Laman

Kamis, 30 Juli 2009

Fosilisasi di Perguruan Tinggi

Catatan Dari Forum Fakultas Bahasa Sastra Seni dan Budaya X Seindonesia
MENGHINDARI FOSILISASI POTENSI SDM PERGURUAN TINGGI
Oleh Kamajaya Al Katuuk
Istilah fosilisasi, penulis ambil dari ungkapan Prof. Dr. Mansur Akil, dekan fakultas bahasa dan Budaya Universitas Makassar. Kata fosilisasi bukan istilah baru. Hanya, jelas menerenyuhkan tatkala diungkapkan di dalam forum nasional sekelas Forum Fakultas Pendidikan Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya yng dihelat dari tanggal 22 sampai 25 Juli 2009 oleh Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Unima. Bila perguruan tinggi adalah lembaga yang memiliki mandat inovasi keilmuan, maka ungkapan adanya proses fosilisasi adalah ungkapan yang mewakili pertanda adanya kegamangan di tubuh lembaga perguruan tinggi. Terutama di dalam menghadapi tantangan aktual. Sebutlah pencanangan 2012 sebagai tahun berbagai universitas harus mencapai levelitas World Class University, serta memenuhi standar ISO. Pada waktu yang sama juga model Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah ditetapkan sebagai acuan manajerial. Sebuah acuan yang tetap mudah disalahtafsirkan, karena lembaga pendidikan dituntut untuk professional sambil tetap nirlaba.
Konteks istilah fosilisasi yang dikemukakan di atas, di dalam forum di Manado tersebut, dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana mandegnya pengembangan diri dan fungsionlisasi potensi para pengajar senior, terutama para professor di perguruan tinggi. Indikasi yang diketengahkan adalah kecenderungan para guru besar untuk menyerahkan tugas utama kepada yuniornya. Di dalam pmbingan skripsi, misal, posisinya sebagai pembimbing I, hanya tinggal menerima hasil bimbingan dari pembimbing II. Di dalam pemaparan Prof. Dr. Suparno, rektor Universitas Malang, pada awal persidangan telah menyindir para profesor sekarang yang menerima tunjangan besar, tetapi malah banyak berdalih “sibuk” saat harus mengajar. Padahal tugas pokoknya adalah mengajar. Terang benderang sudah, bahwa fosilisasi adalah kata awas yang pantas dijadikan alat evaluasi diri pada sektor SDM perguruan tinggi. Sebab, bila tidak maka lembaga pendidikan tinggi akan kehilangan fungsi dasarnya sebagai lembaga pencerahan. Sederhananya, adalah ironis kalau lembaga pencerah malah barongo, melempem. Bahkan barongonya lembaga pendidikan tinggi dapat dilihat dari maraknya ijazah palsu, atau ijazah tanpa proses kuliah benar. Sekarang ini banyak orang bergelar tinggi, dengan kontribusi keilmuan yang rendah. Berkait dengan hal tersebut adalah seperti sudah sebegitu lama disindir bahwa perguruan tinggi kita tersedikit karya penelitian ilmiah di Asean. Padahal berpenduduk terbesar ke-4 sedunia.
Jadi peran proporsional para dosen dalam arti yang sejati, seperti yang dimandatkan undang-undang sisdiknas, yakni pelaksanaan tridarma: pendidikan, penelitian dan pngabdian kepada masyarakat yang belum memadai jelas menyungsrukan dirinya di dalam masalah bangsa. Pendidikan, terutama pendidikan tinggi masih saja menjadi bagian dari masalah bangsa, karena belum menjadi solusi bangsa. Sehingga patut digugatkan bahwa target-target yang direncanakan berbagai perguruan tinggi, selayaknya tidak sekadar wacana, melainkan sebuah proses yang jelas arahnya.
Di dalam pertemuan forum para pendidik di fakultas yang menghasilkan para akhli humaniora yang berlangsung di Manado tersebut, telah jadi ajang evaluasi diri sekaligus pengagendaan rencana aksi yang patut diapresiasi, seraya menunggu hasil nyata kiprahnya. Terutama karena para ilmu dilingkup forum tersebut juga tegas mengklaim bahwa pendidikan adalah tanggung jawab mereka. Untuk menjadi pengajar setiap orang harus menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Untuk menjadi guru haruslah melalui LPTK. Masalahnya, terkait dengn foslisasi; mandegnya proses keilmuan di dalam banyak lembaga pendidikan sekarang ini adalah langkah pertama kea rah perubahan yang benar. Tanpa itu, teruslah akan terjadi kenyinyiran intelektual bangsa ini. Beriazah tetapi tidak berilmu, tetapi kalau berilmu, malah berhenti belajar. Kondisi buruk itulah yang hendak disingkirkan oleh para ilmuan di selinkup fakultas ilmu pendidikan bahasa sastra seni dan budaya, yang setelah di Manado, yang dilaksanakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Unima, forum serupa dua tahun mendatang akan dilaksanakan di Universitas Ilmu Pendidikan Bandung. FBS Unima yang kali ini didekani oleh Dr (Cd). Ferdy Dj. Rorong, M.Hum, yang selama persidangan ditongkrongi terus oleh Prof. Dr. Ph. E.A. Tuerah, MSi, DEA selaku rektor, galib kalau menerima banyak energi dan inspirasi yang dari pelaksanaan forum yang mengesankan para peserta tersebut, untuk memajukan lembaga dan semakin teguh memberi sumbangsih terhadap daerah. Sederhana, sebenarnya, yaitu berketeladanan di dalam inovasi dan academic standing, serta sehatnya pengelolaan manajemen. Itulah fungsi hulu, yang pada gilirannya berpengaruh pada sektor hilir, yakni puasnya para mahasiswa sebagai pelanggan, dan terlayaninya dunia kerja. Sementara itu kepuasan staf dan pegawai juga terselenggara. Maka fosilisasi, dalam arti yang praktis wajib tidak ada di kampus. Kalau juga ada? Itu adalah musuh bersama baik warga kampus maupun masyarakat. Kampus sebagai pencerah bukan pambarongo***
READ MORE - Fosilisasi di Perguruan Tinggi

Senin, 13 Juli 2009

Akhiri Transisi

Catatan:
Jelang Terpilihnya Walikota Manado ke-20
Saatnya Muncul Figur Generasi Baru Sebenarnya

Kamajaya Al Katuuk

Ulang tahun Kota Manado yang ke 386 kali ini dirayakan secara khusus. Khusus karena, secara sosiopolitik, saat perayaan walikota terpilih sedang berada di dalam proses tengah diadili dalam tuduhan tindak pidana korupsi. Sehingga secara operasional kepemimpinan di daerah dijalankan di bawah taktis oleh pelaksana tugas Abdi Buchari, yang sejatinya adalah wakil walikota.
Kepemimpinan daerah kota Manado dipimpin oleh Abdi Buchari sudah dimulai sejak bulan april lalu. Jadi kalau merujuk kepada pemilihan walikota yang lampau maka, masa bakti kewalikotaan kali ini masih tersedia waktu sepanjang setahun; Pilkada walikota jatuh pada bulan juli, selang sebulan setelah Pilkada gubernur yang dilaksanakan bulan juni. Bila Abdi Buchari terhitung sebagai walikota Manado yang ke-19, maka pada bulan juli tahun depan warga Manado akan memilih jabatan walikota yang ke-20.
Posisi walikota yang ke-20 tersebut akan penting bukan hanya bagi sebuah proses politik, melainkan juga demi sebuah dinamika generasi yang berorientasi pada sistem penyelenggaraan daerah yang seharusnya segera terwujud. Kata kedua tersebut, nampaknya akan menjadi agenda yang lebih penting untuk diperhitungkan dibanding sekadar proses politik, sebab di dalamnya terdapat sebuah proses kunci. Dinamika generasi, kali ini terjadi karena secara alami generasi Indonesia lama, sebutan saya untuk menyebut Orde Lama dan Orde Baru akan mengalami alih generasi. Dari sisi kepenting politik reformasi dan reformasi politik, membutuhkan bukan sekadar berganti aktor, melainkan berganti visi.
Ekpektasi ke arah tersebut beralasan. Munculnya partai-partai baru yang menandingi partai Indonesia lama, seperti Golkar dan PDIP, terutama Partai Demokrat, PKS dan PAN dan bahkan PDS, jelas megindikasikan bahwa manajemen organisasi politik juga sudah berubah. Substansi berubah di atas, dapat dijadikan titiktolak model fatsun politik.
Kecenderungan tersebut jelas akan menjadi bagian dari irama politik ke depan. Dan di Kota Manado, tahun 2010 saat terjadinya Pilgub dan Pilwako serta Pilbup, adalah saat yang strategis untuk mengucapkan selamat tinggal Indonesia Lama, serta selamat datang Indonesia Baru. Formula ucapan ini tentunya akan jatuh menjadi sekadar wacana apabila metode dan taktis berpolitik yang sekarang dimainkan masih menganut faham lama. Arti konkretnya adalah harus disadari oleh semua pemain dan konstituen politik di daerah ini bahwa para penerus partai Indonesia Lama, bisa saja mewarisi organisasi politiknya, tetapi visi dan praktik berpolitik harus berubah. Hal yang setali tiga uang berlaku untuk partai-partai baru, tentunya. Belajar terhadap masa lalu justru bukan berarti untuk diterapkan pada konteks kekinian yang sudah tidk lagi layakterap. Di sinilah pentingnya kemampuan manajemen antisipasi bagi setiap pelaku politik untuk memahami tuntutan sosiologi politik mutakhir.
Berdasarkan peta sosiologi politik seperti demikian, maka menarik untuk diperhatikan bagaimana dinamika proses Personal Branding politik dari berberapa orang yang diduga menyasar kedudukan politik sebagai pimpinan politik di daerah ini. Untuk para bakal calon, di luar jalur independen, “kendaraan” politik jelas akan punya andil yang penting. Bahkan di dalam kasus atau analog terhadap Partai Demokrat dan SBY, sifatnya mutualis. Saling menguntungkan. Partai dan personal punya relasi saling berpegaruh secara signifikan.
Untuk itulah maka peringatan Hari Jadi Manado yang ke 386 kali ini juga seyogyanya dilihat sebagai sebuah tanda “star” bagi perubahan manajemen politik yang jelas. Perhatikan, misalkan data tingkat partisipasi pendukung yang kali ini cukup banyak dan besar dari kalangan entrepreneur. Baik jasa maupun niaga barang. Perhatikan halaman iklan dan “berita iklan” Manado Post jelang dan saat peringatan. Terang benderang kota ini tengah mengarah ke mana. Sampai di sini tulisan singkat ini tegas hendak memastikan bahwa pimpinan daerah ke depan tidak mungkin terpilih tanpa dukungan dua pilar utama konstituen, yakni masyarakat dan pengusaha. Sampai di sini, jelas partai yang antisipatif terhadap kebutuhan “pasar” politik menjadi jaminan untuk mengantarkan para kandidatnya untuk memenangkan sebuah proses politik. Dengan demikian, maka dapat dihipotesiskan bahwa pemimpin yang dipilih adalah seorang politisi murni tidak lagi akan jadi prasyarat. Bakal calon pemimpin daerah yang hendak dikompetisikan tidaklah lagi harus pengurus partai. Mekanisme, yang selama ini jadi acuan partai, yakni menomorsatukan pengurus atau terutama pemimpin partai untuk menjadi bakal calon atau calon di dalam sebuah pemilihan, patut diubah. Sudah saatnya partai terbuka dalam arti yang sejati. Bukan, terbuka untuk memolitikan partai sebagai ajang mencari dana bagi orang partai, melainkan terbuka untuk menegaskan eksistensi partai yang profesional adalah terbuka bagi segenap kandidat yang memiliki platform dan berkomitmen sama. Partai dan para pengurus, karenanya bukan lagi sebagai kata benda, melainkan kata kerja. Berproses menyiapkan administrsi politik yang prokebutuhan actual, zaman baru. Kini saatnya partai profesional menjadi fasilitator memunculkan figur politik yang sebenarnya, yakni negarawan. Analog ke Amerika Serikat, partai bukanlah tujuan melainkan sarana mewadahi para tokoh bangsa terbaik berkiprah.***
READ MORE - Akhiri Transisi