Murid udah go blog, guru masih? …
Oleh iskandar Zulkarnaen - 19 Februari 2009
Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan pak Wijaya yang banyak bicara seputar guru dan internet. Awalnya saya tidak menyangka tulisannya akan semenarik itu, karena dari judulnya tidak tersirat sedikitpun soal tema guru yang banyak dikupas di dalamnya. Tapi karena saya tahu pak Wijaya adalah seorang guru maka asumsi dasar saya tulisannya tidak akan jauh dari bangku sekolah.
Ternyata benar. Di situ ditulis tentang bagaimana peran guru dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang orang Indonesia lebih seneng menyebutnya sebagai ICT alias information and Communication Technology.
Pada saat yang sama, di harian Kompas, juga diulas tema yang sama. Judulnya lebih praktis, karena langsung membenturkan peran guru kelas dengan guru digital bernama Google, Wikipedia dan mesin informasi canggih online lainnya.
Begitu membaca kedua artikel tadi, saya jadi teringat dengan cerita adik ipar saya yang bekerja sebagai staf tata usaha (merangkap guru olahraga) di sebuah sekolah dasar negeri. Dia bilang, belakangan ini para guru di sekolahnya antusias minta diajarkan komputer. “Mereka paling cuma minta diajarkan cara mengetik di MS Word sampai tahu cara ngeprint tulisan”, katanya.
Padahal adik ipar saya ini juga awam soal komputer dan banyak bertanya soal teknis penggunaannya kepada orang lain di rumah. Tapi berhubung di sekolah itu tidak ada orang lain yang bisa komputer, maka ilmu komputer yang dia dapat dari learning by doing itu pun dengan senang hati ditransfer ke guru lain.
Dari satu sekolah di bilangan Palmerah ini, imajinasi saya langsung beranjak ke sekolah-sekolah lain. Saya membayangkan satu fakta bahwa mayoritas guru di negeri ini (entah sekolah negeri, swasta juga pesantren) bukan hanya tidak melek internet, tapi juga gagap komputer. Faktornya bukan lagi sekedar kepemilikan komputer, tapi kebutuhan terhadap komputer. Mereka gaptek bukan karena tidak memiliki komputer, tapi karena dalam menjalankan tugasnya mereka (merasa dan dikondisikan) tidak membutuhkan komputer.
Logikanya begini. Sepanjang Anda butuh dengan komputer, walaupun tidak punya, Anda akan mati-matian mencari cara agar bisa menggunakannya. Toh rental komputer dan warung internet sudah menjamur di banyak kota-kota besar.
Tapi yang berlaku di banyak sekolah mungkin sama dengan yang berlaku di sekolah adik ipar saya. Komputer adalah alat bantu yang hanya dibutuhkan oleh staf TU untuk menginput data, menyiapkan soal ujian dan lain sebagainya. Guru tugasnya hanya mengajar sehingga tidak butuh komputer. Hasilnya adalah seperti sekarang ini: Para guru hanya tahu bagaimana mengajarkan pelajaran yang dipelajarinya semalam di depan kelas, tapi tidak tahu bahwa pada malam yang sama murid-muridnya mempelajari sesuatu yang lebih luas dan lebih dalam di Google dan Wikipedia.
Ketika guru bersusah-payah mencari batas pelajaran sebelumnya dan menyiapkan materi evaluasi untuk disampaikan di awal sesi mengajar, murid-murid dengan mudahnya memasukkan kata kunci di mesin pencari online dan mendapatkan sekian banyak ilmu dan informasi terkait dengan kata tersebut.
Dengan melihat fakta ini, sebenarnya yang dibutuhkan oleh guru tidak mentok pada persoalan gaji (yang menurut adik ipar saya pendapatan seorang guru SD per bulan sudah mencapai empat juta rupiah). Tapi lebih lebih penting lagi bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran dengan memanfaatkan komputer dan internet.
Jangan lagi berpikiran sempit dengan menganggap anak-anak hanya bermain game online dan browsing situs-situs porno saat mereka mengakses internet. Meskipun dua racun online itu masih mendominasi jiwa anak, tapi mereka juga tertarik untuk tahu banyak hal lain di internet. Di sini mereka punya kamus, punya koran, punya kalkulator ilmiah, punya komunitas yang senang berbagi dan punya akses ke segala jenis ilmu dan wawasan kelas dunia. Apalagi sekarang mesin pencari dan penjelajah terkenal (browser) sudah menggunakan bahasa Indonesia.
Jadi, sebelum banyak murid ngeblog dan mengungkapkan kejadian-kejadian aneh yang berhubungan dengan guru dan pelajaran hari ini, lebih bijak kalau para guru bergegas menggandrungi internet dan ngeblog untuk menyebarkan lebih banyak ilmu kepada murid-murid secara digital. (Sumber: Blog Kompasiana).
READ MORE - Refleksi IT Dalam Pendidikan
Oleh iskandar Zulkarnaen - 19 Februari 2009
Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan pak Wijaya yang banyak bicara seputar guru dan internet. Awalnya saya tidak menyangka tulisannya akan semenarik itu, karena dari judulnya tidak tersirat sedikitpun soal tema guru yang banyak dikupas di dalamnya. Tapi karena saya tahu pak Wijaya adalah seorang guru maka asumsi dasar saya tulisannya tidak akan jauh dari bangku sekolah.
Ternyata benar. Di situ ditulis tentang bagaimana peran guru dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang orang Indonesia lebih seneng menyebutnya sebagai ICT alias information and Communication Technology.
Pada saat yang sama, di harian Kompas, juga diulas tema yang sama. Judulnya lebih praktis, karena langsung membenturkan peran guru kelas dengan guru digital bernama Google, Wikipedia dan mesin informasi canggih online lainnya.
Begitu membaca kedua artikel tadi, saya jadi teringat dengan cerita adik ipar saya yang bekerja sebagai staf tata usaha (merangkap guru olahraga) di sebuah sekolah dasar negeri. Dia bilang, belakangan ini para guru di sekolahnya antusias minta diajarkan komputer. “Mereka paling cuma minta diajarkan cara mengetik di MS Word sampai tahu cara ngeprint tulisan”, katanya.
Padahal adik ipar saya ini juga awam soal komputer dan banyak bertanya soal teknis penggunaannya kepada orang lain di rumah. Tapi berhubung di sekolah itu tidak ada orang lain yang bisa komputer, maka ilmu komputer yang dia dapat dari learning by doing itu pun dengan senang hati ditransfer ke guru lain.
Dari satu sekolah di bilangan Palmerah ini, imajinasi saya langsung beranjak ke sekolah-sekolah lain. Saya membayangkan satu fakta bahwa mayoritas guru di negeri ini (entah sekolah negeri, swasta juga pesantren) bukan hanya tidak melek internet, tapi juga gagap komputer. Faktornya bukan lagi sekedar kepemilikan komputer, tapi kebutuhan terhadap komputer. Mereka gaptek bukan karena tidak memiliki komputer, tapi karena dalam menjalankan tugasnya mereka (merasa dan dikondisikan) tidak membutuhkan komputer.
Logikanya begini. Sepanjang Anda butuh dengan komputer, walaupun tidak punya, Anda akan mati-matian mencari cara agar bisa menggunakannya. Toh rental komputer dan warung internet sudah menjamur di banyak kota-kota besar.
Tapi yang berlaku di banyak sekolah mungkin sama dengan yang berlaku di sekolah adik ipar saya. Komputer adalah alat bantu yang hanya dibutuhkan oleh staf TU untuk menginput data, menyiapkan soal ujian dan lain sebagainya. Guru tugasnya hanya mengajar sehingga tidak butuh komputer. Hasilnya adalah seperti sekarang ini: Para guru hanya tahu bagaimana mengajarkan pelajaran yang dipelajarinya semalam di depan kelas, tapi tidak tahu bahwa pada malam yang sama murid-muridnya mempelajari sesuatu yang lebih luas dan lebih dalam di Google dan Wikipedia.
Ketika guru bersusah-payah mencari batas pelajaran sebelumnya dan menyiapkan materi evaluasi untuk disampaikan di awal sesi mengajar, murid-murid dengan mudahnya memasukkan kata kunci di mesin pencari online dan mendapatkan sekian banyak ilmu dan informasi terkait dengan kata tersebut.
Dengan melihat fakta ini, sebenarnya yang dibutuhkan oleh guru tidak mentok pada persoalan gaji (yang menurut adik ipar saya pendapatan seorang guru SD per bulan sudah mencapai empat juta rupiah). Tapi lebih lebih penting lagi bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran dengan memanfaatkan komputer dan internet.
Jangan lagi berpikiran sempit dengan menganggap anak-anak hanya bermain game online dan browsing situs-situs porno saat mereka mengakses internet. Meskipun dua racun online itu masih mendominasi jiwa anak, tapi mereka juga tertarik untuk tahu banyak hal lain di internet. Di sini mereka punya kamus, punya koran, punya kalkulator ilmiah, punya komunitas yang senang berbagi dan punya akses ke segala jenis ilmu dan wawasan kelas dunia. Apalagi sekarang mesin pencari dan penjelajah terkenal (browser) sudah menggunakan bahasa Indonesia.
Jadi, sebelum banyak murid ngeblog dan mengungkapkan kejadian-kejadian aneh yang berhubungan dengan guru dan pelajaran hari ini, lebih bijak kalau para guru bergegas menggandrungi internet dan ngeblog untuk menyebarkan lebih banyak ilmu kepada murid-murid secara digital. (Sumber: Blog Kompasiana).