Laman

Rabu, 18 Februari 2009

Refleksi IT Dalam Pendidikan

Murid udah go blog, guru masih? … 
Oleh iskandar Zulkarnaen - 19 Februari 2009  

Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan pak Wijaya yang banyak bicara seputar guru dan internet. Awalnya saya tidak menyangka tulisannya akan semenarik itu, karena dari judulnya tidak tersirat sedikitpun soal tema guru yang banyak dikupas di dalamnya. Tapi karena saya tahu pak Wijaya adalah seorang guru maka asumsi dasar saya tulisannya tidak akan jauh dari bangku sekolah.

Ternyata benar. Di situ ditulis tentang bagaimana peran guru dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang orang Indonesia lebih seneng menyebutnya sebagai ICT alias information and Communication Technology.

Pada saat yang sama, di harian Kompas, juga diulas tema yang sama. Judulnya lebih praktis, karena langsung membenturkan peran guru kelas dengan guru digital bernama Google, Wikipedia dan mesin informasi canggih online lainnya.

Begitu membaca kedua artikel tadi, saya jadi teringat dengan cerita adik ipar saya yang bekerja sebagai staf tata usaha (merangkap guru olahraga) di sebuah sekolah dasar negeri. Dia bilang, belakangan ini para guru di sekolahnya antusias minta diajarkan komputer. “Mereka paling cuma minta diajarkan cara mengetik di MS Word sampai tahu cara ngeprint tulisan”, katanya.

Padahal adik ipar saya ini juga awam soal komputer dan banyak bertanya soal teknis penggunaannya kepada orang lain di rumah. Tapi berhubung di sekolah itu tidak ada orang lain yang bisa komputer, maka ilmu komputer yang dia dapat dari learning by doing itu pun dengan senang hati ditransfer ke guru lain.

Dari satu sekolah di bilangan Palmerah ini, imajinasi saya langsung beranjak ke sekolah-sekolah lain. Saya membayangkan satu fakta bahwa mayoritas guru di negeri ini (entah sekolah negeri, swasta juga pesantren) bukan hanya tidak melek internet, tapi juga gagap komputer. Faktornya bukan lagi sekedar kepemilikan komputer, tapi kebutuhan terhadap komputer. Mereka gaptek bukan karena tidak memiliki komputer, tapi karena dalam menjalankan tugasnya mereka (merasa dan dikondisikan) tidak membutuhkan komputer.

Logikanya begini. Sepanjang Anda butuh dengan komputer, walaupun tidak punya, Anda akan mati-matian mencari cara agar bisa menggunakannya. Toh rental komputer dan warung internet sudah menjamur di banyak kota-kota besar.

Tapi yang berlaku di banyak sekolah mungkin sama dengan yang berlaku di sekolah adik ipar saya. Komputer adalah alat bantu yang hanya dibutuhkan oleh staf TU untuk menginput data, menyiapkan soal ujian dan lain sebagainya. Guru tugasnya hanya mengajar sehingga tidak butuh komputer. Hasilnya adalah seperti sekarang ini: Para guru hanya tahu bagaimana mengajarkan pelajaran yang dipelajarinya semalam di depan kelas, tapi tidak tahu bahwa pada malam yang sama murid-muridnya mempelajari sesuatu yang lebih luas dan lebih dalam di Google dan Wikipedia.

Ketika guru bersusah-payah mencari batas pelajaran sebelumnya dan menyiapkan materi evaluasi untuk disampaikan di awal sesi mengajar, murid-murid dengan mudahnya memasukkan kata kunci di mesin pencari online dan mendapatkan sekian banyak ilmu dan informasi terkait dengan kata tersebut.

Dengan melihat fakta ini, sebenarnya yang dibutuhkan oleh guru tidak mentok pada persoalan gaji (yang menurut adik ipar saya pendapatan seorang guru SD per bulan sudah mencapai empat juta rupiah). Tapi lebih lebih penting lagi bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran dengan memanfaatkan komputer dan internet.

Jangan lagi berpikiran sempit dengan menganggap anak-anak hanya bermain game online dan browsing situs-situs porno saat mereka mengakses internet. Meskipun dua racun online itu masih mendominasi jiwa anak, tapi mereka juga tertarik untuk tahu banyak hal lain di internet. Di sini mereka punya kamus, punya koran, punya kalkulator ilmiah, punya komunitas yang senang berbagi dan punya akses ke segala jenis ilmu dan wawasan kelas dunia. Apalagi sekarang mesin pencari dan penjelajah terkenal (browser) sudah menggunakan bahasa Indonesia.

Jadi, sebelum banyak murid ngeblog dan mengungkapkan kejadian-kejadian aneh yang berhubungan dengan guru dan pelajaran hari ini, lebih bijak kalau para guru bergegas menggandrungi internet dan ngeblog untuk menyebarkan lebih banyak ilmu kepada murid-murid secara digital. (Sumber: Blog Kompasiana).
READ MORE - Refleksi IT Dalam Pendidikan

Senin, 09 Februari 2009

Lesson-learn

Belajar Dari Mengajar
Oleh : Kamajaya Al Katuuk
 
An expert is a person who has made all the mistakes that can be made in a very narrow field (Neisl Bohr).

Seorang teman “aktivis” bisnis MLM, suatu waktu melakukan presentasi di daerah pedalaman. Di sutu komunitas transmigran, di Sulawesi Tengah. Baginya makin ke udik makin menantang. Maklum dia adalah tipe anak muda yang suka tantangan. Apalagi ini dengan ekspektasi dapat tambahan. Maklum bagi aktivis MLM menjadikan orang lain sebagai downline adalah syarat berhasil, selain menjual produk. 
Pendek cerita, dia pun sampailah di kawasan pemukiman nan udik itu. Semua tahu, tentu mana mungkin ada pemukiman transmigran di kota. Maka, setelah lewat tujuh sungai (selokan juga dihitung), gunung dan bukit, mirip cerita zaman baheula, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Dengan sigap begitu sampai, untuk mempertontonkan bahwa mereka orang sehat dan hebat berkat ber-MLM, teman dan rombangannya itu segera siap presentasi. Untung penduduk yang memang haus tamu dan hiburan itu juga tidak kalah semangatnya. Mereka bikin sambutan dan layanan segera. Tempat pertemuan disiapkan. Untuk menyalakan leptop berikut LCD dinyalakan pembangkit listrik disel. Drodot..dot..dot! Tayangan power point pun slide demi slide muncul. Sebagai penyaji bahan, kawan kita yang jadi pemeran utama di acara tersebut, sudah berbesar hati terhadap hasil. Paling tidak presentasi diperhatikan secara seksama dan penuh perhatian. Buktinya? Begitu slide pertama muncul, hadirin sudah memasang dan menyungguhkan dirinya untuk memerhatikan apa yang ditayangkan. Pokoknya, para hadirin bergaya super serius.
Sampai tibalah tayangan terakhir selesai. Sambil tersenyum yang memang sudah dibiasakan setiap tampil, kawan kita pun dengan penuh percaya diri, segera mengajukan pertanyaan. “Bagaimana Bapak-bapak dan Ibu-ibu? Apakah ada pertanyaan tentang bahan yang telah disajikan tadi?”. Hebat , atau lebih tegas aneh. Mengapa ? Sebab mereka menjadi semakin serius, tetapi kali ini lebih pantas untk dikatakan tegang bercampur malu. Apa pasal?
Pimpinan komunitas tersebut, segera tampil untuk memperjelas keadaan. Jadi bukan bertanya. Klemas-klemes, lantas berujar: “Bapak, begini sebenanrnya…” Dia pun menjelaskan, bahwa mereka, yang petani transmigran tersebut sejujurnya butu huruf. Astaga. Kenapa tidak diketahui sejak awal. Konyol, jadinya. Teman kita pun segera mengetahui situasi. Maklum, lantas segera mengambil cara lain untuk menjelaskan kepada khalayak tersebut. Bukan lagi bahasa huruf, melainkan bahasa tutur.
Hal serupa kurang lebih juga saya alami. Saat saya mengajar sebuah mata kuliah di sebuah tempat. Tentu, tidak etis untuk disebut di mana. Yang jelas saya, seperti juga cerita teman kita itu, penuh semangat menghadapi mahasiswa. Pada saat masuk pertama, seorang dosen mengantar saya sambil memberi instruksi kepada mahasiswa untuk siap menyambut kuliah dari saya, dengan bahasa Inggeris. Senang juga saya, karena bisa ikut memperlancar bahasa asing tersebut. Tidak masalah, saya asyik. Maka saya siapkan bahan, dan karena di tempat itu tersedia alat, kemasan power-point pun paket andalan yang powerful. Perkenalan dimulai dengan cara biasa menyebut rencana proses serta silabus yang akan digarap. Pada saat pertemuan pertama saya senang. Selain mahasiswanya cantik melulu---karena semua perempuan, juga perkuliahan ditanggapi beberapa mahasiswa secara antusias. Berbekal suasana kelas pertama itulah saya kemudian, pada pertemuan kedua menyajikan materi secara lebih memadai. Paling tidak bila indikatornya adalah bahasa. Saya sajikan materi kuliah pada hari kedua dalam bahasa Inggeris. Saya senang, karena mereka sangat serius, dan mencatat satu persatu, walau saya peringatkan mencatat yang penting atau kata kunci saja. Bahan yang saya tayangkan sebaiknya nanti mereka kopi saja. Mereka, saya anggap melakukannya. Sampai tibalah giliran saya memersilakan satu persatu untuk berpartisipasi, seperti membacakan beberapa poin yang ada di slide power point, dengan tujuan agar mereka lebih faham dan dapat mengelaborasi makna materi yang ada. Satu dua orang lancar, sebab memang mereka adalah yng hari pertama sudah menunjukkan kemampuan ala kadarnya. Tetapi begitu diberikan kesempatan yang lainnya, terjadilah alasan ini: yang ditunjuk berikutnya, segera memicingkan matanya, apalagi tempatnya di belakang ruangan, dan berdalih, “tidak dapat membaca”, bermusabab matanya yang bermasalah. Masih dapat dimaklumi. Ya, saya saja memang bermasalah penglihatan, sehingga itulah berkacamata minus. Tetapi begitu yang lain diberi kesempatan, membaca isi materi, jelas sudah masalahnya. Apalagi beberapa mahasiswa yang lainnya pun setali tiga uang. Saya jadi ingat saat saya di SMP. Membaca bahasa Inggeris dengan ujaran bahasa Indonesia. Ya, karena jelas tidak bisa. Belum tahu pelafalan dan maknanya, apalagi. Maka gagalah kelas di hari kedua itu. Bersebab karena saya memberi bahan kuliah tidak sesuai dengan keseapan (stock-in trade) yang dimiliki mahasiswa, kecuali hanya beberapa mahasiswa. Power point pun, seperti yang dialami kawan kita di atas, jadi powerless.No point No power.
 Walaupun gagal presentasi tidak berarti gagal pertemuan dan kelas, saya sebagai pengajar segera mengadaptasikan diri, dengan cara menyesuaikan dengan tingkat kemampuan dan bahasa yang dimiliki audience. Itu jalan ke luarnya. Sebagai pengajar atau pemateri bukannya menuduh audiens bodoh, melainkan menyesuaikan diri. Ini memang pokok utama wacana dari pengalaman di atas. Sebagai pengajar niscaya, haruslah memiliki daya adaptasi dan improvisasi yang fleksible. Hal tersebut dibutuhkan sebab, pertama ketersediaan instrumen teknologi, seperti listrik atau bahkan adanya LCD di suatu ruang kelas atau nama sebuah program tidak menjamin pengajar harus segera puas dan serta merta menerapkan asumsi pribadi, tanpa mengecek secara seksama levelitas kesiapan audiens. Sarana yang sudah terinstal di banyak tempat, masih merupakan struktur yang belum diimbangi oleh kultur. Secara mudah kita sekarang menemukan di kantor dan bahkan perguruan tinggi yang memasang computer, tetapi tingkat penguasaan dan kebiasaan para aparatusnya ternyata masih memble. Dari segi kalkulasi manfaat jelas sebenarnya ini merupakan bagian dari kesenjangan struktur dan fungsi (kultur), yang berdampak pada standar optimalisasi, di banyak lembaga pelayanan dan pengembangan publik tidak tercapai. Itulah pula sebabnya, para instruktur dan pengajar yang sudah mencapai standar harus selalu siap mengadaptasikan diri dengan improvisasi yang dinamis untuk tetap mampu menyampaikan materi ajar dan pada waktu yang sama menarik kesadaran para audiens kea rah yang lebih sesuai dengan fungsinya, setara dengan ketersediaan sarana dan nomen clature keberadaan, sebutkanlah kantor atau jurusan atau bahkan nama keahlian mereka. Tidak sepantasnya mereka masuk atau berseragam atas nama sebuah lembaga keahlian atau pelayanan, tetapi mereka tidak “jauh panggang dari api” untuk senonoh berada di situ. Di sisi inilah seorang pengajar memeroleh “lesson learn”, mengajar adalah tidak lepas dari pembelajaran; melalui mengajarlah kita dapat belajar untuk mengajar secara baik dan benar. Sesuai konteks. Di sinilah kesalahan diperbaiki. Melalui cara mengelolanya, bukan justru mencari kambing hitam “di sana”. Itulah sebabnya ungkapan Bohr yang dikutip di awal wacana dapat dijadikan bahan perenungan.)*
READ MORE - Lesson-learn

Sabtu, 07 Februari 2009

Stragi Kebudayaan dan Politik Adegan

Memetakan Peran Kebudayaan di Sulut  
Manado Post: Jan 16, 2009 at 10:36 AM 
Catatan Kebudayaan 2009  
Oleh Kamajaya Al Katuuk
SERIUS: 2009 dijadikan sebagai tahun sinergitas budaya di Sulut. Karena itu akan ada kegiatan yang akan dilaksanakan
MENGUBAH tuduh jadi tanya; curiga jadi kerjasama; pisah jadi padu. Lantas “cerai jadi rujuk. Adalah kalimat-kalimat yang saya temukan setelah usai memandu acara dialog kebudayaan antara pemangku kepentingan kebudayaan dan kebahasaan di Sulawesi Utara. Acara yang dihelat oleh Balai Bahasa Sulawesi Utara dan Manado Post, 30 Desember 2008 lalu itu betul-betul membuktikan bahwa para pemangku kepentingan kebudayaan di Sulawesi Utara telah menetapkan sinergisitas sebagai strategi kerjasama yang dipilih. Diawali dengan papar program dari Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata dan Budaya, yang kemudian dikaji berdasarkan pengalaman para seniman dan akademisi maka terciptalah dialog yang “ mengubah tuduh jadi tanya; curiga jadi kerjasama, pisah jadi padu. Lantas “cinta mewujud kawin”. Romantis tetapi realistis. Sebab berilhamkan semangat natal, tahun baru hijriah dan miladiah, masing-masing pihak bertekad menetapkan keniscayaan kerja sama dibarengi dengan kesadaran pentingnya keterbukaan program di antara segenap pemangku kepentingan kebudayaan. Maka berbagai rancangan pun ditegaskan secara terbuka. Baik pihak Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Pariwisata dan Budaya, Taman Budaya, Balai Arkeologi, Dewan Seni Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Museum dan Balai Bahasa serta akademisi, seniman dan budayawan Sulawesi Utara betul-betul menunjukkan kesungguhan untuk memetakan tahun 2009 sebagai tahun kerjasama kebudayaan secara strategis. 
Difahami bersama bahwa para pemangku kepentingan kebudayaan di Sulawesi Utara—melalui kerjasama strategis, tidak sekadar saling mengetahui dan mendukung program yang dijalankan, tetapi juga menargetkan keunggulan komparatif. Arah menuju kondisi tersebut ditetapkan berdasarkan pada kenyataan bahwa daerah ini mengalami percepatan pembangunan tetapi dengan cara yang mengalpakan budaya. Hal tersebut memilukan, ujar Pitres Sombowadile penulis yang menggagas Poros Budaya Manado-Magelang, bersama Remy Sylado. Kepiluan tersebut, karenanya harus disembuhkan. Maka itulah sebabnya J. Star Wowor, dari Dinas Pendidikan Sulawesi Utara yang peduli pada peran kebudayaan mengemukakan perlunya andil kebudayaan di dalam pembangunan masyarakat Sulawesi Utara. Maklum, Jusuf Susilo, wartawan nasional kebudayaan yang terundang hadir menyebut Indonesia sekarang ini sedang sakit. Itulah sebabnya, kerja sama berbagai pemangku kepentingan budaya dengan menggunakan berbagai peluang dan sarana, terutama pemanfaatan media dan teknologi, maksudnya agar sembuh, jadi wajib, tandas Jusuf Susilo. Rusli Manorek, dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional serta J. Paulus dari Taman Budaya karenanya sepakat untuk mengelola setiap program di antara pemangku kepentingan kebudayaan untuk dikordinasikan. Tandas Bonny Tooy dari Balai Arkeologi “Ini saatnya kita mendengar apa yang sebaiknya kita lakukan bersama”. Sehingga peran kebudayaan jadi lebih sinergis. Untuk membuktikan komitmen tersebut semua sepakat pertemuan serupa akan dilanjutkan yang berorientasi pada penerapan strategi 2009 sebagai tahun kerjasama kebudayan. Tidak ada curiga, tuduh, dan sendiri-sendiri, melainkan padu. Kebudayaan di Sulawesi Utara niscaya dibutuhkan untuk mendampingi berbagai program dan peristiwa tanpa harus terjebak dengan wacana-wacana besar yang diusung dengan semangat menghadirkan politik adegan. Sekarang ini semua pihak ingin kelihatan penting dan besar dengan tujuan yang sarat kepentingan politik jangka pendek. Ini memang zamannya. Itulah sebabnya pemangku kebudayan wajib mengambil peran memberi inspirasi bahwa hidup bersama bukanlah semata merebut kesempatan melainkan menyempatkan untuk mengambil posisi strategis sebagai pemberi pencerahan akalbudi dan martabat bangsa, bukan perorangan atau kelompok semata.(*)
READ MORE - Stragi Kebudayaan dan Politik Adegan