FILOSOFI DAN HAKIKAT JASA KONSTRUKSI
Irwan Kartiwan (Gapeksindo)
Kamajaya Al katuuk (The Indit)
Henzoe (Wartawan)
Terpenuhinya kebutuhan terhadap konsumsi, konveksi dan konstruksi adalah keniscayaan peradaban. Manusia harus makan, serta mengenakan pakaian sebagai pelengkap kepatutan, seraya--nah ini yang paling penting dalam buku ini, manusia memerlukan tempat bernaung dan berlindung, serta tercakup di dalamnya ketersediaan sarana umum.
Perhatikan frase “bernaung dan berlindung” di atas. Sederhana dan jelas, bahwa kebutuhan terhadap kreasi konstruksi berkait erat dengan hakikat prasyarat; kenapa manusia bisa ada dan hidup. Manusia ada karena manusia menempati ruang yang melindunginya. Hal-hal tersebut itulah yang kita kenal sebagai tiga komponen dasar kebutuhan. Kebutuhan (i) makan dan (ii) make (pangan dan sandang) dua komponen yang melayani kebutuhan tubuh. Adapun tubuh dalam arti manusia hidup, hanya akan aman bila tersedia komponen ruang yang mengitarinya, (iii) antara lain yang mewujud rumah atau bangunan yang mewadahinya sebagai ruang aman.
Sehingga bagi makhluk manusia, sesederhana apapun bangunan pelindung hidup, entah gua, entah rumah pohon, atau pun gubuk, adalah kebutuhan instingtif, hajat dasar yang harus ada. Jadi manusia, seperti juga makhluk hidup lainnya membutuhkan sekuritas, keamanan dan kenyamanan ruang. Sudah dapat dipastikan bahwa asal muasal dari kebutuhan terhadap ketersediaan sekuritas untuk menghalau teror lingkungan--- entah yang datang dari makhluk lain ataupun keganasan alam, yang kita kenal sekarang ini adalah berakar dari kesadaran ruang konstruksi; tempat yang menjamin keselamatan.
Pada fase tersebut konstruksi bangunan pelindung berfungsi dasar. Inilah yang disebut ruangan, room dalam bahasa Inggeris. Dan saat ruangan tersebut bersifat pribadi maka sebutannya menjadi rumah, home dalam bahasa Inggeris. Sedangkan pada fase selanjutnya bangunan memunyai tujuan yang lebih dari sekadar tempat berlindung. Bangunan bertujuan sebagai artikulasi estetika kreatif. Kalau rumah maka bentuknya tidak hanya diperuntukan pada segi fungsinya untuk berlindung, melain kan juga untuk menunjukkan siapa yang membangun dan memilikinya. Jadi, dalam hal ini pembangun atau yang memesan bangunan tersebut mengartikulasikan cita rasanya melalui bangunan.
Maka, pada fase inilah bangunan berbicara ikhwal karakter, tingkat pemahaman dan penghayatan terhadap mengelola ruang dalam hidup. Dalam semangat dan kesadaran inilah Taj Mahal atau Menara Eifel dan Monas (monumen nasional) dibangun.
Sedangkan pada fase selanjutnya, yakni dalam semangat kebersamaan komunitas bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai fasilitas publik pun diwujudkan. Jembatan San Fransisco (?), Bendungan Jatiluhur, serta berbagai jembatan layang serta jalan tol diciptakan.
Jadi segenap bangunan entah didasarkan pada tujuan untuk perumahan ataupun fasilitas umum adalah perwujudan dari respon kreatif manusia terhadap kebutuhan dirinya sendiri, maupun di dalam mengelola lingkungannya. Itulah sebabnya di dalam kategori sosial para pembangun, yang dalam kosa kata kontemporer juga dikenal dengan sebutan pengembang memiliki posisi yang harus dan penting keberadaannya. Pada saat damai, jasa konstruksi dibutuhkan untuk membangun berbagai sarana dan prasarana kenyaman, sedangkan disaat perang jasa konstruksi, dibutuhkan untuk membangun benteng dan berbagai fasilitas keamanan. Itulah sebabnya wajarlah jika posisi para pengelola jasa konstruksi pun dianggap sebagai gunawan, orang terhormat bahkan terpuji dalam segala situasi.
Dalam dimensi akademis, secara operasional sebenarnya wilayah kerja jasa konstruksi, meliputi paling kurang 4 (empat) bidang :
1. Bidang Arsitektural, yang meliputi: Perumahan dan Permukiman, Gedung dan Pabrik, Pertamanan, serta Interior.
2. Bidang Sipil, yang meliputi: Drainase dan Jaringan Pengairan, Jalan, Jembatan, Landasan, dan Lokasi Pengeboran Darat, Jembatan Kereta Api, Bendung dan Bendungan, Bangunan Bawah Air, Dermaga, Penahan Gelombang dan Tanah (Break Water dan Retaining Wall, Reklamasi dan Pengerukan, Pembukaan Areal/permukiman, Pencatakan Sawah dan Pembukaan Lahan, Land Clearing, Penggalian/Penambangan, Konstruksi tambang dan pembangkit).
3. Bidang Mekanikal, yang meliputi: Instalasi tata Udara,AC dan Perlindung kebakaran, Instalasi Lift dan Eskalator, Instalasi Industri dan Pembangkit, Instalasi Termal dan bertekanan, Instalasi Minyak dan Geothermal, Konstruksi alat angkut dan fasilitas lepas pantai, konstruksi perpipaan minyak/gas/energi.
4. Bidang Tata Lingkungan, yang meliputi: Bangunan pengolahan air bersih dan air limbah, Reboisasi/Penghijauan, serta Pengeboran air tanah.
Dengan demikian sudah dapat diniscayakan bahwa elan jasa konstruksi di dalam kehidupan bersifat vital. Terutama jika standar kehidupan dikaitkan dengan acuan hidup moderen yang mengejar keamanan dan kenyaman (secure and comfort). Maka dapat ditarik simpulan bahwa bila sektor jasa konstruksi dituntut untuk mampu memfasilitasi kenyaman dan keamanan hidup, tentunya komunitas penyediaannya sendiri harus terjamin keamanan dan kenyamanannya.
Analognya, seperti ini: pengelola keuangan, seyogyanya cukup uang. Sehingga pengelola keamanan dan kenyaman, harus pula aman dan nyaman. Tetapi fakta ataukah sekadar fiksi keharusan realitas di penyedia jasa konstruksi tersebut? Pertanyaan tersebut akan menjadi ruh dari paparan wacana buku ini.
ROMANTISME POSISI SOSIAL
PROFESI JASA KONSTRUKSI INDONESIA
• Dari Bandar Kodok hingga Si Doel Tukang Insinyur
Untuk memahami posisi sosial pelaku di bidang jasa konstruksi di tanah air, ada dua ilustrasi fisional yang relevan untuk diberi ruang di bagian awal buku ini.
Pada kurun waktu zaman Belanda sampai dengan pertengahan Orde Baru di banyak kawasan Indonesia, seperti Jawa dan Sunda mengenal sebutan untuk profesi jasa konstruksi dengan istilah anemer. Kata tersebut adalah bentuk serapan dari bahasa Belanda “aamnemer”, kata kerja yang berarti “pemborong bangunan”. Tegasnya orang ahli yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian sebuah proyek fisik.
Uraian ini tidak akan melancong ke arah bahasan wacana linguistik, melainkan sekadar hendak menegaskan citra sosial seorang anemer di temngah-tengah masyarakat pra kemerdekaan sampai masa zaman pertengahan pembangunanisme (developmentalism), masa Orde Baru di negeri ini.
Alkisah diceritakanlah ada seorang yang menghebohkan masyarakat, karena konon kaya raya. Maka tidak mengherankan, betatapun rupa dan tongkrongannya dapat dikategorikan buruk, banyak juga perempuan yang kepincut dan mau dinikahinya pula. Sang konon kaya raya tersebut bernama Karnadi.
Sang konon tersebut, juga kaya raya konon lagi, karena mengaku sebagai anemer. Profesi yang membuat siapapun saat itu gemetar mendengarnya, dan takzim melihatnya. Pokoknya, anemer adalah kasta sosial terhormat nan pujaan dan sebagainya serta seterusnya yang berkonotasi: hebat!
Cerita Anemer Karnadi tersebut, ternyata adalah sinisme sosial yang pantas dijadikan acuan romantisme kalangan profesi Jasa Konstruksi di tanah air. Betapa tidak, dalam cerita yang di tataran komunitas Sunda dikenal dengan judul Karnadi Anemer Bangkong, atau kalau di-Indonesia-kan jadi “Karnadi Anemer Kodok” tersebut, berkisah ikhwal penipuan status sosial. Karnadi, sebenarnya adalah seorang penangkap kodok yang hidupnya senin-kemis. Tetapi kemudian mencuri identitas, yang pada seting cerita itu menempatkan jabatan jasa anemer sebagai kasta bangsawan dan kaya raya. Karnadi yang anemer-anemeran tersebut pastilah, sebagaimana kisah akal bulus lainnya, akhirnya ketahuan “kodok”-nya.
Sanksi sosial pun segera ditimpakan kepadanya. Kisah Anemer Kodok tersebut pada tahun 1930, sempat difilmkan—tentu waktu itu dalam format filem bisu, oleh sutradara Belanda G. Kruger berdasarkan novel Sunda karangan Yuhana dan Sukria. Yang segera sontak diprotes kalangan pribumi karena ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap publik pribumi. Tetapi sudah terlanjur kata anemer, telah tegas manjur untuk dijadikan alat sosial, untuk menggambarkan status orang yang berkedudukan tinggi.
Hal yang sama, yakni betapa mulyanya profesi pembangun tersebut, juga sempat dipopulerkan oleh Rano Karno, dalam serial opera sabun yang dijuduli Si Doel. Seri sinema elektronik tersebut merajai tontonan layar kaca Indonesia. Bahkan melahirkan serial yang beragam, seperti Si Doel Anak Betawi dan Si Doel Anak Sekolahan. Sajian sinisme kontemporer tersebut juga serupa: mengususng kehormatan tokoh Si Doel yang dianggap gemilang karena mampu lulus menjadi “insinyur”, yang sebutan lengkapnya di dalam karya layar kaca tersebut adalah “tukang insinyur”. Tukang yang bukan sembarang tukang. Insinyur setali-tiga uang dengan orang penting di masyarakat.
Rano Karno, yang memang berhasil memerankan tokoh tukang insinyur tersebut segera menerima sambutan sosial yang istimewa. Setelah mendapatkan penghargaan di dunia perfilemen, khususnya persinetronan, juga kemudian menempati posisi politis yang banyak diperebutkan orang, yaitu pejabat publik.
Anemer Kodok maupun Si Doel adalah jejak budaya yang mengindikasikan betapa besar dan bahkan istimewanya posisi sosial dan ekonomi sang anemer atau tukang insinyur. Tetapi sayangnya, citraan tersebut menjadi sekadar romantisisme. Belaka sekadar cerita zaman baheula. Kini tinggal kenangan.
Betapa tidak, walaupun substansi pentingnya anemer, atau pembangun dan pengembang yang berprofesi di bidang jasa kontruksi, tetapi posisi perannya kini penting untuk kita pertanyakan kembali. Apakah anemer sekarang masih berposisi sosial pe nting dan terhormat atau justru telah sungsang. Sumir dan menghadapi banyak kendala. Janganm-jangan para anemer sekarang walau berprofesi sebagai pembangun dan pengembang, dirinya sendiri sulit untuk terbangun dan terkembangkan.
Sebuah ironi karena pada saat yang sama dari segi akumulasi dana negara, “belanja” bangunan justru semakin besar.
TABEL ESTIMASI ASET PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI INDONESIA
Tabel di atas menjelaskan jumlah besaran aset dana sektor jasa konstruksi. Tetapi dana pembangunan konstruksi dan aset yang besar itu, apakah juga berkorelasi signifikan terhadap kesejahteraan lahir dan batin pelaku jasa konstruksi? Untuk menjawab pertanyaan itulah buku ini disajikan. Juga termasuk kaitannya dengan adanya tarikan globalisasi yang cenderung meratakan dunia , berdasarkan teknologi informasi yang semakin lesat, berbagai jasa layanan tidak akan lagi mengenal sekat administrasi negara. Pelayanan jasa di Amerika dan India dalam saat yang sama, walaupun waktu berbeda (di Amerika Malam dan di India siang), pekerjaan dapat diselesaikan secara bersama-sama.
Tentu, kecenderungan globalisasi tersebut juga, di dalam buku ini akan dilihat keterkaitannya dengan berbagai fakta empirik di lapangan Jasa Konstruksi Indonesia. Paling tidak akan diselisik bagaimana pemerintah memerlakukan pelaku dan masyarakat konstruksi dalam negeri dibanding dengan yang datang dari negeri manca di dalam mengerjakan proyek di tanah air. Serta berbagai aspek terkait lainnya.
Maka tidak ayal, berbagai regulasi tidak akan sekadar dibicarakan isinya, melainkan bagaimana penerapannya di lapangan jasa konstruksi. Beberapa stake holders Jasa Konstruksi, yang memunyai otoritas mengemukakan pendapat dan fakta yang terkait dengan pengorganisasian konsorsium dan asosiasi juga dijadikan acuan untuk menjelaskan berbagai fenomena yang menjelaskan seperti apa sebenarnya wajah konstruksi di bangsa yang sudah hampir seperempat abad memasukki era reformasi (sejak 1978-hingga kini).
Buku ini juga harus dijelaskan dari segi formula sajian. Betapapun berikhwal Jasa Konstruksi, tetapi tinjauan dan telaahannya akan lebih bersifat sosiologis dan manajerial. Walaupun, juga dengan catatan bahwa cara penyajiannya akan cenderung memilih gaya populer ketimbang teknis-teoretis.
Jadi, ini kabar baik bagi pembaca umum yang peduli terhadap Masyarakat Jasa Konstruksi di negeri ini. Selain itu, tentu pembaca khusus kalangan Jasa Konstruksi yang membutuhkan retorika sosial dan terbuka terhadap para penentu kebijakan publik dan negara baik eksekutif, maupun legislatif, serta yudikatif buku ini adalah telah betul bila ada di hadapan mata baca Anda. Buku ini adalah ditulis secara khusus pro masyarakat Jasa Konstruksi.
• Lingkungan Sektor Jasa Konstruksi
Sesuai dengan perkembangan zaman dan beragamnya kebutuhan “pembangunan” jasa konstruksi juga berkembang dan berdiversivikasi. Definisi jasa konstruksi menurut UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyebut, “Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Dari segi pendekatan proses, karenanya pekerjaan jasa konstruksi mencakup semua aspek dan tingkatan pembangunan.
• Lingkungan Kebijakan Masyarakat Jasa Konstruksi Indonesia
Masyarakat atau asosiasi jasa konstruksi di tanah air di dalam realitas keberadaanya dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama oleh lingkungan eksternal. Hal ini menyangkut kecenderungan global jasa konstruksi, situasi moneter, keamanan nasional, dinamika politik hingga ke regulasi yang dibuat pemerintah yang menyangkut jasa konstruksi.
Kedua adalah lingkungan internal masyarakat jasa konstruksi sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana kondisi yang dialami oleh masyarakat jasa konstruksi, baik secara sendiri-sendiri maupun jaringan keasosiasian. Dalam hal ini betapapun sepintas perlu asesmen terhadap pola rekrutmen. Dari mana saja datangnya masyarakat jasa konstruksi sekarang ini: produksi dari mana saja, serta kualifikasi pembinaan apa saja yang dijalankan oleh internal organisasi?
Pemahaman terhadap lingkungan kebijakan adalah cara bijak untuk memahami konstalasi posisional masyarakat jasa konstruksi. Peluang dan tantangan galibnya harus jelas. Sehingga analisis berikut rekomendasi yang disodorkan akan memiliki pijakan yang kokoh serta membumi.
Selebihnya pemahaman terhadap lingkungan kebijakan adalah keharusan argumentatif faktual bahwa masyarakat jasa konstruksi tidak berada di dalam sebuah ruang hampa, melainkan berada di dalam sebuah relasional yang kait mengait, berjejaring dan saling mempengaruhi. Kompleks serta saling menentukkan. Kompleksitas tersebut, sebaiknya tidak diseret ke arah pemahaman berkelit, seraya merumuskan sebagai sebuah kerumitan lingkaran setan yang tidak kunjung ada jalan ke luarnya.
Lingkungan kebijakan seyogyanya dipetakan sebagai sarana untuk pembelajaran yang sebenarnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jasa konstruksi baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan signifikansi sumbangsihnya.
Tegasnya buku ini segera mengingatkan siapapun agar menghindari kecenderungan cara menghadapi masalah yang selama ini acapkali terjadi, yakni gagal menjadikan pengalaman sebagai bahan pembelajaran (learning disability).
Maka inilah pentingnya kita mengawalkan pemahaman terhadap lingkungan eksternal tentang pengetahuan dan teknologi, kemudian ekonomi, politik dan sosial budaya.
• Lingkungan Pengetahuan dan teknologi
Memasuki abad ke-21 dinamika masyarakat mengalami perubahan yang khusus. Hasil dari perubahan tersebut dinamai oleh Peter Drucker dengan istilah masyarakat berpengetahuan (knowledge society), yang menegaskan bahwa di dalam masyarakat tersebut, pengetahuan menjadi faktor kunci penentu kompetisi. Hal yang lebih operasional dalam konteks organisasi ditegaskan oleh Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi. Mereka berdua mengatakan bahwa pengetahuan kreatif (creating knowledge) akan menjadi kunci pemertahanan dan pengembangan organisasi (competitive advantage) .
Secara lebih spesifik Unesco menyebutkan bahwa perkembangan teknologi telah mendorong masyarakat menjadi lebih membutuhkan pemahaman yang lebih terhadap pengetahuan, sehingga dirumuskan sekarang ini telah terjadi perubahan dari masyarakat terinformasi ke arah masyarakat berpengetahuan (from the information society to knowledge societies) . Di sini teknologi komunikasi dan informasi telah mengkreasi kondisi baru yang menghasilkan masyarakat-masyarakat berpengetahuan. Sehingga dengan demikian perkembangan masyarakat informasi yang global sekarang ini hanya dapat difahami raison d’ĂȘtre-nya bila dilihat dari semakin tingginya tuntutan terhadap berbagai kebutuhan dalam skala semesta.
Lingkungan kebijakan eksternal pengetahuan dan teknologi adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi. Sekarang ini siapa yang menguasai akses terhadap pengetahuan, baik dalam skala ilmu (science) maupun teknologi (technology) dan informasi (information), maka dialah yang akan menguasai pasar, terutama pasa jasa.
Itulah sebabnya masyarakat jasa konstruksi kita tingkat penguasaan pasar jasanya ditentukan oleh tingkat pengetahuan terhadap berbagai kebutuhan berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam konteks inilah pengetahuan atau dalam arti praktis operasional, pembelajaran semestinya dihayati. R.W. Revans, yang mewa¬canakan pembelajaran sebagai jantung pemertahanan organisasi. Dalam buku The Origins and Growth of Action Learning (1982), dia mengutarakan pentingnya pembelajaran dalam sebuah orga¬nisasi lewat rumusan hubungan dinamis antara L (Learning) dan C (Change) yang bersifat dan berpola korelasional signifikan.
Perhatikan gambar berikut yang mengilustrasikan bagaimana hubungan antara pembelajaran dengan perubahan dan pengembangan organisasi. Secara tegas digambarkan bahwa substansi keberadaan organisasi ditandai dan ditentukan oleh adanya pembelajaran:
Mendukung gambar tersebut, berikut adalah premis Revans:
Pertama, jika tempo L (pembelajaran) organisasi lebih kecil dari C (perubahan) lingkungan bisnis, organi¬sasi akan kehilangan kecocokan strategisnya (strategic fit) dan sumber daya intelektual organisasi akan mengalami kemunduran juga kemandulan.
Kedua, jika L sama dengan C, organisasi tersebut akan berada pada titik keseimban¬gan. Artinya, dapat berlari cukup kencang menandingi perubahan, ataupun akan berada pada titik ketidakseimbangan jika landasan pembelajaran dan pengembangan intelektual¬nya sedikit tertinggal dari kompetitor dan juga pelanggannya.
Ketiga, jika tempo L lebih besar dari C, organisasi itu akan berada pada posisi "selalu mampu tumbuh dan berbuah". Dan keadaan ini seharusnya menjadi tujuan utama organisasi masyarakat jasa konstruksi indonesia dalam menghadapi tuntutan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Antisipasi adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan agar masa depan dapat dikelola secara baik. Itulah sebabnya di dalam manajemen, strategi antisipasi diisyaratkan untuk menganalisis keadaan masa kini dan sebelumnya seraya melakukan berbagai tindakan persiapan dalam menyongsong masa depan. Dengan kata lain, antisipasi juga dapat dipahami sebagai manajemen pembekalan diri dalam menghadapi situasi atau keadaan saat yang akan datang . Beberapa pakar manajemen mengelompokkan kondisi antisipatif tersebut tidak terlepas dari situasi yang sifatnya transisional .
Pemaparan ikhwal pembelajaran tersebut adalah gambaran sekilas tetapi mendasar, untuk mengantarkan pertanyaan yang mengikhwal tentang sejauh mana masyarakat jasa konstruksi indonesia di dalam mengantisipasi tuntutan lingkungan pengetahuan.
Kabar tidak sedapnya di sektor konstruksi Indonesia adalah posisi kesiapannya yang masih bermasalah. Teruatama bila dilihat dari skema persaingan global. Perhatikan uraian ini:
Indonesia perlu menentukan pola pembinaan terhadap pengusaha dan pekerja di sektor jasa konstruksi. Jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih jelas, maka pengusaha jasa konstruksi nasional, termasuk tenaga kerja dari dalam negeri, akan tergusur. Apalagi dari 5,7 juta tenaga kerja di sektor jasa konstruksi, baru 3 persennya (baca dalam tanpa “ “) yang memiliki sertifikat kompetensi.
"Jumlah ini menjadi acuan penting bahwa tenaga kerja di sektor jasa konstruksi Indonesia belum siap untuk menghadapi persaingan global. Dikhawatirkan bukan hanya produk dan luar negeri yang akan merajai pasar dalam negeri, melainkan tenaga kerja asing juga akan menguasai proyek jasa konstruksi di dalam negeri," kata Kepala Badan Pembina Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Sumaryanto Widayatin .
Bila melihat kondisi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kontribusi sektor jasa konstruksi sebenarnya ada dalam keterancaman. Dan hal tersebut disebabkan karena realitas daya pengetahuan (teknologi) sebagai prasyarat bersaing yang dimiliki masih rendah.
Untuk melihat standar capaian faktual tersebut dapat kita ukur dati Total Factor Productivity (TFP) Indonesia. Dengan menggunakan penunjuk ukuran Total Factor Productivity (TFP) sebagai ukuran untuk mengetahui peran sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tercatat bahwa TFP pada tahun 2007 hanya sebesar 1,38 persen (Bank Indonesia, 2007). Artinya, sumber pertumbuhan ekonomi nasional masih didominasi oleh faktor kapital .
Dalam laporan tahunan Daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) tahun 2004 yang disusun oleh Institute for International Management Development (IIMD), peringkat Indonesia terus menurun sejak tahun 2000 dengan menggunakan perhitungan keempat faktor di atas.
Dari 60 negara di dunia yang dipakai perbandingan, Indonesia pada tahun 2006 menempati peringkat ke-54, menurun dibandingkan peringkat yang diperolehnya pada tahun 2000 yakni pada peringkat 43. Dibandingkan dengan negara ASEAN 5, seperti Malaysia yang pernah mengimport tenaga pendidik dari Indonesia pada tahun 70-an, peringkat negara ini berada pada ranking ke-16. Sedangkan Singapura, Thailand dan Filipina berada pada ranking 2, 23 dan 51.
Singkat kata, dengan menggunakan indikator tersebut di atas, perkembangan daya saing sains dan teknologi nasional selama ini belum menggembirakan.
Lingkungan faktual tersebut itulah yang harus dijawab. Kekurangan yang ada harus ditambah. Dan jalannya adalah pengetahuan dan teknologi. Sebab hanya pengetahuan dan teknologi yang memadailah yang akan memungkinan perubahan tuntutan menjadi suatu yang dapat dikelola dan bahkan dikendalikan. Melalui pengetahuan dan teknologi yang memadai pula berbagai strategi untuk menempatkan jasa konstruksi Indonesia mampu bersaing menjadi mungkin. Sebab pengetahuan dan teknologilah yang akan menjamin proses dan hasil pekerjaan akan ada dalam rumusan efektif dan efisien serta akurat. Serta memungkinkan inovasi yang menjadi tuntutan keunggulan kinerja jasa konstruksi dapat senantiasa ditemukan.
• Lingkungan Ekonomi
Untuk memahami seperti apa gambaran peruntukan pembangunan Jasa Konstruksi, yakni pembiayaan infra struktur di Indonesia perhatikan data berikut:
Ada pun jumlah tenaga kerja yang diserap oleh jasa konstruksi mencapai bilangan yang terbilang besar. Bertambah besarnya serapan tenaga kerja di sektor konstruksi adalah akibat dari bergesernya kecenderungan pembangunan, yang semula bersifat agraris, pertanian dan perkebunan kepada bertumbuhnya secara cepat sektor industri dan jasa.
PENYERAPAN TENAGA KERJA LANGSUNG
Lebih dari sekadar catatan ekonomi makro, ternyata lingkungan ekonomi di dalam mendukung jasa konstruksi nasional masih banyak yang harus dibenahi. Walaupun kemampuan teknis jasa konstruksi nasional potensial untuk berkembang, tetapi akses permodalan dan penjaminan masih lemah . Sementara fasilitas perbankan—berupa kredit investasi—sektor jasa konstruksi sangatlah tidak menarik. Kondisi lingkungan ekonomi yang demikian, jelasadalah fakta yang memerlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengelolanya. Sehingga daya dukung ekonomi jasa konstruksi, baik dalam skala penyerapan tenaga kerja maupun sumbangsihnya terhadap perekonomian bangsa semakin terukur ekspektasinya. Tidak sekadar dikeluhkan tetapi segera diketahui ada langkah-langkah solutif yang dijalankan.
• Lingkungan Politik, Sosial dan Budaya
Lingkungan politik yang berkaitan dengan jasa konstruksi adalah yang berikhwal antara lain apa dan bagaimana peran pemerintah di dalam mengintervensi dan memfasilitasi dukungan politik terhadap masyarakat jasa konstruksi. Dalam kaitan ini termasuk berbagai regulasi, dukungan kemudahan pendanaan modal serta pelibatan di dalam membangun networking baik di dalam negeri maupun di manca negara.
Termasuk di dalamnya, tentunya adalah fasilitasi pemerintah di dalam menjamin kelancaran hasil dan penanggungan beban bila terjadi permasalahan proyek. Sudah saatnya, didorong agar dukungan pemerintah tidak hanya diarahkan kepada proyek yang berhasil, tetapi juga melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaksanaan proyek yang bermasalah. Terutama bila disebabkan oleh faktor non-teknis, seperti yang disebabkan oleh alam.
Selain kesejahteraan buruh dan pekerja jasa konstruksi dukungan politik di dalam manajemen proyek juga menjadi bagian penting di dalam mengantisipasi pertanggungjawaban proyek terhadap eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sudah saatnya ditetapkan bahwa pelaku jasa konstruksi sudah cukup mempertanggung jawabkan pekerjaan kepada eksekutif saja, sebagai pihak “pemberi” pekerjaan. Terkecuali didatangkan untuk memberikan keterangan. Sesuai tidaknya pekerjaan, dokumen acuan ukurnya adalah bestek. Sehingga penilaian pekerjaan cukup dilakukan oleh eksekutif saja. Regulasi seperti ini akan memungkinkan terciptanya efektivitas dan efisiensi serta menyederhanakan mekanisme birokrasi proyek.
Beberapa realitas lingkungan politik yang dihadapi masyarakat jasa konstruksi adalah bermuara pada ukuran-ukuran good governance yang belum berjalan. Selain praktik KKN yang acap mengganggu pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi, koordinasi antar kementrian/instansi baik secara vertikal maupun horisontal belum juga terselenggara secara baik. Koordinasi di lembaga PU dan Departemen Perhubungan serta lembaga lain yang terkait belum sepenuhnya pro pelaksana jasa konstruksi.
Secara sosial-budaya di zaman baheula, profesi jasa konstruksi mulya adanya, tetapi kini seperti apa dan bagaimana. Sinyalemen bahwa dalam menjalani kariernya pelaku jasa konstruksi cenderung menjadi kasta kawula yang kadang lunta, tak selalu jelas apa yang dapat membuatnya mempunyai alasan untuk mengatakan profesi jasa konstruksi didukung oleh lingkungan kebijakan yang adil dan suportif. Bila peradaban dimaknai sebagai dinamika yang mengarah kepada kondisi yang semakin maju dan baik, maka menjadi pertanyaan mendasar yang memerlukan jawaban adalah “seperti apakah grafik pencapaian masyarakat jasa konstruksi indonesia, dari masa ke masa?”.
Dalam konteks tersebut itulah pula maka komitmen pemerintah perlu dipertanyakan dengan cara mengukur signifikansinya. Tetapi, lebih dari sekadar wacana analisis dan interpretasi yang diberikan juga harus diperuntukan bagi perbaikan masa depan jasa konstruksi yang solutif dan berkembang.
Inilah upaya objektif, yang di dalamnya juga analisis kesenjangan dibentangkan. Rumusan yang direncanakan, pelaksanaan, serta evaluasinya. Jadi tidak menggeletakkan masalah di tengah jalan. Kita harus menuntaskannya. Setelah sekarang seperti begini atau begitu, maka selanjutnya langkah progres apa yang segalibnya dilakukan sebagai skenario pilihan.
Pengalaman sendu yang di alami di lapangan pelaku jasa konstruksi seperti yang tertuang di dalam cerita berikut ini adalah sungguh menerenyuhkan. Betapa tidak bila pelaku jasa konstruksi mengajukan usulan perbaikan, jawaban seperti ini masih sering ditemukan: “Kalau mau senang jangan jadi pelaku jasa konstruksi!”.
Komunikasi seperti demikian, yang diterima pelaku jasa konstruksi, jelas tidak sehat. Karenanya jangan heran kalau perilaku kontraktor pelaksana, perencana serta pengawas secara luas mengidap pathology sosial-budaya. Bekerja dalam tekanan serta tentu jauh dari kepuasan. Pada saat dituntut untuk meningkatkan daya saing, justru pada saat yang sama job satisfaction, yang menjadi sarat utamanya tidak tergaransi. Maka patut dicamkan sindiran yang diungkap Malkan Amin yang memposisikan jasa konstruksi sebagai orang linglung. Tidak tahu mana utara mana selatan. Sehingga simpul cemoohnya, kalau mau untung dia harus tidak profesional. Sebab kalau menjalankan kualitas profesional akan digilas. Itulah sebabnya, kesegeraan terhadap adannya politik pemerintah yang memperjelas permainan di ranah sektor jasa konstruksi sudah sangat bersifat mendesak.
Target kemendesakkan tersebut harus dilihat dari kualitas manajemen pembangunan yang seharusnya. Pembangunan adalah sebuah proses dan sekaligus hasil yang antroposentris, berarah kepada kualitas manusia. Dalam kategori ini, pelaku jasa konstruksi sebagai pelaku pembangunan mendapatkan jaminan hidup, melalui pekerjaannya secara memadai. Membanggakan dan menyenangkan. Hal ini menjadi keniscayaan. Sebab hanya dengan cara tersebut itulah berbagai inovasi dan partisipasi dari pelaku jasa konstruksi dapat diharapkan terwujud. Sasaran pastinya adalah pelaku jasa konstruksi juga membawa mission sacra, yakni mengharumkan nama bangsa dengan cara menghasilkan reputasi internasional. Di negeri sendiri jaya, dan di manca negara juga dapat diterima. Sehingga globalisasi sepenuhnya jadi kendaraan peradaban dan bukan rintangan.*
Tulisan ini adalah Bab I dari Buku Wajah Jasa Konstruksi Indonesia, terbitan Gramedia. Terbit Oktober 2010.
The Indonesian Development Institute (IndIt)/ Institut Pengembangan Manusia Indonesia adalah blog yang mendukung berbagai upaya pengembangan manusia indonesia. Berdasarkan komitmen tersebut IndIt mengembangkan berbagai program, seperti penelitian, penerbitan dan kerjasama. IndIt dikelola oleh: Kamajaya Al Katuuk (Direktur), Sandra Dewi Dahlan (Koordinator Program), Isty Wantasen, Deisy Wewengkang,Irene Rindorindo, Praba Kawistara, Rayanmada Kinasihan (Divisi) Prof. Dr. HA Nusi, MM (Pendiri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar