8.Japan. Sekadar tambahan pembanding Indonesia berada diurutan ke 107, di bawah Palestina, yang menempati urutan ke 106.
Melalui filem “The Last Samurai” (TLS) penonton disegarkan kembali ikhwal dasar etos dan filosofi yang khas dan unik tersebut, dengan mengandalkan cerita, sejarah serta kekuatan media audio-visual serta laga (acting) para pemerannya. Pembahasan di dalam buku ini, kita akan urut berdasarkan sistematika berikut: (i) unsur struktur: sinopsis, pemeran, sutradara serta produser; dan (ii) interpretasi semiotika (pemaparan makna dan fungsi kontekstualnya, termasuk pemahaman terhadap Jepang dan perbandingannya dengan Indonesia).
READ MORE - MEMAHAMI TELADAN MENGELOLA DILEMA TRANSISI I

Jumat, 21 Agustus 2009

Kemiskinan dan Kecacatan sebagai Oknum

Catatan dari pendampingan masyarakat kusta dan keluarga miskin di Manado
Kemiskinan berasal dari pertama turunan, karena orang tua miskin maka mereka jadi miskin. Kedua sikap hidup. Yang terakhir tersebut itulah yang parah. Delapan puluh persen klien menganggap atau menjadikan mereka miskin sebagai cara untuk hidup. Konstitusi mengatur fakir miskin sebagai tanggungjawab negara. Tetapi naasnya, oknum negara menjadikan kemiskinan sebagai proyek. Di satu sisi menacari keuntungan dari proyek kemiskinan, di sisi lain dan ini yang paling merusak, menjadikan komunitas sasaran proyek bukannya terberdayakan tetapi terjerat di dalam budaya miskin. Bagi yg berbudaya miskin, status miskin tidak lagi berkaitan dengan etika, moral dan terlebih masa depan. Bila mereka cacat maka mereka akan mengeksploitasi kecatatan. Bahkan ketika mereka mengutarakan banyaknya diskriminasi publik terhadap kondisi mereka, pada saat yang sama mereka juga mendiskriminasi diri sendiri dengan cara meminta perhatian khusus karena mereka cacat. Bila mereka membut suatu produk minta dibeli walau mutunya buruk.
Isu lain yang menonjol adalah modal usaha. Sembilan puluh lima persen klien menganggap bahwa kesulitan yg membuat mereka sukar untuk mandiri adalah modal. Tetapi setelah dilakukan konseling terbukti bahwa klien mengelola usahanya bukan sebagai usaha. Modal dan hasil usaha juga adalah modal biaya hidup. Setiap hari nombok.
Jalan keluarnya jelas harus berawal dari komitmen petugas pemerintah yg teguh thd komitmen klien sbg sasran pemberdayaan yang mandiri. Pihak perbankan, sdh saatnya mengadopsi metode Muhammad Yunus dalam memberantas kemiskinan di Negaranya Bangladesh. Aksi ekonomi paling revolusioner yang dilakukannya mendapat pengakuan dunia, dengan menyingkirkan Presiden SBY dalam meraih Nobel Perdamaian 2006 atas kesuksesannya dalam memberantas kemiskinan di Bangladesh lewat program kredit mikro.

Pada tahun 1976 Muhammad Yunus mentransformasikan lembaga kreditnya menjadi Bank Formal dengan aturan khusus bernama Grameen Bank (Bank Desa). Program ekonomi ini telah mendorong 42 persen peminjam ke atas garis kemiskinan. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2005 menyatakan, Bagladesh telah membuat kemajuan yang mengesankan dalam pengembangan manusia dengan berfokus pada tingkat melek huruf yang bertambah, memperoleh kesetaraan gender dalam sekolah dan mengurangi pertumbuhan penduduk.

Tentu untuk menghadapi masalah kemiskinan di daerah atau di indonesia terfokus pada kebutuhan perubahan paradigma baik pelaksana negara maupun subjek yang termiskinkan atau memiskinkan diri. Memang tidak perlu malu menyandang status miskin selama berniat untuk mengubah diri menjadi tidak miskin. Hanya jelas cerlang cemerlang strategi negara terutama politisi sudah saatnya tidak menjadikan kemiskinan sebagai kendaraan kepentingan sesaat. Dan pihak yang berkomitmen dan konsisten seperti Muhammad Yunus jelas Indonesia sangat perlu.

Kemiskinan dan kecacatan adalah oknum. Sesuatu yang bukan sejati pribadi melainkan benalu yang menghancurkan diri sendiri.**
READ MORE - Kemiskinan dan Kecacatan sebagai Oknum